24# Mudik
Juli 11, 2015Baca Juga
Ramadhan#24 |
*Now playing: Michael Buble - Home
Saya belum mudik untuk saat ini. Jadi, rindu masih saja tertahan disini. *nunjuk dada. Masih menunggu waktu yang tepat, menyesuaikan dengan skema libur pekerjaan.
"Apa kamu tidak bisa ambil cuti?" bapak baru saja bertanya melalui telepon. Lazimnya pertanyaan orang tua yang merindukan anaknya. Lazimnya, bapak yang mulai tak ingin banyak berdebat soal esensi hidup anaknya.
"Mana bisa, Pa'e. Saya kan masih (orang) baru disini," saya usai menyampaikan jumlah hari libur yang disubsidi oleh kantor. Tak seberapa banyak kerinduan yang bisa dihabiskan dalam jumlah itu.
Saya sebenarnya tak sabar lagi menyusur jalan di kampung. Menikmati udara segar pedesaan. Mendaki bukit-bukit yang masih hijau. Hingga bertemu dan mengulas masa dulu bersama teman-tema SMA. Akh, tapi, sekali lagi, 3 hari nampaknya bukan waktu yang banyak untuk bisa memilin-milin ingatan di kepala.
Untuk saat ini, saya akan banyak merindukan keluarga. Saya harus belajar berpikir, "Sepulang saya di rumah, sejauh apa saya akan memberikan sesuatu untuk keluarga di rumah?" Sesuatu yang lebih condong pada penghasilan atau materi.
Itulah kenapa saya masih belum jauh berpikir melanjutkan studi, seperti yang selalu digembar-gemborkan teman-teman sebaya. *Sebagai anak pertama, kamu harus sadar akan tanggung jawabmu. Lagipula beberapa hal memang tak pernah memojokkam saya perihal studi itu. Saya punya impian lain, yang sudah jelas kemana hulu atau hilirnya...
Suasana mudik memang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Memasuki minggu terakhir, orang-orang sudah mulai menyusun jadwal pulang ke rumah. Teman-teman di rumah kost saya tinggal menyisakan 2-3 orang saja. Katanya, orang-orang harus merantau supaya tahu bagaimana merindukan kampung halaman. Katanya juga, orang-orang juga harus merantau agar tahu mahalnya tiket pulang.
Pulang, memang selalu menjadi hal paling mendasar yang dirindukan setiap orang. Karena pulang adalah dasar esensi kehidupan manusia. Sejauh mana kita berpetualang, kelak tetap akan berpulang, ke hadirat-Nya.
*Now playing: Michael Buble - Home
Saya belum mudik untuk saat ini. Jadi, rindu masih saja tertahan disini. *nunjuk dada. Masih menunggu waktu yang tepat, menyesuaikan dengan skema libur pekerjaan.
"Apa kamu tidak bisa ambil cuti?" bapak baru saja bertanya melalui telepon. Lazimnya pertanyaan orang tua yang merindukan anaknya. Lazimnya, bapak yang mulai tak ingin banyak berdebat soal esensi hidup anaknya.
"Mana bisa, Pa'e. Saya kan masih (orang) baru disini," saya usai menyampaikan jumlah hari libur yang disubsidi oleh kantor. Tak seberapa banyak kerinduan yang bisa dihabiskan dalam jumlah itu.
Saya sebenarnya tak sabar lagi menyusur jalan di kampung. Menikmati udara segar pedesaan. Mendaki bukit-bukit yang masih hijau. Hingga bertemu dan mengulas masa dulu bersama teman-tema SMA. Akh, tapi, sekali lagi, 3 hari nampaknya bukan waktu yang banyak untuk bisa memilin-milin ingatan di kepala.
Untuk saat ini, saya akan banyak merindukan keluarga. Saya harus belajar berpikir, "Sepulang saya di rumah, sejauh apa saya akan memberikan sesuatu untuk keluarga di rumah?" Sesuatu yang lebih condong pada penghasilan atau materi.
Itulah kenapa saya masih belum jauh berpikir melanjutkan studi, seperti yang selalu digembar-gemborkan teman-teman sebaya. *Sebagai anak pertama, kamu harus sadar akan tanggung jawabmu. Lagipula beberapa hal memang tak pernah memojokkam saya perihal studi itu. Saya punya impian lain, yang sudah jelas kemana hulu atau hilirnya...
Suasana mudik memang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Memasuki minggu terakhir, orang-orang sudah mulai menyusun jadwal pulang ke rumah. Teman-teman di rumah kost saya tinggal menyisakan 2-3 orang saja. Katanya, orang-orang harus merantau supaya tahu bagaimana merindukan kampung halaman. Katanya juga, orang-orang juga harus merantau agar tahu mahalnya tiket pulang.
Pulang, memang selalu menjadi hal paling mendasar yang dirindukan setiap orang. Karena pulang adalah dasar esensi kehidupan manusia. Sejauh mana kita berpetualang, kelak tetap akan berpulang, ke hadirat-Nya.
--Imam Rahmanto--
0 comments