Eliana: Mempertahankan Kearifan Hutan
Mei 16, 2012Baca Juga
republika.co.id |
Penulis : Tere Liye
Tebal buku : 524 halaman
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun Terbit : 2011
"Urusan ini bukan sekadar bilang 'tidak', Eli. Kita harus pintar, tahan banting dan punya daya tahan menghadapi mereka. Hanya dengan itu kita bisa memastikan seluruh warisan hutan dan kebijakan leluhur kampung bertahan puluhan tahun."
Ayahnya berulang-ulang kali mengingatkan Eliana si Anak Pemberani. Ia keras kepala, melawan kerakusan tambang pasir di desanya dengan keberaniannya.
Eliana membawa kita untuk jauh berkenalan dengan kearifan alam. Dengan kepolosan seorang anak pemberani yang berusaha sekuat tenaga menjaga warisan hutan leluhurnya.
Sekilas, cerita tentang pelestarian alam sudah "basi" di telinga kita. Saya sudah sering membaca buku - ketika masih menginjak SD - mengenai hutan dan lingkungannya. Bagaimana kerusakan-kerusakan yang terjadi, tokoh anak-anaknya - yang selalu digambarkan berani menentang orang dewasa -, perjuangan "pembebasan” hutannya, sampai konflik petualangan yang dihadapi tokoh-tokoh ciliknya.
Cerita yang disajikan Tere Liye dalam serial anak-mamaknya ini sungguh berbeda. Saya bisa merasakan semangat dari keberanian yang dipancarkan Eliana. Bersama tiga orang temannya - Marhotap, Hima, dan Damdas yang membentuk geng "Empat Buntal", mereka mengadakan perlawanan menolak tambang pasir di kampungnya. Kebencian Eliana pun menjadi-jadi ketika salah satu rekan gengnya menjadi korban kerakusan orang-orang kota itu. Marhotap yang sebelumnya merupakan musuh Eliana, menyerang malam-malam sendirian, hingga harus menyisakan sebuah misteri duka yang baru terbongkar oleh kearifan alam itu sendiri.
Kisah utama - mengenai perlawanan - pun tidak melulu menjadi fokus utama cerita, yang pada dasarnya hanya akan membuat bosan para pembaca seperti saya. Di balik usaha perlawanannya, saya melihat ada banyak kearifan yang dibagi pada novel ini. Saya sebagai pembaca ternyata banyak belajar dari kepolosan anak-mamak ini. Belajar tentang kearifan keluarga. Sedikit bisa mengundang tawa menyaksikan kepolosan tingkah polah mereka. Bahkan, cerita-cerita di dalamnya pun sedikit dibumbui dengan kisah perjalanan cinta bapak-mamak sewaktu masih muda.
"Kata tetua bijak, manusia memiliki sendiri hari-hari spesialnya. Ada hari ketika ia dilahirkan, hari mulai belajar merangkak, hari mulai berjalan hingga bisa berlari. Manusia tumbuh besar dengan hari-hari. Jatuh, bangun, sakit, sehat, tertawa, menangis, sendirian, ramai, sukses, gagal, semua dilalui bersama hari-hari. Tentu termasuk salah-satunya hari ketika kita bertemu dengan pasangan hidup."
Ketika saya lebih jauh membacanya, ada banyak kepingan-kepingan "penasaran" yang terlintas di kepala saya. Saya akui, Tere Liye selain pandai mempermainkan emosi pembacanya (beberapa buku yang sudah saya baca), ia juga mampu mengolah cerita sedemikian rupa hingga membangun rasa penasaran di tiap potongan kisahnya. Saya malah selalu ber-Yaa penasaran. Ketika penasaran itu muncul, perlahan kisah lainnya sejenak (melupakan) penasaran itu. Akan tetapi, tanpa diduga-duga ia mengapungkannya kembali di tengah-tengah saya sudah sedikit "mengikhlaskan" rasa penasaran itu.
Saya yang sudah pernah membaca salah satu serialnya, Burlian, semakin dibuat penasaran untuk membaca serial lainnya (Pukat, Amelia). Secara kisah, keempat nama itu merupakan anak-anak mamak yang dibesarkan dengan penuh ketegasan dan kedisiplinan. Meskipun disebut "serial", masing-masing punya kisah sendiri - namun tetap membentuk mata rantai - hingga akhir cerita. Tiap satu buku berkisah, saya akan menemukan potongan-potongan kisah dari buku lainnya yang akan membuat saya ber-Oo.... Namun di akhir cerita, saya akan setengah mati penasaran ingin membaca serial lainnya, "Yaaaa....".
Ini bukan sekadar cerita "anak-anak" seperti ketika saya membaca covernya, serial anak-mamak. Lebih dari itu, novel ini merupakan sebuah bacaan keluarga yang pantas dibaca oleh siapa saja.
--Imam Rahmanto--
0 comments