Anak kecil suka bermain petasan |
Pletak! Pletak! Dorr!!
Suara ledakan petasan berselang-seling di luar masjid. Suara penceramah malam itu sesekali diwarnai dengan ledakan petasan yang disulut oleh anak-anak kecil di halaman masjid. Bukannya mereka tidak dilarang, namun beberapa kali dilarang pun mereka tetap bandel menyulut sumbu petasan dan melemparkannya kepada sesama temannya. Maka tak jarang bakal terdengar suara berteriak anak-anak lainnya.
Hal seperti itu menjadi pemandangan lumrah di setiap bulan Ramadhan tiba. Bagaimana tidak, sudah menjadi tradisi anak-anak Indonesia membunyikan petasan (jenis apapun) di bulan suci ini. Mulai dari petasan komersil sampai petasan tradisional yang dibuat sendiri dari sebatang bambu. Meskipun dilarang, anak-anak tetap saja membunyikan petasan mengikuti naluri mereka. Toh, sudah menjadi bawaan mereka untuk selalu bermain-main di masa kecilnya…
Saya ingat ketika dulu juga masih sering memainkan petasan. Salah satu petasan yang menjadi andalan ketika bulan Ramadhan tiba adalah meriam bambu. Petasan ini hanya memanfaatkan batang bambu sebagai mediumnya dan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Ada juga yang menggunakan karbit sebagai bahan peledaknya. Dulu, masih belum beredar larangan untuk bermain ‘ledak-ledakan” seperti itu. Jadi, saya dan teman-teman bisa puas bermain di halaman belakang rumah, dari pagi hingga petang. Kita saling mengadu bunyi petasan siapa yang paling heboh. Jikalau bunyinya masih kurang heboh, maka kita akan mengeluarkan segala jurus dan teknik untuk mengakali suara petasan itu.
Akan tetapi, berangsur zaman, saya sudah tidak pernah lagi melihat petasan-petasan jenis tradisional seperti itu. Kini yang beredar luas di kalangan anak-anak hanyalah petasan-petasan modern. Cukup disulut dengan api dan akan meledak dengan sendirinya. Biasanya untuk menambah kekacauan, dilemparkan ke arah tertentu dulu sebelum dilempar.
Petasan jenis ini sebenarnya sudah mulai “menjajah” di masa-masa SMP saya. Karena praktisnya dan tergolong murah, maka banyak anak-anak yang beralih dan berbondong-bondong membeli petasan modern tersebut. Saya termasuk salah satunya, ikut teman. Alhasil, jika subuh hari tiba, menjelang matahari terbit anak-anak sudah beramai-ramai saling lempar petasan. Tak jarang, gadis-gadis yang lewat sekadar jalan-jalan subuh turut menjadi sasaran kenakalan kami. Saya sekali lagi cuma ikut-ikutan. Jika beruntung, kami akan menjadi target pengejaran mereka. Bahkan lebih (seru) parahnya lagi, kami akan berkejar-kejaran dengan tim Buser (Buru Sergap) masyarakat sekitar. Masa-masa itulah juga kemudian muncul larangan untuk membunyikan petasan di Bulan Ramadhan.
Sebenarnya, larangan yang dialamatkan kepada penggunaan petasan adalah hal yang wajar bagi masyarakat sekitar. Hal itu tentu demi kenyamanan umat muslim menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Akan tetapi, pelaksanaannya saja seakan-akan dijalankan setengah hati. Selalu dilarang, namun tetap juga dibiarkan. Yah, wajar jika anak-anak masih suka bandel menyulut petasan di bulan puasa.
Sebagai orang yang sedikit lebih tua, tidak perlu mencela atau menyumpahi anak-anak kecil yang bermain petasan di bulan Ramadhan. Kita pun dulu pernah kecil. Dan mungkin pernah melakukan hal yang sama. Selama mereka bisa menjaga diri, maka biarkan saja mereka menikmati masa-masa kecilnya.
Meskipun masa-masa "meledakkan petasan" saya sudah berakhir, saya cukup senang mendengar bunyi ledakan-ledakan kecil petasan di bulan Ramadhan. Bunyi-bunyi itu pula yang menjadi ciri khas bulan Ramadhan bagi orang Indonesia. Hal itu tentu sudah menjadi tradisi (tak langsung) masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Justru hal itu bisa juga jadi khasanah kekayaan budaya kita, kan? Dorr!
--Imam Rahmanto--
- Juli 31, 2012
- 4 Comments