Aku, Segelas Cappuccino - Part II

Mei 14, 2012

Baca Juga

Part 2

Sumber Gambar: Google Search

Sudah dua kali ia menyeduhku. Tampaknya ia tak ingin terlelap malam ini. Apa pasal? Tugas kuliah yang ditumpuknya sejak seminggu lalu masih terbengkalai. Beragam paper menjelma menjadi santapan malamnya. Tugas-tugas berbau “ilmiah” sejenak mengalihkan perhatiannya dari menulis itu sendiri. Ia senang menulis, tapi bukan seperti itu. Seperti yang kutahu, ia mendambakan kebebasan dalam berkarya.

Sejak sore tadi, ia sudah berkutat dengan laptop hasil pinjamannya. Ia beruntung masih ada teman seperti Dika yang berbaik hati mau membantunya.

“Dik, pinjami laptopmu, dong,”

“Mau buat apa?” tanya Dika.

“Ya, buat kerja tugas lah. Soalnya komputer di kamarku lagi rusak,” jawabnya santai sambil berjalan beriringan dengan Dika. Ia dan Dika baru saja pulang dari kampus.

“Ayolah.....sehari saja,” pintanya lagi. Kali ini ia memasang muka memelas pada teman sekampusnya itu.

“Oke, deh. Tapi harus dijaga baik-baik, ya?” seperti biasa, Dika tak akan pernah bisa menolak permintaan Bintang.

“Pasti!” serunya bersemangat.

Berulangkali ia membolak-balikkan buku yang ada di tangannya. Buku yang agak tebal. Aku tak tahu apa isinya. Tak ingin pula untuk tahu. Melihat raut wajahnya yang terlipat saja sudah membuatku enggan untuk mencari tahu soal buku itu. Cukup saja aku dengan setia menemaninya hingga tegukan terakhir.

******

Aku mencoba meniti setiap raut wajahnya. Ada yang berbeda. Detak jantungnya seakan sedang beralun dengan gerakan cepat. Tak ada irama. Matanya teliti menatap sekeliling kamar. Tatapannya berhenti padaku.

“Aduh, pasti sudah dingin,” sesalnya seraya mengangkatku. Ia sama sekali belum sempat menyentuhku ketika ia terlelap tanpa sadar di tengah-tengah kesibukannya. Aku tak perlu bertanya mengapa ia mendadak terbangun di sepertiga malam ini. Biarkan aku menelusuri lorong-lorong hatinya, mencari tahu.

Lagi, ia memimpikan satu nama itu. Nama yang telah lekat-lekat di hatinya. Sekeras apapun ia berusaha menjauhkan pikirannya dari nama itu, ternyata mimpi-mimpi tentangnya selalu menghampiri. Sesungguhnya ia bahagia memimpikannya, namun ia juga sakit jika harus mengingat nama itu.

“Ah, sudahlah. Ingat tugasmu barusan yang kau tinggalkan,” aku berusaha men-sugesti lewat hatinya. Berharap, ia bisa menyelesaikannya tepat waktu. Mengalihkannya dari nama itu.
 

Pandangannya berangsur pada layar laptop di sampingnya. Hitam. Hanya kedap-kedip lampu indikator yang menandakan bahwa perangkat masih dalam mode sleep. Pikirannya flashback ke belakang. Sontak, ia teringat akan tugasnya yang masih belum terselesaikan.

Ia membiarkanku di sampingnya. Lebih tepatnya, tak menghiraukanku. Tergeletak dalam dingin tak beraroma. Pasrah, hanya bisa menyaksikannya membolak-balikkan buku-buku tebal itu lagi. Padahal, aku juga cemas melihatnya. Setiap malam, ia selalu menghabiskan waktunya hingga dini hari. Ia tak peduli dengan kesehatannya. Acuh terhadap penyakit yang kelak akan menghampirinya. Andai itu terjadi, siapa lagi yang akan mempedulikannya? Aku hanya bisa peduli, namun tak bisa membantu. Ia tak tahu, aku hanya bisa membaca hatinya dan sedikit membisikkan sugesti-sugesti tak nyata.

Aku memandang ke atas langit. Bintang menyebar begitu indahnya. Satu sama lain membentuk formasi rasi bintang. Dari kamar ini, aku bisa melihat rasi bintang Biduk, seperti yang dulu sering ia gumamkan.

“Lihatlah,” aku berusaha menunjuk ke langit, tentu saja tidak bisa. Siapa aku, apa aku. Maka lebih baik kubisikkan sugesti-sugesti itu padanya.

Sejenak, ia menghentikan pekerjaannya. Dipandangnya langit itu. Terlintas seulas senyum dari bibirnya. Aku tahu, ia teringat masa kecilnya. Setiap malam, selalu menghabiskan waktu di luar rumah sambil menunjuk-nunjuk bintang di langit. Ayahnya pula yang mengajarkan setiap nama-nama rasi bintang itu padanya.

“Ingatlah, engkau akan bersinar cemerlang seperti bintang di langit. Meski sudah ada bulan yang terang cahayanya selalu dipuja-puja orang, bintang tetap istimewa. Tanpa bintang, orang-orang akan kehilangan arah. Tak tahu mana selatan, mana utara. Kapan hujan, kapan kemarau,”

“Kelak, engkau tak perlu menjadi orang yang dipuja-puja atau dihormati. Cukup dengan menjadi orang yang berguna dan selalu dibutuhkan oleh orang lain, engkau akan dihargai,” bisikku menirukan suara hati ayahnya yang selalu ia simpan hingga sekarang.

Ketetapan hatinya mantap. Ia kembali menyibakkan ingatan-ingatan itu. Tak ingin berlama-lama tenggelam di dalamnya. Tersisa kurang dari tujuh jam baginya untuk menyelesaikan paper itu tepat pada waktunya. Kantuk tak lagi ia rasakan. Ia bersikukuh akan bertahan hingga pagi hari, menjelang kuliah jam pertamanya. Ia yakin, ia akan tetap bersinar malam ini. Aku akan menemaninya bersinar meski ia tak punya pemanas sekadar untuk mengembalikan kehangatanku. Biarlah, aku rela dicampakkannya pagi-pagi.





__potongan kisah sebelumnya__
__potongan akhir__
......to be continued.

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments