"Wah, kuat sekali ya minum kopi," celetuk salah seorang teman.
Sedari siang, saya memang suka menghabiskan waktu liputan bersama seorang jurnalis senior dari media yang sama. Mau tidak mau, lantaran saya masih harus banyak berguru perihal sepak bola dan pertandingan padanya. Tahu sendiri kan, bagaimana parahnya saya mengabaikan dunia sepakbola. Teman-teman sampai menertawai saya lantaran minus pengetahuan bola.
Kami biasanya menghabiskan waktu luang atau waiting time di sebuah warung kopi (warkop) sederhana di tepi jalan. Posisinya persis di samping stadion kebanggaan warga kota Makassar, stadion Mattoanging. Suasana cukup nyaman, menu sederhana, dilengkapi wifi, sudah cukup mendaulat Warkop Orange sebagai persinggahan para wartawan olahraga.
Karena tak menyediakan cappuccino, saya harus membiasakan diri minuman lain. Alternatifnya, kopi susu. Masih lebih baik ketimbang kopi pekat. Masih berstatus anak-pinak keturunan kopi. Beberapa kali mencicipinya, kopi susu disana ternasuk yang paling enak sih.
Pun ketika baru mulai bertugas di desk olahraga pada bulan Ramadhan kemarin, saya selalu berbuka puasa dengan segelas minuman khas warkop itu.
"Minum yang dingin-dingin dulu. Atau yang manis-manis lah. Apa lambungmu tidak bermasalah langsung berbuka dengan kopi begitu?" tanyanya yang segera saya jawab "tidak". Saya sudah terbiasa kelaparan, maka penyakit maag itu sudah mulai beradaptasi membentuk vaksinnya sendiri. Haha...
Entah sejak kapan saya mulai terbiasa dengan minuman keluarga kopi itu. Khususnya cappuccino. Kalau kopi pekat, saya agak menjaga jarak. Bisa dikatakan, saya membencinya. Saya agak kepayahan mau menyebut istilah nge-cappuccino dengan ngopi. Mau bagaimana lagi, menyebut nge-cappuccino masih terlalu panjang dan aneh di telinga orang-orang awam.
Saya lebih dibuai oleh minuman a la Italia itu jika bertandang di sebuah coffeeshop. Kalau pun tak tersedia, alternatif substitusinya cukup kopi susu. Asalkan bukan kopi pekat, lagi. Bahkan di rumah pun saya harus mencari cappuccino oplosan untuk memulai aroma pagi. Seolah-olah hari saya takkan secerah matahari di luar jika tak menyesap segelas-dua gelas cappuccino.
Pun di kantor redaksi, saya suka berlama-lama. Perihalnya, ada persediaan kopi susu dan teh untuk para awak redaksi bekerja. Serupa pulang ke rumah, sang istri seolah sudah menyiapkan penghangat untuk teman di depan komputer. Siapa pun istri saya kelak, ia harus tahu bagaimana cara membuat cappuccino yang enak.
Jika kalian berkunjung ke tempat saya terkadang menyibukkan diri, ruangan pantry kecil itu ada di pojok ruangan. Tepat di belakang huruf-huruf raksasa, dimana kalian biasa berlomba-lomba mengabadikan gambar saat berkunjung ke kantor di lantai 4 ini. Yah, kalian selalu tertarik dengan label besar itu, seolah-olah ingin menunjukkan pada dunia bahwa "lihat-saya-ada-disini-dan-pernah-kemari". Masuk saja lewat pintu mungilnya. Ambil segelas-dua gelas kopi susu atau teh, sesuai selera.
Sebenarnya, bagi saya, menyeruput cappuccino (atau anggap saja kopi) bukan semacam adiktif. Toh, tidak seperti orang yang mencandui rokok, saya masih bisa menahannya tatkala benar-benar kepayahan untuk menyediakannya. Lagi, bukan kopi. Saya juga belum sampai pada momen membaui permukaan gelas sebelum menyeruputnya dalam-dalam. Saya belum saampai pada orang-orang yang menggemari wine atau minuman anggur sampai tahu spesifikasi tahun pembuatannya.
Mungkin hanya semacam kebutuhan atau kesukaan pada aromanya yang menebar cabang-cabang filosofis. Kepala saya mungkin sudah mematok bahwa setiap kali hendak bersantai, membaca buku, memulai pagi, dan menulis, saya butuh ditemani segelas minuman penghangat.
Toh, di luar sana tetap bertebaran banyak orang yang juga punya minuman kesukaannya masing-masing. Sebagian besar nyaris menggambarkan kepribadian para penikmatnya. Sisanya lagi mungkin sekadar menyumpal isi perut agar tak kehausan.
Lantas, kamu, apa minumanmu?
Di suatu waktu nanti, di negeri antah berantah di luar ibu pertiwi, saya akan bersantai dengan segelas cappuccino di meja. Menyeruputnya di pinggir kanal yang tak henti dilintasi perahu-perahu kecil yang dikemudikan nelayan. Atau, di pinggir trotoar jalan yang ditangkupi payung besar. Duduk di atas kursi mahoni sembari memandangi orang-orang yang lalu lalang berjalan kaki. Yah, di luar sana, saya sudah pernah melihatnya di film-film.
Kata teman saya, di tempatnya bekerja (di negeri kanguru), ada banyak kafe yang berkonsep seperti itu. Yah, kelak saya akan mampir kesana dan bersama-sama menikmati hari dengan secangkir latte atau cappuccino. Pasti.
Sedari siang, saya memang suka menghabiskan waktu liputan bersama seorang jurnalis senior dari media yang sama. Mau tidak mau, lantaran saya masih harus banyak berguru perihal sepak bola dan pertandingan padanya. Tahu sendiri kan, bagaimana parahnya saya mengabaikan dunia sepakbola. Teman-teman sampai menertawai saya lantaran minus pengetahuan bola.
Kami biasanya menghabiskan waktu luang atau waiting time di sebuah warung kopi (warkop) sederhana di tepi jalan. Posisinya persis di samping stadion kebanggaan warga kota Makassar, stadion Mattoanging. Suasana cukup nyaman, menu sederhana, dilengkapi wifi, sudah cukup mendaulat Warkop Orange sebagai persinggahan para wartawan olahraga.
Karena tak menyediakan cappuccino, saya harus membiasakan diri minuman lain. Alternatifnya, kopi susu. Masih lebih baik ketimbang kopi pekat. Masih berstatus anak-pinak keturunan kopi. Beberapa kali mencicipinya, kopi susu disana ternasuk yang paling enak sih.
Pun ketika baru mulai bertugas di desk olahraga pada bulan Ramadhan kemarin, saya selalu berbuka puasa dengan segelas minuman khas warkop itu.
"Minum yang dingin-dingin dulu. Atau yang manis-manis lah. Apa lambungmu tidak bermasalah langsung berbuka dengan kopi begitu?" tanyanya yang segera saya jawab "tidak". Saya sudah terbiasa kelaparan, maka penyakit maag itu sudah mulai beradaptasi membentuk vaksinnya sendiri. Haha...
Entah sejak kapan saya mulai terbiasa dengan minuman keluarga kopi itu. Khususnya cappuccino. Kalau kopi pekat, saya agak menjaga jarak. Bisa dikatakan, saya membencinya. Saya agak kepayahan mau menyebut istilah nge-cappuccino dengan ngopi. Mau bagaimana lagi, menyebut nge-cappuccino masih terlalu panjang dan aneh di telinga orang-orang awam.
Saya lebih dibuai oleh minuman a la Italia itu jika bertandang di sebuah coffeeshop. Kalau pun tak tersedia, alternatif substitusinya cukup kopi susu. Asalkan bukan kopi pekat, lagi. Bahkan di rumah pun saya harus mencari cappuccino oplosan untuk memulai aroma pagi. Seolah-olah hari saya takkan secerah matahari di luar jika tak menyesap segelas-dua gelas cappuccino.
Pun di kantor redaksi, saya suka berlama-lama. Perihalnya, ada persediaan kopi susu dan teh untuk para awak redaksi bekerja. Serupa pulang ke rumah, sang istri seolah sudah menyiapkan penghangat untuk teman di depan komputer. Siapa pun istri saya kelak, ia harus tahu bagaimana cara membuat cappuccino yang enak.
Jika kalian berkunjung ke tempat saya terkadang menyibukkan diri, ruangan pantry kecil itu ada di pojok ruangan. Tepat di belakang huruf-huruf raksasa, dimana kalian biasa berlomba-lomba mengabadikan gambar saat berkunjung ke kantor di lantai 4 ini. Yah, kalian selalu tertarik dengan label besar itu, seolah-olah ingin menunjukkan pada dunia bahwa "lihat-saya-ada-disini-dan-pernah-kemari". Masuk saja lewat pintu mungilnya. Ambil segelas-dua gelas kopi susu atau teh, sesuai selera.
Sebenarnya, bagi saya, menyeruput cappuccino (atau anggap saja kopi) bukan semacam adiktif. Toh, tidak seperti orang yang mencandui rokok, saya masih bisa menahannya tatkala benar-benar kepayahan untuk menyediakannya. Lagi, bukan kopi. Saya juga belum sampai pada momen membaui permukaan gelas sebelum menyeruputnya dalam-dalam. Saya belum saampai pada orang-orang yang menggemari wine atau minuman anggur sampai tahu spesifikasi tahun pembuatannya.
Mungkin hanya semacam kebutuhan atau kesukaan pada aromanya yang menebar cabang-cabang filosofis. Kepala saya mungkin sudah mematok bahwa setiap kali hendak bersantai, membaca buku, memulai pagi, dan menulis, saya butuh ditemani segelas minuman penghangat.
Toh, di luar sana tetap bertebaran banyak orang yang juga punya minuman kesukaannya masing-masing. Sebagian besar nyaris menggambarkan kepribadian para penikmatnya. Sisanya lagi mungkin sekadar menyumpal isi perut agar tak kehausan.
Lantas, kamu, apa minumanmu?
***
Di suatu waktu nanti, di negeri antah berantah di luar ibu pertiwi, saya akan bersantai dengan segelas cappuccino di meja. Menyeruputnya di pinggir kanal yang tak henti dilintasi perahu-perahu kecil yang dikemudikan nelayan. Atau, di pinggir trotoar jalan yang ditangkupi payung besar. Duduk di atas kursi mahoni sembari memandangi orang-orang yang lalu lalang berjalan kaki. Yah, di luar sana, saya sudah pernah melihatnya di film-film.
Kata teman saya, di tempatnya bekerja (di negeri kanguru), ada banyak kafe yang berkonsep seperti itu. Yah, kelak saya akan mampir kesana dan bersama-sama menikmati hari dengan secangkir latte atau cappuccino. Pasti.
(Sumber: Clare's Cafe Chronicles) |
--Imam Rahmanto--
- Juli 28, 2015
- 0 Comments