28# Sepi

Juli 15, 2015

Baca Juga

Ramadhan#28 |

Ini sudah H-2 Lebaran. Malam ini adalah malam terakhir Ramadhan. Esok, kita akan mendengar lantunan takbir yang menggema di segala penjuru tanah air. Segala budaya dan variasinya yang khas menggemakan kemenangan. Semua sama, di kota maupun di perkampungan. 

Saya sendiri, menyepi di tengah diberangusnya keramaian kota. Bagaimana tidak, lebih dari setengah kawanan manusia kota itu tersusun oleh orang-orang dari kampung dan pedesaan. Di musim ini, musim yang hidup sekali dalam setahun, orang-orang berhijrah ke tempat pulang masing-masing. Menyemai rindu yang ditanam dalam keterasingan rantau.

Bukan pertama kalinya saya harus menghabiskan waktu berlebaran di tengah kota. Dua tahun sebelumnya, saya pernah memutuskan tak pulang. Secara harfiah, benar-benar tak ingin pulang ke ruimah. Saya menghapus segala rindu yang tumbuh bak gulma. Setiap kali dipotong, tak butuh waktu lama untuk tumbuh dan berkembang.

Kini, saya mempelajari hal berbeda. Saya benar-benar ingin pulang melepas kerinduan. Meski barang sehari atau dua hari sekalipun. Menyetor muka seadanya kepada bapak dan ibu. Memijat-mijat kaki bapak. Membantu ibu memotong ayam. Berfoto selfie dengan adik di rumah. 

Akan tetapi, tugas dan tanggung jawab pekerjaan kini memaksa saya meredam segala keinginan itu. Biarkan saja rindu itu tumbuh menyerupai belukar. Tuhan selalu menyiapkan perjalanan tak terduga dalam kehidupan siapa pun.

Saya merasai kota ini menjadi ladang kesunyian. Orang-orang yang saya kenal satu per satu mulai meninggalkan kesibukannya di kota. Dua-tiga hari ke depan, katanya, baru kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan duniawi. Tak pelak, saya dilanda sepi di tengah bingar perkotaan.

"Hei, kenapa tidak pulang?" sudahlah. Saya terbiasa mendengar pertanyaan semacam itu. Semestinya saya yang mendengar, "Tunggu saya yang akan mengobati kesepianmu," dari sudut antah berantah yang belum terjamah oleh waktu... 

Besok, takbir menggema. Semoga kemenangan Ramadhan jauh melantun dalam palung lubuk hati saya, mengatur laju abstrak chemistry dengan bapak dan mamak yang berharap anaknya hadir di rumah...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments