Aku, Segelas Cappuccino - part III end

Mei 17, 2012

Baca Juga


Sumber gambar: Google Search
Suara alarm di handphonenya memecah kesunyian pagi. Belum sempat berdering setengah jalan, tangan Bintang meraihnya. Mematikan.

Ia sudah terbangun sejak tadi. Lebih tepatnya, terjaga sejak semalam. Aku masih dibiarkan tergeletak di sampingnya. Sesekali ia menggeserku untuk mendapatkan posisi yang tepat.

"Akhirnya selesai juga," lirihnya.

Ia memperbaiki posisi duduknya. Berselonjor. Semalaman ia menghabiskan waktunya berhadapan dengan teknologi-teknologi biner itu. Lesehan, karena memang kamarnya tak pernah dilengkapi dengan meja belajar seperti mahasiswa kebanyakan.

Ia pun senang menghabiskan waktunya bersamaku. Sejujurnya, dia lebih suka menikmati minuman selain aku. Sesuatu yang dingin dan menyegarkan. Seperti dirinya yang selalu dianggap dingin oleh orang-orang yang belum mengenalnya.

"Cuek," begitulah yang sering kudapati kisah-kisah di dalam hatinya. Sejatinya, aku mengenalnya, ia menyimpan berjuta masa kanak-kanak yang ia pendam hingga kedewasaannya kini. Tak jarang, masa itu muncul ke permukaan.

Akan tetapi, jika malam sudah tiba, ia kan memilihku. Ia "alergi" dengan minuman dingin di malam hari. Sedikit saja diteguknya, ketahanannya akan goyah. Kantuk dan makin terlelap. Meninggalkan suasana malam yang selalu didambakannya.

Ia bermaksud merebahkan badannya. Mengembalikan sedikit tenaganya yang terkuras. Namun aku tahu, seperti biasa, ia akan tertidur tanpa sadar.

"Hei, bukan lagi saatnya untuk tidur," Aku mencoba menegurnya sebelum ia benar-benar terlelap. Ia harus ingat untuk apa semalaman ia bertahan sampai pagi. Tugas. Paper.

"Ayolah, sahabatku.. Kau tidak mau hasilmu pagi ini sia-sia, kan," Aku berusaha meyakinkan melalui sugesti-sugesti bawah sadarnya.

"Masih jam enam pagi," ucapnya dalam hati. Ia lantas bangkit dan keluar dari kamar. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Pelan. Meniti setiap hawa pagi yang menyenangkan. Aku pun tahu, setiap datang pagi seperti ini, maka ia kan teringat masa-masa yang takkan pernah dilupakannya. Akh, sudahlah, aku tak ingin - lagi - bercerita tentang nama itu. Aku cemburu.

"Sudah lama aku tak merasakan udara sepagi ini," ujarnya sambil meregangkan otot-otot lengannya yang kaku. Lantas, ia menjauh dari pandanganku. Aku tahu, ia bermaksud menikmati udara yang masih perawan ini dengan berjalan-jalan.

*******

Kosong. Aku tak lagi mengisi gelas semalam. Ia tadi telah mencampakkanku. Bukan karena ia tak suka, melainkan karena aku telah jauh dari definisi "hangat". Sekali lagi, aku tak mati. Aku telah menyatu dalam dirinya. Menyaksikan dan merasakan apa yang ia alami. Menyaksikan dan merasakan pula apa yang akan ia perbuat terhadap apa yang ia alami tersebut.

Ia bersiap. Tadi, seorang temannya baru saja menelepon. Memastikannya untuk dijemput sebentar lagi. "Ok, kawan. Aku tunggu disini ya..." ucapnya menutup telepon.

Ia memastikan laptop di depannya telah te-refresh dengan sempurna. Semalaman dinyalakan, acapkali membuat perangkat-perangkatnya memanas, yang akhirnya bisa mengakibatkan crash. Sambil menunggu temannya, ia menyempatkan diri memainkan keyboardnya. Program word yang dibukanya telah dipenuhi oleh beberapa karakter huruf. Ia menuliskan sesuatu.

Sebelum aku tahu apa yang dituliskannya, seseorang sudah mengetuk pintu kamarnya.

"Bintang!" seseorang memanggilnya, "yang bersinar di langiit," lanjut suara itu lagi.

"Iya, iya tunggu sebentar," Ia mengalihkan perhatiannya. Dibukanya pintu kamar seraya memelototi si empunya suara. Dika, yang dipelototi, hanya bisa memasang wajah jahilnya.

"Lho, katanya sudah siap?" Dika memastikan.

"Sudah, kok. Cuma, sambil nunggu, iseng-iseng aja nulis," Bintang beranjak merapikan laptop milik Dika. Men-shutdown usai menutup aplikasi yang dibukanya tadi. Sekilas, terlihat setengah dari tulisannya sebelum aplikasi itu tertutup sempurna.

Lamat-lamat terbaca, tentu aku akan tersenyum seandainya aku memiliki bibir layaknya manusia. Ia menghargaiku. Tak kusangka sejauh itu, meskipun ia tak menyadari sepenuhnya kehadiranku. Nyatanya, ia menuliskan sebuah kisah tentang, "Aku, Segelas Cappuccino".

Karena akulah segelas cappuccino yang akan memberinya kehangatan dalam kesendiriannya, dan menciptakan kehangatan dalam kebersamaannya. Inspirasinya, bukan datang dariku. Ia datang dari tulisan-tulisannya. Aku hadir, hanya sebagai pembuka jalan, membisikkan rahasia-rahasia kehidupan....

Aku yakin, ia kan bersinar menjadi penunjuk jalan...


(end)

__potongan kisah sebelumnya__
--Imam Rahmanto--




You Might Also Like

0 comments