Tertantang
Juli 15, 2015Baca Juga
"Kamu bukan pecinta bola ya? Mana ada bahasa tendangan semacam itu?" ujar salah seorang redaktur, yang terkenal kegarangannya.
Saya hanya mengiyakan pertanyaan redaktur saya itu sembari cengar-cengir. Mendengar bahasa yang saya tuliskan pun saya malah dibuat tertawa. Akh, akibat deadline mendera. Sejak awal, saya memang tak pernah menggilai permainan sepak kaki itu. Satu-satunya yang membuat saya terhubung dengan olahraga sejuta umat itu hanya games Play Station.
Toh, bukan hal wajib setiap lelaki harus menggandrungi permainan itu. Redaktur saya, yang perempuan itu mungkin jauh lebih banyak tahu persepakbolaan ketimbang saya. Kendati saya tetap suka menjadi berbeda ketimbang kebanyakan laki-laki lainnya. #lagak
"Kalau memang kamu tak suka bola, saya masih bisa kok menggeser kamu untuk liputan lain. Saya tak mungkin memaksakan untuk sesuatu yang tak kamu cintai," lanjutnya lagi. Katanya, kalau saya tak mencintai sesuatu, maka saya takkan menjiwainya.
Haha...pada dasarnya, saya memang tak punya banyak pengetahuan tentang olahraga itu. Menyaksikan pertandingan klub populer di layar kaca saja, saya selalu absen. Di kala teman-teman saling mengolok tim kesayangannya, saya justru diam tanpa banyak bicara.
Sejatinya, apa yang diucapkan redaktur saya tak keliru. Saya justru tercekat lewat kata-kata itu. "Tanpa mencintai sesuatu, kita takkan menjiwai dalam mengerjakannya."
Saya tak menyukainya, bukan berarti takkan pernah menyukainya. Lewat proses yang awalnya dipaksakan, saya belajar mencintai. Saya belajar memahami seluk-beluk dunia itu. Saya menghitung dan menyimak satu-satu. Merekam segala hal yang dibutuhkan di kepala. Ini bukan tentang "memaksakan sesuatu". Melainkan mencoba hal-hal baru, demi menjebol batas diri.
Satu hal yang membuat saya selalu hidup: tantangan. Saya menyukainya. Kehidupan rasanya berjalan monoton tanpa tantangan. Untuk memperkaya pengalaman diri, kita harus selalu mencoba hal-hal baru. Merasainya. Seberapa nikmat melintas batas dan keluar dari zona nyaman (comfort zone). Apa hakikat belajar jika sudah memahami apa yang ingin diketahui? Kamu belajar, kalau mencari tahu. Dari tidak tahu menjadi tahu.
Saya menyukai tantangan...
Saya pernah mewanti-wanti, "Kalau seandainya saya mendapatkan desk liputan bola, bisa mati deh!" saat pertama kali bergelut di dunia pers profesional. Mengingat kegandrungan saya yang sangat bertolak belakang. Namun, saya selalu berprinsip, menerobos zona nyaman. "Kalau tak bisa jadi orang pandai, percayalah, kita bisa jadi orang berani!"
Saya menyukai tantangan. Menjajal hal-hal baru. Menikmati kosmos yang berganti sepersekian detik. Demi alam semesta, kita hidup untuk menyerap partikel pengetahuan dan pengalaman yang berputar di dalamnya.
Saya hanya mengiyakan pertanyaan redaktur saya itu sembari cengar-cengir. Mendengar bahasa yang saya tuliskan pun saya malah dibuat tertawa. Akh, akibat deadline mendera. Sejak awal, saya memang tak pernah menggilai permainan sepak kaki itu. Satu-satunya yang membuat saya terhubung dengan olahraga sejuta umat itu hanya games Play Station.
Toh, bukan hal wajib setiap lelaki harus menggandrungi permainan itu. Redaktur saya, yang perempuan itu mungkin jauh lebih banyak tahu persepakbolaan ketimbang saya. Kendati saya tetap suka menjadi berbeda ketimbang kebanyakan laki-laki lainnya. #lagak
"Kalau memang kamu tak suka bola, saya masih bisa kok menggeser kamu untuk liputan lain. Saya tak mungkin memaksakan untuk sesuatu yang tak kamu cintai," lanjutnya lagi. Katanya, kalau saya tak mencintai sesuatu, maka saya takkan menjiwainya.
Haha...pada dasarnya, saya memang tak punya banyak pengetahuan tentang olahraga itu. Menyaksikan pertandingan klub populer di layar kaca saja, saya selalu absen. Di kala teman-teman saling mengolok tim kesayangannya, saya justru diam tanpa banyak bicara.
Sejatinya, apa yang diucapkan redaktur saya tak keliru. Saya justru tercekat lewat kata-kata itu. "Tanpa mencintai sesuatu, kita takkan menjiwai dalam mengerjakannya."
Saya tak menyukainya, bukan berarti takkan pernah menyukainya. Lewat proses yang awalnya dipaksakan, saya belajar mencintai. Saya belajar memahami seluk-beluk dunia itu. Saya menghitung dan menyimak satu-satu. Merekam segala hal yang dibutuhkan di kepala. Ini bukan tentang "memaksakan sesuatu". Melainkan mencoba hal-hal baru, demi menjebol batas diri.
Satu hal yang membuat saya selalu hidup: tantangan. Saya menyukainya. Kehidupan rasanya berjalan monoton tanpa tantangan. Untuk memperkaya pengalaman diri, kita harus selalu mencoba hal-hal baru. Merasainya. Seberapa nikmat melintas batas dan keluar dari zona nyaman (comfort zone). Apa hakikat belajar jika sudah memahami apa yang ingin diketahui? Kamu belajar, kalau mencari tahu. Dari tidak tahu menjadi tahu.
Saya menyukai tantangan...
Saya pernah mewanti-wanti, "Kalau seandainya saya mendapatkan desk liputan bola, bisa mati deh!" saat pertama kali bergelut di dunia pers profesional. Mengingat kegandrungan saya yang sangat bertolak belakang. Namun, saya selalu berprinsip, menerobos zona nyaman. "Kalau tak bisa jadi orang pandai, percayalah, kita bisa jadi orang berani!"
Saya menyukai tantangan. Menjajal hal-hal baru. Menikmati kosmos yang berganti sepersekian detik. Demi alam semesta, kita hidup untuk menyerap partikel pengetahuan dan pengalaman yang berputar di dalamnya.
(Sumber: lockerdome.com) |
--Imam Rahmanto--
0 comments