Mengunjungi Monas

Mei 04, 2012

Baca Juga



Siang masih sangat terik ketika kami tiba di kamar hotel. Perjalanan dari Universitas Indonesia (UI) dengan memanfaatkan jalur kereta commuter line menghabiskan waktu selama 25 menit. Belum usai jadwal company visit kami (MNC dan Jakarta Post), saya bersama teman-teman sudah "melarikan diri." Mangkir sedikit, yo wis lah... Saya tidak ingin lagi mengulang kesalahan saya sebelumnya; tidak menyempatkan diri untuk menikmati kota Jakarta.

"Mau kemana kita?" adalah pertanyaan yang klise jika berada di tempat-tempat yang baru. Beruntung, tempat kami menginap (dekat MNC tower) adalah tempat yang strategis untuk persoalan jalan-jalan. Berdasarkan survei GPS, Monumen Nasional (Monas) yang menjadi kebanggaan orang Jakarta hanya berjarak setengah kilometer. Tapi, menurut kawan saya yang telah lama tinggal disini, di Jakarta orang-orang tidak berbicara soal jarak. Jika akan melakukan perjalanan, biasanya yang mesti diperhitungkan adalah tempat 'berapa lama'. So, bukan 'berapa jauh'. Saking macetnya kota ibukota kita.

Untuk mengawalinya, kami sepakat (memanfaatkan naluri penasaran) menjelajah jalan Kebon Sirih demi menemukan jalan ke Monas. Selang beberapa menit, kami akhirnya menemukannya.

Perasaan bahagia kami pun disambut oleh kawanan rusa yang ada di balik pagar taman monas. Tentunya, sebagai orang luar Jakarta, kami tak ingin melewatkan momen berharga ini. Dokumentasi harus berjalan sebagaimana perlunya.

Tugu Monas dikelilingi oleh taman-tamannya. Orang-orang bisa berjalan-jalan di sekitar taman itu sekadar untuk istirahat. Di tiap-tiap jalan paving blocknya, berselang-seling pedagang-pedagang souvenir. Beraneka ragam miniatur monas, gantungan kunci, kaos oblong dijajakan buat para penikmat Monas. Mengabadikan momen di Monas pun bisa secara komersial. Ada tukang-tukang foto yang menawarkan jasa foto-langsung-jadi dengan memanfaatkan printer portable.

Antara taman dan tugu Monas dipisahkan oleh lapangan besar berpaving block yang mengelilinginya. Tanpa dinaungi satu pohon pun. Kalau hari lagi terik-teriknya, kulit bisa terbakar oleh panasnya matahari. Menurut para pedagang yang sering mangkal di sekitar sana, tugu Monas ditutup pada jam tiga sore. Oleh karena itu, tanpa buang-buang waktu, mulailah kami hunting beragam souvenir itu, baik sebagai ole-ole, maupun buat diri sendiri.

Puas berbelanja, kami kembali ke penginapan. Kali ini tidak dengan berjalan kaki, melainkan dengan bajaj. Sekali-kali mesti merasakan naik bajaj juga dong. Hehehe...

Pergi Monas jalan kaki, pulang Monas naik bajaj.

--Imam Rahmanto--

Jakarta, 2/5

ImamR

You Might Also Like

0 comments