Ramadhan Tiba, Lantas…
Juli 19, 2012Baca Juga
Marhaban ya Ramadhan…
Semua umat muslim beramai-ramai menyambut bulan Ramadhan. Bulan yang dijabari dengan segala amal kebaikannya. Setiap detik, segala amal kebaikan akan dilipatgandakan. Setiap menit, manusia akan beristighfar. Setiap jam, manusia akan berdoa memohon ampunan. Setiap hari, selama sebulan penuh, kita kan menjalankan puasa.
Menjelang terbukanya pintu Ramadhan, mengingatkan saya dengan masa-masa silam ketika masih kecil dulu. Nuansa-nuansa yang saya rasakan sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa sekarang. Jika dulu saya tidak pernah telat melaksanakan shalat fardhu, semenjak menjalani hidup sebagai mahasiswa, lambat-laun kewajiban itu nyaris saja tertinggalkan. Ya, beruntung, hingga kini masih bisa menunaikannya, mesti harus selalu diburu waktu. Jika dulu saya masih bisa menamatkan bacaan Al-Quran hingga dua kali dalam sebulan Ramadhan, maka semenjak larut dalam kehidupan kuliah, bahkan menamatkan satu kali pun saya belum pernah.
Sebuah lantunan lagu-lagu religi mengalun di dalam ruangan tempat saya menulis sekarang…
Akh, mendengar lagu-lagu itu membuat saya menerawang jauh lebih dulu ke suasana Bulan Ramadhan.
Meski Ramadhan masih ada sehari lagi, namun rasanya sudah ada di pelupuk mata. Saya sendiri tidak tahu harus melakukan apa memasuki bulan Ramadhan ini. Sebagian teman-teman kuliah saya memutuskan untuk menikmati puasa perdana Ramadhan di kampung halaman masing-masing. Sebagaimana mitos yang lazim menyebar di kalangan para perantau, puasa pertama mesti bersama keluarga sendiri. Sementara saya masih punya beberapa tanggung jawab yang harus diselesaikan disini, khususnya terkait lembaga jurnalistik kampus saya.
Saya rindu bisa menikmati suasana Ramadhan tanpa ada tekanan-tekanan sebagai bentuk tanggung jawab. Saya rindu bisa menjadi anak kecil, yang masih polos menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Saya rindu menikmati masakan-masakan berbuka dan sahur hasil olahan tangan bunda, bukan hasil beli di luar. Saya rindu, pagi-pagi usai menjalankan Shalat Subuh, jalan santai sejauh dua kilometer beramai-ramai bareng teman. Saya rindu semua itu…
Tapi, ya semakin beranjak dewasa, semakin besar pula tanggung jawab yang mesti kita pikul. Yang bisa dilakukan hanya menjalankannya. Melaksanakannya sepenuh hati. Kelak, bakal ada hasil yang didapatkan darinya.
Ramadhan tinggal sehari lagi. Atau justru sedetik lagi. Lantas, apa yang mesti kita lakukan?
Saatnya bersihkan “segalanya”….
Semua umat muslim beramai-ramai menyambut bulan Ramadhan. Bulan yang dijabari dengan segala amal kebaikannya. Setiap detik, segala amal kebaikan akan dilipatgandakan. Setiap menit, manusia akan beristighfar. Setiap jam, manusia akan berdoa memohon ampunan. Setiap hari, selama sebulan penuh, kita kan menjalankan puasa.
Menjelang terbukanya pintu Ramadhan, mengingatkan saya dengan masa-masa silam ketika masih kecil dulu. Nuansa-nuansa yang saya rasakan sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa sekarang. Jika dulu saya tidak pernah telat melaksanakan shalat fardhu, semenjak menjalani hidup sebagai mahasiswa, lambat-laun kewajiban itu nyaris saja tertinggalkan. Ya, beruntung, hingga kini masih bisa menunaikannya, mesti harus selalu diburu waktu. Jika dulu saya masih bisa menamatkan bacaan Al-Quran hingga dua kali dalam sebulan Ramadhan, maka semenjak larut dalam kehidupan kuliah, bahkan menamatkan satu kali pun saya belum pernah.
Sebuah lantunan lagu-lagu religi mengalun di dalam ruangan tempat saya menulis sekarang…
Akh, mendengar lagu-lagu itu membuat saya menerawang jauh lebih dulu ke suasana Bulan Ramadhan.
Meski Ramadhan masih ada sehari lagi, namun rasanya sudah ada di pelupuk mata. Saya sendiri tidak tahu harus melakukan apa memasuki bulan Ramadhan ini. Sebagian teman-teman kuliah saya memutuskan untuk menikmati puasa perdana Ramadhan di kampung halaman masing-masing. Sebagaimana mitos yang lazim menyebar di kalangan para perantau, puasa pertama mesti bersama keluarga sendiri. Sementara saya masih punya beberapa tanggung jawab yang harus diselesaikan disini, khususnya terkait lembaga jurnalistik kampus saya.
Saya rindu bisa menikmati suasana Ramadhan tanpa ada tekanan-tekanan sebagai bentuk tanggung jawab. Saya rindu bisa menjadi anak kecil, yang masih polos menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim. Saya rindu menikmati masakan-masakan berbuka dan sahur hasil olahan tangan bunda, bukan hasil beli di luar. Saya rindu, pagi-pagi usai menjalankan Shalat Subuh, jalan santai sejauh dua kilometer beramai-ramai bareng teman. Saya rindu semua itu…
Tapi, ya semakin beranjak dewasa, semakin besar pula tanggung jawab yang mesti kita pikul. Yang bisa dilakukan hanya menjalankannya. Melaksanakannya sepenuh hati. Kelak, bakal ada hasil yang didapatkan darinya.
Ramadhan tinggal sehari lagi. Atau justru sedetik lagi. Lantas, apa yang mesti kita lakukan?
Saatnya bersihkan “segalanya”….
--Imam Rahmanto--
0 comments