Just Believe It...
Juli 20, 2012Baca Juga
Hari ini saya menjalani puasa pertama di Bulan Ramadhan 1433H. Ya, meskipun masih ada perbedaan diantara beberapa orang tentang jatuhnya awal Ramadhan, hari ini atau besok. Akan tetapi, mengikuti kata hati dan keyakinan yang didasarkan pada alasan yang saya anggap benar, maka saya menjalani puasa hari ini. Tidak usah dipaparkan disini, nanti malah jadi perdebatan lagi.
Semalam saya mendapati sebuah status di wall facebook milik teman saya. Sebuah status tentang “mimpi”. Bukan mimpi yang dialami ketika tidur, melainkan mimpi berupa “sesuatu” yang benar-benar diidam-idamkan untuk dicapai.
Jika cita-cita adalah sesuatu yang diinginkan dan selalu ada jalan untuk merealisasikannya, maka bagi saya mimpi adalah sesuatu yang kita menganggapnya "tidak mungkin dicapai atau direalisasikan", namun tetap ada sedikit cara untuk menuju ke sana. Tentu saja dengan usaha keras.
Entah kenapa saya selalu tertarik jika berbicara tentang impian. Kebanyakan membaca buku-buku/ novel (yang berkisah tentang impian dan cita-cita) tampaknya mengubah saya menjadi orang yang agak berani menggantungkan impian. Saya tidak peduli jika orang menganggap itu sebagai sesuatu yang “gila” dan mustahil. Semakin sulit untuk diwujudkan, bukankah semakin manis pula proses untuk mencapainya? Dan bagi saya, disitu pulalah letak perbedaan antara impian dan cita-cita. Tahun kemarin, saya menyimak ucapan Anies Baswedan (saya tidak begitu mendengar persis siapa orang yang dimaksudnya mengucapkan hal itu) di kampus kami, yang semakin mengukuhkan mimpi saya,
“Kekhawatiran terbesar saya bukan ketika generasi muda tidak berhasil mencapai impian mereka, melainkan ketika mereka berhasil mencapai impian mereka. Akan tetapi, ternyata impian mereka itu sangat rendah sekali,”
Kenapa mesti takut bermimpi? Bermimpi tidak membutuhkan biaya alias gratis. Siapa saja bisa bermimpi, tidak memandang kaya atau miskin. Bahkan terkadang orang kaya pun masih senang bermimpi. Jika ada yang mengatakan mimpi dibatasi oleh biaya, ah itu hanya bentuk pelampiasan karena ia tidak tahu harus berbuat apa. Seringkali “takut gagal” membayang-bayangi para pemimpi, lazimnya pernyataan, “Apa saya bisa?” atau “Bagaimana jika saya gagal” atau “Saya tidak punya apa-apa,”. Klise dan klasik. Memangnya untuk sekadar bermimpi dibutuhkan biaya berapa banyak?
Tahu tidak, Thomas Alfa Edison saja tidak menganggap 1001 kesalahannya dalam menemukan unsur yang tepat untuk bahan bola lampu sebagai bentuk sebuah kegagalan. Ia justru berujar, “Saya akhirnya menemukan unsur-unsur yang tidak cocok untuk dijadikan sebagai bahan bola lampu,”. Lantas, mengapa kita mesti takut dengan kegagalan? Semua orang pernah gagal. Semua orang pernah membuat kesalahan. Nah, yang dilakukan bukan lantas menyesalinya, melainkan berusaha memperbaikinya, berharap kita belajar dari kesalahan sebelumnya.
Melalui beberapa hal yang telah saya lalui, saya banyak belajar…
Saya belajar untuk memupuk impian saya. Orang yang paling miskin di dunia ini bukan orang yang “tidak punya apa-apa". Namun orang yang paling miskin adalah mereka yang sama sekali “tidak punya mimpi”. Begitu kata Andrea Hirata.
Saya belajar untuk menghargai impian itu. Tidak menertawakannya ketika orang lain menertawakannya. Tidak jarang saya pun sering menjumpai orang-orang yang meremehkan impian saya. Tentu saya tidak akan mengepalkan tinju saya dan mendaratkannya di kepala mereka. Namun saya mengepalkan tangan seraya bertekad untuk membuktikan mimpi itu, hingga suatu hari bisa saya buktikan pada mereka sambil berkata, “Lihat kan?”.
Saya belajar untuk menyerahkannya pada Tuhan yang selalu menggenggam impian tiap makhluk-Nya. Bagi-Nya, segala sesuatu masih bisa berubah sepanjang kita sendiri yang berusaha mengubahnya. Hanya jodoh, kelahiran, dan kematian saja yang masih dirahasiakan-Nya dan tak bisa diubah dari kita.
Saya belajar untuk percaya pada impian saya. Ya, harus PERCAYA. Sebagaimana saya percaya bahwa akhirat itu ada dan kelak akan menuju ke sana, begitu pula saya mempercayai mimpi-mimpi itu. Saya tidak peduli keadaan saya sekarang, bisa atau tidak - berbakat atau tidak - punya uang atau tidak -. Yang saya lakukan cukup mempercayainya bahwa kelak pasti terwujud. Seperti ketika saya mempercayai ucapan saya sendiri; “Saya memang pertama kalinya menginjakkan kaki di ibukota Indonesia, namun itu bukan untuk yang terakhir kalinya,” dan benar hal itu terwujud kedua kalinya. Karena saya PERCAYA.
Saya pun percaya, segala hal yang terjadi pada saya bukan sebuah kebetulan. Saya berbuat sesuatu, maka dunia memberikan saya petunjuk. Law of attraction. Hukum “tarik-menarik” benar-benar nyata terjadi. Sebentuk puzzle-puzzle yang dirangkaikan oleh semacam teka-teki. Mata-rantai. Rantai itu pula secara kasat mata yang akan menghubungkan saya dengan mimpi-mimpi itu, sepanjang saya selalu mempercayainya.
Saya belajar untuk bersabar melalui proses mencapai impian itu. Man shabara zaafira, barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Begitu kata bang Ahmad Fuadi. Bahkan jikalau saya harus berputar dulu menjadi diri orang lain sebelum menjadi diri saya sendiri. Begitu kata mbak Dewi Lestari. Jikalau kelak (hal terburuk) mimpi-mimpi saya tidak terwujud, saya tentu belajar untuk bersabar. Meskipun gagal karena mimpi saya terlalu tinggi, setidaknya saya pernah menjadi orang yang paling “kaya” di muka bumi ini.
Dan yang terpenting, kita harus selalu PERCAYA mimpi itu bisa terwujud bukan karena dengan kekuatan sendiri. Namun kita semestinya selalu percaya akan ada tangan-tangan lain yang dengan senang hati membantu kita untuk mewujudkannya. Just believe it!
--Imam Rahmanto--
Raih mimpi itu. (Ilustari: ImamR) |
Jika cita-cita adalah sesuatu yang diinginkan dan selalu ada jalan untuk merealisasikannya, maka bagi saya mimpi adalah sesuatu yang kita menganggapnya "tidak mungkin dicapai atau direalisasikan", namun tetap ada sedikit cara untuk menuju ke sana. Tentu saja dengan usaha keras.
Entah kenapa saya selalu tertarik jika berbicara tentang impian. Kebanyakan membaca buku-buku/ novel (yang berkisah tentang impian dan cita-cita) tampaknya mengubah saya menjadi orang yang agak berani menggantungkan impian. Saya tidak peduli jika orang menganggap itu sebagai sesuatu yang “gila” dan mustahil. Semakin sulit untuk diwujudkan, bukankah semakin manis pula proses untuk mencapainya? Dan bagi saya, disitu pulalah letak perbedaan antara impian dan cita-cita. Tahun kemarin, saya menyimak ucapan Anies Baswedan (saya tidak begitu mendengar persis siapa orang yang dimaksudnya mengucapkan hal itu) di kampus kami, yang semakin mengukuhkan mimpi saya,
“Kekhawatiran terbesar saya bukan ketika generasi muda tidak berhasil mencapai impian mereka, melainkan ketika mereka berhasil mencapai impian mereka. Akan tetapi, ternyata impian mereka itu sangat rendah sekali,”
Kenapa mesti takut bermimpi? Bermimpi tidak membutuhkan biaya alias gratis. Siapa saja bisa bermimpi, tidak memandang kaya atau miskin. Bahkan terkadang orang kaya pun masih senang bermimpi. Jika ada yang mengatakan mimpi dibatasi oleh biaya, ah itu hanya bentuk pelampiasan karena ia tidak tahu harus berbuat apa. Seringkali “takut gagal” membayang-bayangi para pemimpi, lazimnya pernyataan, “Apa saya bisa?” atau “Bagaimana jika saya gagal” atau “Saya tidak punya apa-apa,”. Klise dan klasik. Memangnya untuk sekadar bermimpi dibutuhkan biaya berapa banyak?
Tahu tidak, Thomas Alfa Edison saja tidak menganggap 1001 kesalahannya dalam menemukan unsur yang tepat untuk bahan bola lampu sebagai bentuk sebuah kegagalan. Ia justru berujar, “Saya akhirnya menemukan unsur-unsur yang tidak cocok untuk dijadikan sebagai bahan bola lampu,”. Lantas, mengapa kita mesti takut dengan kegagalan? Semua orang pernah gagal. Semua orang pernah membuat kesalahan. Nah, yang dilakukan bukan lantas menyesalinya, melainkan berusaha memperbaikinya, berharap kita belajar dari kesalahan sebelumnya.
Melalui beberapa hal yang telah saya lalui, saya banyak belajar…
Saya belajar untuk memupuk impian saya. Orang yang paling miskin di dunia ini bukan orang yang “tidak punya apa-apa". Namun orang yang paling miskin adalah mereka yang sama sekali “tidak punya mimpi”. Begitu kata Andrea Hirata.
Saya belajar untuk menghargai impian itu. Tidak menertawakannya ketika orang lain menertawakannya. Tidak jarang saya pun sering menjumpai orang-orang yang meremehkan impian saya. Tentu saya tidak akan mengepalkan tinju saya dan mendaratkannya di kepala mereka. Namun saya mengepalkan tangan seraya bertekad untuk membuktikan mimpi itu, hingga suatu hari bisa saya buktikan pada mereka sambil berkata, “Lihat kan?”.
Saya belajar untuk menyerahkannya pada Tuhan yang selalu menggenggam impian tiap makhluk-Nya. Bagi-Nya, segala sesuatu masih bisa berubah sepanjang kita sendiri yang berusaha mengubahnya. Hanya jodoh, kelahiran, dan kematian saja yang masih dirahasiakan-Nya dan tak bisa diubah dari kita.
Saya belajar untuk percaya pada impian saya. Ya, harus PERCAYA. Sebagaimana saya percaya bahwa akhirat itu ada dan kelak akan menuju ke sana, begitu pula saya mempercayai mimpi-mimpi itu. Saya tidak peduli keadaan saya sekarang, bisa atau tidak - berbakat atau tidak - punya uang atau tidak -. Yang saya lakukan cukup mempercayainya bahwa kelak pasti terwujud. Seperti ketika saya mempercayai ucapan saya sendiri; “Saya memang pertama kalinya menginjakkan kaki di ibukota Indonesia, namun itu bukan untuk yang terakhir kalinya,” dan benar hal itu terwujud kedua kalinya. Karena saya PERCAYA.
Saya pun percaya, segala hal yang terjadi pada saya bukan sebuah kebetulan. Saya berbuat sesuatu, maka dunia memberikan saya petunjuk. Law of attraction. Hukum “tarik-menarik” benar-benar nyata terjadi. Sebentuk puzzle-puzzle yang dirangkaikan oleh semacam teka-teki. Mata-rantai. Rantai itu pula secara kasat mata yang akan menghubungkan saya dengan mimpi-mimpi itu, sepanjang saya selalu mempercayainya.
Saya belajar untuk bersabar melalui proses mencapai impian itu. Man shabara zaafira, barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung. Begitu kata bang Ahmad Fuadi. Bahkan jikalau saya harus berputar dulu menjadi diri orang lain sebelum menjadi diri saya sendiri. Begitu kata mbak Dewi Lestari. Jikalau kelak (hal terburuk) mimpi-mimpi saya tidak terwujud, saya tentu belajar untuk bersabar. Meskipun gagal karena mimpi saya terlalu tinggi, setidaknya saya pernah menjadi orang yang paling “kaya” di muka bumi ini.
Dan yang terpenting, kita harus selalu PERCAYA mimpi itu bisa terwujud bukan karena dengan kekuatan sendiri. Namun kita semestinya selalu percaya akan ada tangan-tangan lain yang dengan senang hati membantu kita untuk mewujudkannya. Just believe it!
--Imam Rahmanto--
0 comments