Aku, Segelas Cappuccino - Part I
Mei 11, 2012Baca Juga
Part 1
Berjam-jam lamanya aku menemani ia di depan layar komputer. Ia menenggelamkan diri dengan kesibukan yang entah kenapa begitu banyak menyita waktunya. Ia tak peduli waktu. Dibiarkannya sang waktu terus bergulir tanpa ampun. Justru dialah yang ingin berimprovisasi dengan waktu demi kesibukan yang dijalaninya.
“Aku ingin terus seperti ini. Kesibukan bisa sedikit memberikan racun buat memoriku. Meskipun aku harus mengorbankan beberapa hal, aku ingin melupakannya,” lirihnya.
Aku cemburu. Hatinya berusaha menghilang dari sejati perasaannya. Ia sering berbicara tentang “cinta” yang tak pernah kumengerti wujudnya. Meskipun aku tahu, ia tak akan pernah bisa melupakan yang berusaha dilupakannya. Tanpa ia tahu, aku pernah mengacak-acak hatinya. Memeriksa kedalaman hatinya. Dan aku menemukan satu nama itu. Jelas sudah, kesibukan sebagai obat yang diandalkannya hanya akan menjadi “penghilang rasa nyeri”. Sekadar pengalih perhatian sesaat.
Aku cemburu. Tak sekalipun ia menyentuhku ketika jari-jarinya sudah menari-nari di atas tuts-tuts keyboard. Pun ketika ia menyentuhku, pandangannya tak pernah lepas dari layar komputer. Diteguknya aku sedemikian rupa lalu dilupakan selepas mendapatkan kehangatan yang ia dambakan. Aku tak ingin cemburu. Karena ia selalu memilihku sebagai “teman” di kala sunyi malam menyapanya sendirian. Seperti malam ini.
Seperti kataku tadi, aku tak mengerti siapa atau apa “cinta” itu. Yang aku tahu, aku suka dia karena dia pun menyukaiku.
“Aku suka kamu. Dimana pun aku berada, aku pasti kan mencarimu,”
Begitulah yang selalu dijanjikannya padaku. Maka, aku pun menjadi sahabatnya. Segala kekuranganku tak pernah begitu dipikirkannya. Ia selalu berkata, “Kesempurnaan sejati adalah ketika kita mampu menerima segala kekurangan yang ada,” dan aku terhanyut mendengarnya.
Meskipun aku tak bisa bicara dengannya, segala yang tak dimengerti olehnya kubisikkan melalui hatinya. Darinya pula aku bisa mengerti banyak hal. Tanpa ia sadari, ketika aku telah sampai di kerongkongannya, aku mampu menjelma jadi apa saja dan memeriksa di kedalaman hatinya. Tak perlu heran, aku akhirnya tahu dia yang sejatinya.
Sejujurnya, aku senang bersama dengannya. Ia selalu menghabiskan waktunya di malam hari kala orang-orang sudah terlelap. Aku ingin tersenyum tatkala ia bercerita mimpi-mimpinya. Aku ingin tertawa ketika ia dengan malu-malu menyebut satu nama. Ya, nama itulah yang banyak kutemukan padanya. Aku ingin menangis pula menyaksikan ia terhimpit oleh banyak beban akibat kesibukannya. Namun, ia selalu berusaha tegar dan tak ingin dikasihani, apalagi olehku.
“Aku kuat kok. Tak apa-apa,” bohongnya selalu di sampingku.
Sekali lagi, aku bisa menjelma mengacak-acak informasi dalam hatinya. Orang lain bisa tertipu, tapi tidak denganku.
Aku senang bersama dengannya. Menanti pagi. Menurutnya, akulah Cappuccino yang tepat untuk membuatnya tetap terjaga sepanjang malam. Di sunyi malam seperti ini pula aku sering membisikkan satu persatu rahasia alam. Menginspirasinya. Membuatnya lancar menekan tombol keyboard. Membuatnya semakin percaya akan mimpi-mimpi yang disusulnya. Membuatnya menghadiahkanku segaris senyum di bibirnya seraya menuliskan kisah tentangku.
Namun, aku cemburu, lagi. Dari sorot matanya, aku bisa tahu ia sedang menanti sesuatu selain pagi. Seperti ketika kemarin ia menerima short message dari sesosok nama di hatinya itu. Dan aku tahu, irama hatinya lantas berubah menjadi indah. Atau mungkin, nama itulah yang selalu diharapkannya, meskipun ia tahu nama itu telah nyata-nyata menampiknya.
Ah, sudahlah. Aku tak ingin berbicara tentang masalah hati. Tak sejelas “cinta”, aku selalu berbeda. Aku sudah bosan mendengar istilah “cinta” dari orang-orang yang menikmatiku. Aku sering menemani para remaja kalangan atas untuk sekadar hang-out di kafe-kafe. Tak jarang aku dibandrol dengan harga mahal sesuai dengan tingkatan kualitas aromaku. Sayang, sahabatku tak pernah merasakan nikmatnya aku di kafe-kafe ternama.
“Bersabarlah, kawan. Kau pasti kelak menikmatiku lebih lama disana. Kau bahkan bisa mengajak kawan-lawanmu,” ujarku selalu. Namun, lagi-lagi ia disibukkan oleh tulisannya yang tak kunjung-kunjung selesai.
Aku, cappuccino berbeda dengan kopi, teh, atau susu. Aku tahu, sahabatku enggan menikmati susu. Baginya, susu mempercepat rasa kantuknya sebelum ia benar-benar menikmati sunyinya malam.
“Aku dulu pernah suka minum susu, tapi itu saat aku masih kecil-kecilnya. Di masa-masa sekolah dulu, aku adalah siswa yang paling pendek. Makanya aku rajin minum susu,” katanya tanpa menggerakkan sesenti pun bibirnya. Aku kan sudah bilang, aku tahu yang dipikirkannya tanpa diucapkannya. Dan aku tahu, ia tersenyum lucu.
Pada akhirnya, ia sudah membuktikan, tanpa meminum seteguk susu pun ia bisa “tumbuh”. Ia memilihku, karena aku bisa menemaninya terjaga. Going to the extra miles, selalu didengung-dengungkannya. Bekerja di atas rata-rata orang lain. Jika orang lain bekerja hingga larut malam, maka ia akan bekerja hingga dini hari. Tak ada yang bisa kulakukan lagi sebatas memberikan senyum chocolate granule-ku.
Ia tak suka kopi. Ayahnya penyuka kopi. Ada trauma masa kecil yang ia rasakan atau mungkin disembunyikan jika harus berhadapan dengan kopi. Tentang ayahnya dan tentang keluarganya. Ia sampai hari ini berusaha menjauh dari “ampas” kopi.
Teh, hanyalah pilihan alternatif ketika ia tak bertemu denganku. Sudah kesekian kalinya ia harus berteman dengan teh. Terlebih jika ia sudah berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya. Di tiap tegukannya pada teh, ia akan selalu mengingatku.
Sejenak, irama ketukan jarinya berhenti. Aku melihat lebih tinggi ke arah layar komputernya. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.13 dini hari.
“Ada apa?” aku bertanya, meskipun tidak akan dijawabnya.
Ia menegukku hingga habis. Aku tak mati. Aku telah menjelma ke dalam dirinya. Seraya menjauhkan dirinya dari layar komputer, ia merebahkan dirinya ke lantai. Seperti biasa, ia akan terbawa dalam arus lelapnya. Dan lagi, aku telah menemani untuk ke sekian kalinya malam ini, membagi kisahku dengannya.
Sumber Gambar: Google Search |
Berjam-jam lamanya aku menemani ia di depan layar komputer. Ia menenggelamkan diri dengan kesibukan yang entah kenapa begitu banyak menyita waktunya. Ia tak peduli waktu. Dibiarkannya sang waktu terus bergulir tanpa ampun. Justru dialah yang ingin berimprovisasi dengan waktu demi kesibukan yang dijalaninya.
“Aku ingin terus seperti ini. Kesibukan bisa sedikit memberikan racun buat memoriku. Meskipun aku harus mengorbankan beberapa hal, aku ingin melupakannya,” lirihnya.
Aku cemburu. Hatinya berusaha menghilang dari sejati perasaannya. Ia sering berbicara tentang “cinta” yang tak pernah kumengerti wujudnya. Meskipun aku tahu, ia tak akan pernah bisa melupakan yang berusaha dilupakannya. Tanpa ia tahu, aku pernah mengacak-acak hatinya. Memeriksa kedalaman hatinya. Dan aku menemukan satu nama itu. Jelas sudah, kesibukan sebagai obat yang diandalkannya hanya akan menjadi “penghilang rasa nyeri”. Sekadar pengalih perhatian sesaat.
Aku cemburu. Tak sekalipun ia menyentuhku ketika jari-jarinya sudah menari-nari di atas tuts-tuts keyboard. Pun ketika ia menyentuhku, pandangannya tak pernah lepas dari layar komputer. Diteguknya aku sedemikian rupa lalu dilupakan selepas mendapatkan kehangatan yang ia dambakan. Aku tak ingin cemburu. Karena ia selalu memilihku sebagai “teman” di kala sunyi malam menyapanya sendirian. Seperti malam ini.
Seperti kataku tadi, aku tak mengerti siapa atau apa “cinta” itu. Yang aku tahu, aku suka dia karena dia pun menyukaiku.
“Aku suka kamu. Dimana pun aku berada, aku pasti kan mencarimu,”
Begitulah yang selalu dijanjikannya padaku. Maka, aku pun menjadi sahabatnya. Segala kekuranganku tak pernah begitu dipikirkannya. Ia selalu berkata, “Kesempurnaan sejati adalah ketika kita mampu menerima segala kekurangan yang ada,” dan aku terhanyut mendengarnya.
Meskipun aku tak bisa bicara dengannya, segala yang tak dimengerti olehnya kubisikkan melalui hatinya. Darinya pula aku bisa mengerti banyak hal. Tanpa ia sadari, ketika aku telah sampai di kerongkongannya, aku mampu menjelma jadi apa saja dan memeriksa di kedalaman hatinya. Tak perlu heran, aku akhirnya tahu dia yang sejatinya.
Sejujurnya, aku senang bersama dengannya. Ia selalu menghabiskan waktunya di malam hari kala orang-orang sudah terlelap. Aku ingin tersenyum tatkala ia bercerita mimpi-mimpinya. Aku ingin tertawa ketika ia dengan malu-malu menyebut satu nama. Ya, nama itulah yang banyak kutemukan padanya. Aku ingin menangis pula menyaksikan ia terhimpit oleh banyak beban akibat kesibukannya. Namun, ia selalu berusaha tegar dan tak ingin dikasihani, apalagi olehku.
“Aku kuat kok. Tak apa-apa,” bohongnya selalu di sampingku.
Sekali lagi, aku bisa menjelma mengacak-acak informasi dalam hatinya. Orang lain bisa tertipu, tapi tidak denganku.
Aku senang bersama dengannya. Menanti pagi. Menurutnya, akulah Cappuccino yang tepat untuk membuatnya tetap terjaga sepanjang malam. Di sunyi malam seperti ini pula aku sering membisikkan satu persatu rahasia alam. Menginspirasinya. Membuatnya lancar menekan tombol keyboard. Membuatnya semakin percaya akan mimpi-mimpi yang disusulnya. Membuatnya menghadiahkanku segaris senyum di bibirnya seraya menuliskan kisah tentangku.
Namun, aku cemburu, lagi. Dari sorot matanya, aku bisa tahu ia sedang menanti sesuatu selain pagi. Seperti ketika kemarin ia menerima short message dari sesosok nama di hatinya itu. Dan aku tahu, irama hatinya lantas berubah menjadi indah. Atau mungkin, nama itulah yang selalu diharapkannya, meskipun ia tahu nama itu telah nyata-nyata menampiknya.
Ah, sudahlah. Aku tak ingin berbicara tentang masalah hati. Tak sejelas “cinta”, aku selalu berbeda. Aku sudah bosan mendengar istilah “cinta” dari orang-orang yang menikmatiku. Aku sering menemani para remaja kalangan atas untuk sekadar hang-out di kafe-kafe. Tak jarang aku dibandrol dengan harga mahal sesuai dengan tingkatan kualitas aromaku. Sayang, sahabatku tak pernah merasakan nikmatnya aku di kafe-kafe ternama.
“Bersabarlah, kawan. Kau pasti kelak menikmatiku lebih lama disana. Kau bahkan bisa mengajak kawan-lawanmu,” ujarku selalu. Namun, lagi-lagi ia disibukkan oleh tulisannya yang tak kunjung-kunjung selesai.
Aku, cappuccino berbeda dengan kopi, teh, atau susu. Aku tahu, sahabatku enggan menikmati susu. Baginya, susu mempercepat rasa kantuknya sebelum ia benar-benar menikmati sunyinya malam.
“Aku dulu pernah suka minum susu, tapi itu saat aku masih kecil-kecilnya. Di masa-masa sekolah dulu, aku adalah siswa yang paling pendek. Makanya aku rajin minum susu,” katanya tanpa menggerakkan sesenti pun bibirnya. Aku kan sudah bilang, aku tahu yang dipikirkannya tanpa diucapkannya. Dan aku tahu, ia tersenyum lucu.
Pada akhirnya, ia sudah membuktikan, tanpa meminum seteguk susu pun ia bisa “tumbuh”. Ia memilihku, karena aku bisa menemaninya terjaga. Going to the extra miles, selalu didengung-dengungkannya. Bekerja di atas rata-rata orang lain. Jika orang lain bekerja hingga larut malam, maka ia akan bekerja hingga dini hari. Tak ada yang bisa kulakukan lagi sebatas memberikan senyum chocolate granule-ku.
Ia tak suka kopi. Ayahnya penyuka kopi. Ada trauma masa kecil yang ia rasakan atau mungkin disembunyikan jika harus berhadapan dengan kopi. Tentang ayahnya dan tentang keluarganya. Ia sampai hari ini berusaha menjauh dari “ampas” kopi.
Teh, hanyalah pilihan alternatif ketika ia tak bertemu denganku. Sudah kesekian kalinya ia harus berteman dengan teh. Terlebih jika ia sudah berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya. Di tiap tegukannya pada teh, ia akan selalu mengingatku.
Sejenak, irama ketukan jarinya berhenti. Aku melihat lebih tinggi ke arah layar komputernya. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.13 dini hari.
“Ada apa?” aku bertanya, meskipun tidak akan dijawabnya.
Ia menegukku hingga habis. Aku tak mati. Aku telah menjelma ke dalam dirinya. Seraya menjauhkan dirinya dari layar komputer, ia merebahkan dirinya ke lantai. Seperti biasa, ia akan terbawa dalam arus lelapnya. Dan lagi, aku telah menemani untuk ke sekian kalinya malam ini, membagi kisahku dengannya.
--Imam Rahmanto--
0 comments