25# Baju Baru

Juli 12, 2015

Baca Juga

Ramadhan#25 |

Saya mulai melihat jalanan penuh dengan pedagang dadakan. Sebagian besar menjajakan barang-barang berupa sandang, baik sandal, sepatu, baju, celana, dan segala pernak-pernik aksesoris busana. Maklum, lebaran tak sampai seminggu lagi.

Keinginan saya memenuhi nafsu "berbaju baru" nampaknya harus ditepis tahun ini. Lagipula, sudah beberapa tahun ini saya tak lagi memikirkan hal semacam itu. Semenjak saya mampu hidup jauh dari orang tua. Memangnya kita anak kecil yang harus merengek ketika tak punya baju baru?

Seorang teman saya justru lebih memilih memuaskan nafsu "buku"nya ketimbang nafsu "pakaian baru". Baginya, buku bisa memuaskan waktu-waktu liburannya di kampung, dan takkan kusam dimakan usia. Saya juga sebenarnya punya program "sebulan-satu buku" dari penghasilan sementara. Namun, 6 buku yang sebelumnya sudah diborong di depan kampus tempo hari membuat saya menahan-nahan perasaan itu.

Tanpa perlu meminta-minta pakaian lebaran, orang tua selalu saja ingin menghadiahkan baju baru untuk anak-anaknya. Tahun kemarin, bapak dan ibu mengiming-imingi saya dengan pakaian baru.

"Kamu ikut sana sama Mak-mu. Pilih baju bagus di rumahnya Haji," ujar bapak jelang lebaran beberapa hari.

Haji yang dimaksud adalah tetangga sebelah rumah yang punya stok dagang pakaian di kampung. Saban hari pasar, Selasa dan Jumat, menggelar dagangannya. Sudah jadi kebiasaan bagi keluarga kami untuk "ngutang" dagangan dari tetangga itu. Sejak saya kecil, hingga saya memasuki usia perkuliahan.

Saya enggan mengabulkan maksud bapak. Selain sungkan, saya agak risih harus memilih-milih baju di rumah Haji. Sedewasa ini, dan saya masih mengharap dipilihkan baju? Lagipula, di usia sadar sekarang, saya seharusnya paham tentang kesulitan keluarga. Tidak perlu lagi menambah-nambahnya hanya karena ingin memuaskan nafsu lebaran.

"Tidak usah, Pa',"

Saya sadar, orang tua di belahan dunia mana pun selalu ingin memberikan sesuatu untuk anaknya. Bukankah kita memang tidak bisa mencintai tanpa selalu diselingi perasaan ingin memberi kepada orang yang dicintai itu? Hakikat sayang orang tua sejatinya seperti itu. Setua apa pun anaknya, mereka akan selalu berusaha memberikan sesuatu yang mereka anggap dibutuhkan anaknya. Dan kita, anaknya, hanya bisa menerima tanpa maksud menyusahkan. Sekadar menyenangkan hati keduanya.

"Tidak usah, Pa'. Saya bawa baju sendiri kok," saya mencoba mengelak. Satu-dua potong pakaian "baru" memang tak lupa saya pamerkan untuk mereka. Padahal itu hasil berburu pakaian cakar. Hahaha...

Untuk lebaran tahun ini, saya tak tahu harus berbekal kebaruan seperti apa. Penghasilan kemarin sudah diinvestasikan untuk keperluan penting lainnya, di proses akademik. Emm...sebisanya, saya hanya butuh hal-hal baru untuk dikisahkan kepada orang tua. Sebisanya, keadaan semestinya sudah berbalik. Bukan lagi orang tua yang menghadiahi anaknya. Melainkan anak berbakti memberikan hadiah kepada bapak dan ibu walau tak seberapa.

Baru atau pun kuno, tak pernah menjamin jiwa kita suci dan terbebas dari api neraka. Lepas dari Ramadhan, yang paling penting adalah menyucikan jiwa. Sejauh mana kita telah menjalani Ramadhan yang penuh berkah? Ramadhan yang seharusnya dijejali oleh pahala berkali-kali lipat.

"Lantas, sudah berapa banyak tarawihmu?"

Err...pertanyaan itu lagi.... _ _"


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments