Kisah Perdebatan Serumpun Minuman
Juli 13, 2012Baca Juga
Di dunia yang tak pernah dijamah oleh manusia, berkumpullah para minuman yang menjadi maskot kehidupan dunia. Sebuah topik diskusi menjadi perbincangan hangat mereka.
“Ah, jangan mentang-mentang kamu yang selalu dijadikannya teman lantas kamu sombong begitu, Cappie,” tegur Kopi tidak terima dirinya dianggap rendah oleh Cappuccino.
“Aku tahu, aku memang dibencinya. Tapi, maaf-maaf saja, karena aku lebih banyak disukai oleh orang-orang dewasa. Ingat juga loh, kamu itu dilahirkan karena manusia terinspirasi dariku,”
“Betul itu,” Minuman lainnya membenarkan ucapan Kopi. Si Lemon Tea tampak bersemangat pula ingin menjatuhkan Cappuccino. Tampaknya, tak ada satu pun minuman yang bersimpati pada kehadiran Cappuccino.
“Bukankah memang itu kenyataannya? Aku selalu menjadi pilihan buatnya, dan karenanya, hanya aku juga disini yang bisa mengerti mengenai perasaan yang dibangunnya, terlepas dari aku masih keluargamu, Kopi,” Cappuccino tak mau kalah. Sedari tadi, ia merasa dipojokkan oleh kawan-kawannya. Jika jadinya seperti ini, sesungguhnya ia merasa menyesal pulang ke kampung halamannya.
Kampung halaman? Ya, kampung halaman. Bukan hanya manusia ciptaan Tuhan saja yang punya kampung halaman. Mereka, para minuman, juga punya perkampungan tersendiri. Perkampungan itu takkan pernah terjamah oleh manusia. Bukankah manusia hanya makhluk fana yang tersia-siakan demi waktu? Tak ada manusia yang punya kesempatan untuk sekadar menghabiskan waktu menelisik keberadaan para minuman itu. Selama para minuman itu bisa dinikmati, tak penting manusia tahu asal-usulnya. Begitulah sifat dasar manusia. Seperti ketika mereka yang kehausan “cinta” menikmati kemolekan tubuh para pramuria. Mana ada yang dengan sukarela sekadar bertanya, “Rumahnya dimana?” atau “Asalnya dari mana?”. Tak ada. Selama mereka bisa menikmatinya, segala basa-basi dibuang begitu saja.
Nun jauh di bawah selubung yang tak pernah terungkap manusia, dekat tapi tak terjamah, tampak tapi tak terasakan, kampung halaman itu berdiam. Disanalah para minuman itu berdebat layaknya kusir. Bagaimana tidak, mereka hanya para minuman yang kebanyakan aktivitasnya mencontoh manusia. Berdebat tanpa penyelesaian. Disana pula berkumpul segala jenis minuman, mulai dari minuman kelas bawah sampai minuman kelas atas yang membuat lidah sering terpeleset ketika menyebut namanya.
“Kau tentunya bisa mengerti dia, wajar, karena kau selalu bersama dengannya di setiap malam,” Jus Alpukat angkat bicara.
“Sementara aku, yang juga menjadi pilihannya, hanya bisa dinikmatinya di siang hari. Itu pun di saat-saat tertentu,” lirihnya lagi, “Sebulan belakangan ini aku selalu dicarinya. Sayang, musimku tampaknya belum tiba. Dicari kemanapun, aku dilabeli setiap cafe; stok kosong,”
“Aku juga. Dulu, bisa menjamah perasaannya, menemani waktu senggangnya ketika kamu belum hadir. Terlebih, aku adalah minuman yang disarankan oleh gurunya tercinta,” sergah Lemon Tea tak mau kalah.
Cappuccino tahu akan hal itu. Sebelum kehadirannya, Lemon Tea lebih tahu segalanya. Ia lebih suka menyeruput teh yang sebelumnya sudah ditetesi jeruk nipis. Cukup beberapa tetes, dan ia akan merasakan kedamaian di tiap tegukannya. Namun, tetap saja, Cappuccino tak mau mengakuinya. Seiring waktu berjalan, kemampuan Lemon Tea untuk menciptakan kedamaian itu memudar, berganti dengan kehangatan yang ditawarkan olehnya.
“Itu kan dulu…” cibir Cappuccino merasa jumawa di atas semuanya.
Lemon Tea melirik saudaranya, Teh Manis, yang sedari tadi diam saja. Ia berharap mendapatkan bantuan.
“Kamu jangan terlalu kegeeran ya, Cappie. Kamu tinggal menunggu waktu saja, ia akan bosan denganmu, lantas meninggalkanmu dan melupakanmu,” Jus Jeruk berusaha menasehati.
“Aku tahu, Jeruk. Kamu juga pernah menghabiskan malam dengannya, kan? Kalau tidak salah, ketika ia masih menetap di rumah pamannya. Bahkan tampaknya ia belajar cara membuatmu,” sambung Lemon Tea.
“Paling tidak, kamu dibuatnya secara langsung. Berbeda dengan si Cappie yang hanya diseduhnya secara instan,” Terlalu jelas sindiran yang dialamatkan Lemon Tea kepada Cappuccino. Sontak, membuat Cappuccino harus berkomentar.
“Memangnya…”
“Halaaah, segala yang instan-instan biasanya jadi sumber penyakit, kok,” potong Lemon Tea tiba-tiba.
“Benar kan, Air?” Semua pandangan tertuju pada Air Putih. Mereka yang tak bersimpati pada Cappuccino meminta penjelasan yang semoga bisa menjatuhkan.
Air putih memang dikenal sangat bijaksana. Sebagai minuman sumber kehidupan, ia sudah lama menikmati gula-garam kehidupan. Ia juga dianggap sebagai orang tua dari semua jenis minuman di muka bumi. Tak ada satu pun minuman di dunia yang tidak mengenalnya. Jika hal itu terjadi, minuman tersebut bak durhaka kepada orang tuanya.
Air putih pula yang tahu segala seluk-beluk permasalahan manusia. Ia begitu mudah menyelami tiap perasaan para penikmatnya. Ia malah sudah mengerti bagaimana cara kerja perasaan manusia, yang seringkali membuat minuman lain bingung tak berdaya. Ia mengerti makna dari kata cinta, suka, sayang, benci, sedih, pilu, bahagia, sukacita. Ia selalu menjadi tempat bertanya bagi minuman lain.
Air Putih berpikir sejenak. Ia tak ingin membuat perpecahan diantara kalangan minuman.
“Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Lemon Tea ada benarnya juga. Tapi, tidak semua yang instan itu berpenyakit. Ada banyak hal di dunia ini yang berlaku instan tapi tidak menimbulkan penyakit sama sekali. Begitu pula sebaliknya,” papar Air Putih.
“Seperti Cinta?” lirih Susu menyerobot arah pembicaraan. Semua pandangan teralih padanya. Susu hanya bisa tersenyum kikuk dipandangi oleh kawan-kawannya, meskipun ia tahu seluruh kawannya juga tentu masih penasaran dengan satu istilah itu. Air Putih hanya tersenyum.
“Tentu saja. Sedikit dari penjelasan yang pernah kuberikan pada kalian, cinta itu berlaku instan. Terkadang ia hadir begitu saja, bahkan tanpa perlu dibuat-buat ataupun diaduk-aduk seperti kalian. Akan tetapi, manakala ia tak diolah dengan baik, ia akan menjadi sumber penyakit. Dan penyakitnya itu sangat destruktiif, yang dirusak bukan tubuh manusia, melainkan batin manusia secara langsung,” Air Putih memberikan sedikit intermezzo buat para minuman. Ia sadar, baik di dunia minuman maupun di dunia manusia, persoalan seputar cinta menjadi tema menarik untuk dibahas.
“Tapi, cinta itu bisa jadi obat juga, kan?” Tuh kan, tema itu langsung menjadi perhatian para minuman. Bahkan Teh Manis yang sedari awal hanya diam, kini berinisiatif mengajukan pertanyaan. Minuman lain hanya mengangguk-angguk ingin tahu.
“Ingat, Teh Manis. Kita sekarang bukan membicarakan persoalan cinta,” sergah Air Putih bijak.
Mendadak suara Yaaah! kecewa memenuhi udara. Nyaris saja perdebatan antar-minuman dilupakan begitu saja. Sungguh, mereka sangat ingin tahu.
“Nah, oleh karena itu, masing-masing punya kelemahan tersendiri. Instan-tidaknya kalian pun takkan mempengaruhi kualitas rasa kalian. Tiap minuman punya rasa tersendiri dalam memaknai hidup. Setiap minuman punya cara masing-masing memberikan kedamaian buat penikmatnya. Ingat, rasa itu memang sudah ditentukan di tiap lidah manusia. Akan tetapi, 'kualitas' rasa segelas minuman seperti kita adalah sesuatu yang relatif,”
Tak ada yang menanggapi perkataan Air Putih. Seperti biasa, semua minuman penasaran menanti penjelasan selanjutnya. Lagi-lagi, Air Putih hanya tersenyum melihat tingkah para minuman. Baginya, minuman-minuman itu sudah menjadi anak-anak buatnya.
“Ada yang menganggap kehangatan adalah hal terbaik, ada pula yang menganggap dingin dan lembut sebagai pembawa kedamaian buatnya,”
Tanpa disadari yang lainnya, Milk-Shake, Jus Alpukat, Banana Coffee Blend, Coco Chocolato, Lime Squash, Ice Ginger Milk Coffe, dan beragam Soft Drink tersenyum bangga.
“Semuanya tergantung dari kebutuhan tiap manusia itu sendiri. Seperti ketika manusia pertama mengatakan Jus Jeruk sebagai minuman terbaik baginya. Hal itu belum tentu berlaku bagi manusia yang lainnya. Toh, seperti yang kita tahu, Cappie unggul di mata tuannya. Sehingga segala pernyataan yang dibuat Cappie adalah subjektif berdasarkan segala yang dipahami dari tuannya,” Air Putih memandangi Cappuccino setelah pandangannya menyapu seluruh minuman. Cappuccino hanya bisa cengar-cengir.
“Dengar tuh, Cappie,” Jus Alpukat menimpali dari belakang yang kemudian disusul teriakan Huu! dari minuman yang lainnya. Yang mendapat teriakan hanya bisa menggaruk-garuk kepala, seandainya bisa.
“Ya sudah, yang terpenting kalian sudah mengerti. Selain itu, perdebatan seperti ini yang hanya mengunggulkan diri masing-masing sebenarnya bukan hal yang patut dicontoh dari manusia. Kalian mending mencontoh diskusi-diskusi lepas mereka yang biasanya memberikan pengetahuan-pengetahuan baru bagi manusianya. Tentunya dengan tetap mengesampingkan ego masing-masing,”
“Ego?” tanya Cappuccino tidak mengerti.
Air Putih lupa, dari sekian banyak kosa kata yang diajarkannya pada minuman-minuman, “ego” adalah salah satu yang belum diajarkannya.
“Ego sama dengan sifat mementingkan diri sendiri,”
“Emm…kalau cinta itu apa?” Susu, lagi-lagi bertanya hal itu. Meskipun ia tahu, ia masih saja berharap mendengar banyak penjelasan. Air Putih hanya menggeleng tak percaya.
Tidak ada teriakan mencemooh dari minuman di sekitarnya. Diam. Pada dasarnya, mereka juga penasaran akan hal itu. Mereka berharap mendapat banyak-banyak penjelasan. Bagi mereka, jikalau saja ada soal ujian yang dihadapkan pada mereka, maka pertanyaan-pertanyaan tentang cinta-lah yang akan menggugurkan nyali mereka.
“Cinta itu…akan kita bahas lain waktu,” ujar Air Putih yang sontak mengundang teriakan Yaaah! kecewa beramai-ramai dari minuman yang lainnya. [end]
--Imam Rahmanto--
0 comments