Memanggang di Bawah Karang

Juli 04, 2012

Baca Juga


*kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Menjejak Pasir Putih di Tanah Bulukumba
 
Pernah terbayang tidak, menikmati sajian wisata di salah satu objek wisata dan yang terjadi adalah kita kehilangan sumber listrik a.k.a “padam listrik”? Nah, hal seperti itu terjadi di seluruh areal kompleks Tanjung Bira selepas senja ketika kami baru saja selesai bermain bola (plastik) di pinggir pantai. 

Menjelang pergantian waktu. (ImamR)

 

Senja di pinggir pantai Bira, banyak dimanfaatkan oleh para pengunjung untuk bermain sepak bola pantai (seadanya). Udara sejuk yang berhembus di sepanjang batas pantai menjadikan para pengunjung betah berlama-lama di pinggir pantai. Bahkan pasir putihnya lembut sangat halus dipijak. Tak jarang pula ada anak-anak kecil maupun orang dewasa yang menghabiskan waktunya di pantai membuat beragam bentuk bangunan dari pasir.  Berbekal bola plastik dan tumpukan sandal - sebagai posisi gawangnya - maka sudah bisa dipastikan permainan siap dimulai.
 

Padam listrik tidak lantas membuat suasana di sekitar areal Tanjung Bira menjadi gelap. Masih ada beberapa penginapan maupun warung yang mempertahankan binar cahayanya dengan memanfaatkan faslitas genset. Selain itu, keadaan di luar penginapan juga jauh lebih terang oleh cahaya bulan, meskipun belum waktunya purnama. Akan tetapi, suasana seperti itu sudah cukup memberikan nuansa-nuansa melankolis di tengah-tengah kegelapan malam.
 

Berjalan-jalan di pinggir pantai di bawah temaram sinar rembulan memang cukup menyenangkan. Walaupun tidak cukup ramai, namun beberapa pengunjung tampak bersantai menghabiskan waktunya (sambil menanti listrik dinyalakan kembali) di pinggir pantai. Ada yang berjalan-jalan, ada pula yang duduk bercengkerama sambil bercerita mengenai banyak hal.
 

Listrik baru beroperasi kembali beberapa jam kemudian.



Memanggang Yuk!

Masih pagi hari ketika saya dapati banyak pengunjung sudah berjalan-jalan di sekitar pantai Bira. Sepanjang jalan, kiri-kanan saya, ada banyak toko-toko souvenir yang menjajakan hiasan-hiasan kreatif berbahan kerang dan binatang laut. Di sela-sela toko itu, mudah pula ditemukan toko-toko penyewaan alat selam untuk keperluan diving. Laut Bira yang jernih dan tenang sangat pas untuk dijelajahi alam bawah lautnya.
 

Bule pun menjajal kemampuan bola pantainya. (Jane)

Beberapa wisatawan lainnya di pantai membagi lapangan pasir untuk bermain bola. Ada yang berjemur bermandikan pasir, berjalan-jalan di sepanjang pantai, atau mengawasi anak-anak maupun sanak keluarganya yang berlarian di tengah laut dangkal. Bagi yang punya budget mencukupi, bisa pula berkeliling mengitari laut dengan banana boat maupun “kapal bebek”. Di seberang lautan, dengan jelas saya bisa melihat sebuah pulau, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan Pulau Liukang Loe dan Pulau Kambing. Disana merupakan lokasi diving dan snorkeling yang sangat mengasyikkan. Hanya saja, saya belum pernah melintas kesana.
 

Seorang anak kecil dijaga dan diawasi ibunya, sementara ia sedang bermain pasir. (Jane)

Oh ya, nyaris sejauh 500 meter dari batas pantai, kedalaman lautnya hanya sebatas dada. Meskipun demikian, dasar-dasar laut yang menjadi pijakan bukanlah pasir seluruhnya, melainkan batu-batu karang yang agak menyakitkan ketika dipijak. Beberapa ikan-ikan hias mungil juga akan dijumpai selama “perjalanan” menuju ke tengah laut. Malah, jika "beruntung", hewan-hewan laut lainnya seperti Bulu Babi akan melukai kaki.
 

Keinginan untuk menyaksikan sunrise di Tanjung Bira akhirnya harus kembali tertunda. Konon kabarnya, di Tanjung Bira-lah kita bisa melihat sunset dan sunrise dari posisi pandang yang sama. Saya yang tidak tidur semalaman suntuk, akibat rapat,  mencoba peruntungan dengan menyusur Bira demi melihat matahari pagi. Malang bagi semua pengunjung di Bira, mendung pagi itu seakan tidak merestui matahari untuk menampakkan diri di batas cakrawala. Tak berselang lama, gerimis pun turun mewarnai ketenangan di pesisir pantai. Sebentar saja.
 

Jika kita jauh menyusuri pesisir pantai Bira, maka kita bisa menemukan beberapa pengunjung yang menikmati waktu luang mereka dengan “bakar-bakar ikan”. Lokasi yang teduh di bawah batu-batu karang di pinggir pantai menjadi tempat yang sangat tepat untuk berkumpul bersama teman-teman sembari memanggang ikan. Sebenarnya, tidak hanya di lepas pantai saja para pengunjung bisa melakukan acara memanggang tersebut, namun di depan pondokan masing-masing pun tersedia halaman yang cukup buat ritual sederhana tersebut. Saya malah sering mendapati pengunjung lain beramai-ramai barbeque-an di depan maupun belakang pondoknya.
 

Tanjung Bira
Landscape menarik yang bisa ditemui di tebing-tebing yang menghadap ke pantai. (Fadhli)

Rasanya tak mau ketinggalan ketika kami menyusuri pantai, mencari lokasi yang tepat untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak pagi. Beberapa ekor ikan sudah siap untuk dipanggang ketika kami sudah menemukan lokasi di bawah batu karang. Ruangan kosong di bawahnya cukup nyaman untuk tempat bersantai sembari menatap pantai yang ada di hadapan mata. Putih. Hijau. Biru. Warna-warna itu secara berurutan menjadi pemandangan khas di Pantai Bira. Saya cukup menikmatinya. Bahkan dari atas karang itu, beberapa shoot landscape Bira yang indah bisa didapatkan. Akh, seandainya saya punya kamera, pasti sejak pagi saya sudah hunting gambar kesana kemari.
 

Bira
Di atas tebing mencari pemandangan apik. (Fadhli)

Bersantai bersama teman-teman di waktu seperti itu serasa mengembalikan memori masa kecil saya. Tidak ada yang berbeda, semuanya tampak polos untuk bertingkah bodoh seperti anak kecil. Tanpa malu, semuanya bisa tertawa lepas. Tua-muda melepaskan momen-momen (tingkah) masa kecilnya. Tidak ada lagi batas-batas imej yang selalu mengungkung kebebasan berekspresi.  Kapan lagi kita bisa mendapatkan waktu indah seperti ini kan? Sejenak segala masalah bisa terlupakan begitu saja. Semua berkumpul, semua berbagi, semua tertawa, layaknya sebuah keluarga.
 

Salah satu korban keusilan di atas pasir. (Jane)
Pasir putih yang lembut di pantai bisa pula menjadi alternatif “riang” menghabiskan waktu bersama teman-teman. Melalui tangan-tangan yang terampil, pasir-pasir itu bisa dibentuk sedemikian rupa. Sayang, saya termasuk orang yang tidak terampil membentuk pasir. HahahaLha saya kan jarang bersentuhan langsung dengan pantai…
 

Belum puas  rasanya saya bermain-main di tengah pasir. Lebih menyenangkan lagi ber-explore sampai ke tengah laut. Ya, saya memang tidak begitu sering mendapati pantai layaknya orang-orang pesisir lainnya. Oleh karena itu ketika mendapati suasana se-menyenangkan Bira, maka saya tidak membuang-buang kesempatan untuk bisa bersenang-senang. Alhasil, pakaian basah masih melekat di badan hingga bus yang mengantarkan kami meninggalkan Tanjung Bira.Toh, sampai di rumah, ya kering juga kok.   

"Alam di Sulawesi Selatan ternyata menyimpan sejuta pesona”




Cheese!


--Imam Rahmanto--  

You Might Also Like

0 comments