Arah Hidup

Juli 12, 2015

Baca Juga

(Sumber: kompas.com)
Malam, seorang diri, saya mengatur langkah menyusuri jalanan kota. Saya baru saja pulang dari kantor redaksi. Tidak seperti biasa, saya hanya memanfaatkan kendaraan angkutan kota. Disini, orang menyebutnya pete-pete. Teman yang biasanya mengantar saya pulang sedang tak berada di kantor.

Mobil berhenti tepat di ujung jalan besar. Perjalanan saya masih harus ditempuh sejauh 1 km ke tempat pulang. Beberapa tukang becak sempat menawari tumpangan. Hanya saja, saya menepisnya. Saya cuma ingin merasai suasana perkotaan di malam Ramadhan ini.

Lampu-lampu jalan silih berganti menyapa. Raung kendaraan yang melintas beradu dengan lantunan musik di telinga. Ada adegan-adegan melankolis yang tercipta, ada pula ritmis membuat saya harus bergerak mengikuti nada. Seandainya saya tak melintasi banyak orang di pinggir jalan, mungkin saya dengan senang hati bakal berjoget.

So maybe, I won't let your memory haunt me. I'll be sleepwalking, with the lonely.... *

Dalam beberapa kesempatan, saya suka berjalan kaki. Saya banyak belajar mengamati dari memperlambat waktu demikian. Meski sendirian, toh keramaian masih membuncah dari sudut dan kelok jalan kota. Ini kota, yang geliatnya tak terbatas waktu. Kadang kita akan menemukan banyak keramaian di sela-sela penghujung malam Ramadhan.

Warung-warung makan yang menguapkan aroma andalannya. Toko-toko kelontong yang berjejer menanti pelanggan. Mobil mewah yang berhenti di depan toko souvenir boneka. Gerobak gorengan yang tak berhenti memamerkan pamflet harganya. Ada rasa cokelat, keju, biasa, spesial, hingga istimewa. Pedagang buah-buahan yang menambahi stok kelapanya di bulan Ramadhan. Penjaja takjil yang menawarkan penglaris akhir dagangannya. Cahaya lampu neon juga menimpa pemuda-pemudi yang berhenti di pinggir jalan. Sejenak berdiskusi, hendak menghabiskan malam minggu dimana. Mengabaikan saya yang melintas seorang diri dan terlarut dalam lamunan lagu di headset.

Seharusnya kita jengah dengan kehidupan kota. Percepatannya tak luput menghisap segala kemampuan menikmati keadaan. Bak berkendara, lajunya yang cepat tak memberi kesempatan mengamati sekitar secara tepat. Ada rasa yang tak terukur dari percepatan itu. Padahal ada banyak keindahan yang seyogyanya dinikmati agar manusia tak luput dari rasa syukur.

Maybe, You don't have to smile so sad. Laugh when you're feeling bad. I promise I won't... *

"Apa tidak capek berjalan kaki sejauh itu?"

Saya tak merasakan tenaga yang terkuras, selama perjalanan saya punya tujuan pulang yang pasti. Saya.justru senang mengeksplor tempat-tempat baru dan merekamnya di kepala. Lagipula saya membayangkan diri sedang tersesat di negeri antah berantah. Berpapasan dengan setiap orang yang memandangi saya seperti ingin menerkam isi kepala. Membangun harap agar berpapasan dengan seseorang di kepala.

Siapa yang menyangka, kehidupan kita serupa berjalan kaki sendirian. Lelah atau malu takkan tersingkap jika sedari mula kita punya tujuan. Kemana kaki akan melangkah. Sejauh apa hidup akan dibawa.

Hidup harusnya serupa itu. Punya tujuan. Memasangnya di depan kepala. Menanamnya di bawah alam sadar. Agar di setiap laku dan langkah tak pernah lepas demi mencapai tujuan akhir tersebut. Di samping kita juga akan menikmati setiap perjalanan sebagai sebuah tour yang menyenangkan. Kepala akan selalu jadi guide dalam memandu arahnya.

Karena menjalani hidup tak sekadar mengikuti arah angin atau terhanyut aliran air...


--Imam Rahmanto--


*Lagu dari Keira Knightley, Tell Me If You Wanna Go Home

You Might Also Like

0 comments