"Wartawan dilarang meminta atau menerima imbalan dalam bentuk apapun,"
Sebuah slogan yang sudah sering saya dapati ketika membaca sebuah media. Bahkan, seorang wartawan sekalipun pasti menghafal mati slogan itu. Tapi, ya, dasar manusia pasti selalu saja melanggar aturan-aturan yang sudah dibuatnya, tidak terkecuali para wartawan.
Hari ini, saya mengikuti materi jurnalistik mengenai Straight News. Namun, pikiran saya ternyata melayang jauh ke masa setahun silam ketika saya mendapati materi serupa - dengan sedikit tambahan etika.
Ternyata, wartawan dalam meliput sebuah berita/ informasi tidak selalu terlepas dari perihal imbalan. Terkadang banyak malah pejabat-pejabat yang selalu memberikan imbalan bagi wartawan yang mewawancarainya. Entah untuk maksud apa. Tapi yang jelas, selalu pula ada udang di balik batu.
coret-coretan saya berdasarkan tingkatan itu |
Nah, dalam proses menerima imbalan itu, wartawan dikategorikan dalam 5 tingkatan;
Kaget atau Terkejut;
Ia akan terkejut ketika menerima imbalan/ amplop dari narasumber. Biasanya mereka berujar, "Apa ini?" dengan sedikit selidik pada narasumber. Tahap ini masih wajar bagi setiap wartawan. Hasilnya, ada yang menerima imbalan tersebut meskipun masih dalam suasana terkejutnya. Namun ada pula yang tetap bersikukuh menolal pemberian narasumber.
Biasa-biasa;
Bagi wartawan yang sudah terbiasa menerima pemberian dari narasumbernya, ia akan bersikap biasa-biasa saja tanpa merasa terkejut. Pemberian tersebut dianggap sudah sewajarnya.
Menunggu;
Tahap lanjutan dari "biasa-biasa" karena keseringan menerima imbalan. Usai wawancara dengan narasumber, ia biasanya menunggu. "Pasti ada imbalannya," pikirnya sendiri. Jika kurang beruntung, ia akan bersungut-sungut kesal. Biasanya banyak terjadi dalam jumpa-jumpa pers tertentu.
Meminta;
Tahap lanjutan. Cukup mengganggu. Tanpa tedeng aling-aling ia kan meminta imbalan dari narasumber. Apalagi jika narasumbernya itu merupakan tokoh-tokoh politik yang disinyalir "berkantong tebal". Mungkin bisa dapat, bisa juga ditolak.
Memeras;
Sangat berbahaya. Ia akan menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan imbalan dari narasumber. Tak jarang ia akan mengancam si narasumber. Terlebih lagi jika yang bersangkutan diduga terkait kasus korupsi. Pada tahap ini, jumlah imbalannya juga sudah banyak. Hanya saja, si pemberi sudah tidak lagi ikhlas dalam memberi. Malah terkadang ia merasa sangat terganggu.
Dari kelima tingkatan itu, menurut Upi Asmaradana, seorang wartawan yang kala itu membagi pengalamannya, wartawan diharapkan harus selalu berada pada jalur "terkejut". Dengan begitu, nilai-nilai etik yang diembannya bisa dipertahankan. Istilahnya, wartawan itu harus idealis.
Jika sekali saja wartawan keluar dari jalur pertama itu, maka ia akan terjebak untuk mengikuti alur selanjutnya. Bisa saja malah sampai pada tahap kronis, "memeras". Untuk itu, para pekerja pers sangat diharapkan untuk bisa tetap pada jalur yang selalu diboyongnya. Masa sih, slogan itu hanya menjadi pemanis di khalayak publik. Namun sejatinya masih ada yang secara ikhlas menerima imbalan dalam bentuk apapun, khususnya uang.
--Imam Rahmanto--
- Mei 27, 2012
- 0 Comments