Katarsis
Juli 21, 2015Baca Juga
(Sumber: goodreads) |
Katarsis. Saking penasarannya, saya juga baru tahu makna kata ini beberapa hari yang lalu. Artinya, salah satu teknik untuk menyalurkan emosi yang terpendam, atau bisa dikatakan pelepasan kecemasan dan ketegangan yang terpendam dalam diri seseorang, misalnya dengan curhat, menulis, (atau bahkan melukai diri sendiri maupun orang lain). Istilah katarsis sendiri dipopulerkan oleh Sigmund Freud, Bapak Pelopor Psikoanalisa.
Nah, secara sekilas, buku ini memang kelihatan seperti novel teen-lit pada umumnya. Judulnya agak retro, seolah-olah menggambarkan isi bukunya yang tak jauh dari tema asmara. Tapi jangan salah kaprah. Perhatikan baik-baik gambar covernya. Sedikitnya, gambar tunggal itu mencerminkan sebagian isi ceritanya yang tak jauh berputar pada kisah seorang psikopat dan sosiopat.
Oh, tidak! Jangan bertanya apa arti psikopat dan sosiopat itu lagi. Kita kerap menemuinya dalam film-film thriller layar kaca atau layar lebar. Kalau kamu menemukan para pembunuh berdarah dingin, tanpa rasa takut, tanpa rasa sakit, tanpa penyesalan, justru kepuasan, itu sudah mendekati gangguan jiwa yang dinamakan psikopat. Antara sosiopat dan psikopat, keduanya punya kesamaan.
Nah, saya suka buku setebal 246 halaman ini. Ceritanya benar-benar membawa kita pada ketegangan dan penasaran berlapis. Membaca setiap babnya, saya dipaksa untuk membuka lembaran berikutnya lantaran dibebat penasaran. Apalagi setiap bab buku bercerita tidak panjang. Satu bab bisa habis dibaca 5-6 lembar. Singkat, padat, dan mematikan!
Sejujurnya, buku ini sudah lama masuk dalam daftar antrian saya. Namun baru kemarin malam punya waktu untuk membacanya. Pun membacanya hanya sekali lahap, saking kerennya.
Isi buku dibuka dengan kejadian ditemukannya Tara Johandi, gadis yang nyaris mati di dalam kotak perkakas kayu. Ia diduga menjadi korban perampokan di rumahnya yang menewaskan ayah, bibi, dan juga sepupunya. Ia yang disebut sebagai "gadis yang selamat itu" ternyata menyimpan kisah kelam yang sebenarnya membawa fakta baru atas kejadian perampokan itu. Akh, bukan perampokan! Melainkan pembunuhan yang didalangi dirinya sendiri, yang terkurung di kotak perkakas kayu.
Kehadiran tokoh lain, Ello, sebagai sudut pandang cerita kedua dikemas cukup apik. Bukannya tokoh-tokoh itu dibuat sebagai "orang baik", mereka justru dibungkus sebagai peran antagonis. So, jangan berharap menemukan "tokoh baik" dengan akhir bahagia dalam buku ini. Ini novel thriller, men!
Sudah saya katakan, buku ini bercerita tentang pembunuhan dan segala intriknya. Tak ada detektif dalam pemecahan kasusnya. Tak ada orang pintar yang membantu misteri terkuak. Polisi, cuma menjadi pemanis suasana. Pembaca akan dibawa pada tebak-menebak-acak pelaku (yang sesungguhnya sudah jelas namun dibuat membingungkan lewat intriknya). Keren!
Ceritanya yang tak klise membuat otak saya ikut berputar dan tersegarkan. Penulisnya, Anastasa Aemilia, nampaknya cukup cerdas mengolah ketegangan-ketegangan di dalamnya. Jarang-jarang loh penulis perempuan yang berbicara non-cinta dalam setiap tulisannya.
Hanya saja, pembaca harus berhati-hati. Tanpa menyelami isi buku, kita akan terjebak pada alur cerita yang terkadang maju-mundur tanpa aba-aba. Di salah satu sesi juga akan ditemukan gaya penceritaan yang tiba-tiba saja terbagi pada dua sudut pandang. Antara Tara dan Ello yang bergantian "masuk panggung". Meski demikian, saya tetap tidak kesulitan mengidentifikasi tokoh yang tengah bercerita.
Pokoknya buku ini keren. Di luar kebiasaan. Unik. Bahasanya tidak mendayu-dayu, meski penggambaran kejadiannya cukup detail. Kisah asmara antara dua psikopat juga diselipkan tanpa perlu manis-manis. Biasa-biasa saja. Alhasil, buku yang patut direkomendasikan untuk mempelajari bagaimana seorang psikopat atau sosiopat merespon sekitarnya.
"Rasa sakit itu ada untuk melindungi dan mengajarimu banyak hal" Katarsis
--Imam Rahmanto--
0 comments