Kata yang Tak Terucap

Juli 07, 2012

Baca Juga

Berkata itu, aku harus memulai dari mana…

Imam Rahmanto


Aku tak tahu harus bagaimana melihat dan berkata ketika kalian hadir menarik-narik hidupku ke dalam lingkaran “kebodohan” kalian. Kita tak saling kenal. Kita tak saling percaya. Tatapan-tatapan di awal perjumpaan itu yang mengindikasikan segalanya. Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Kalian adalah kalian.

Entah bagaimana Tuhan kemudian menggariskan segala hal mengenai kalian. Ia menarikku untuk masuk dalam ritme rencana-Nya. Aku yang harus terlibat pula di dalamnya. Aku yang harus menjadi diriku yang sesungguhnya. Dan Tahukah kalian, memang, hal itulah yang selama ini kucari. Tak tahukah kalian, menjadi diri orang lain itu begitu menyakitkan? Aku pernah merasakannya…

Terkadang aku selalu berpikir “bagaimana jika”. Hal-hal negatif cenderung lahir dari kata “bagaimana jika”. Bagaimana jika salah satu dari kita pergi keluar dari lingkaran “kebodohan” ini. Bagaimana jika kita kehilangan kebersamaan itu lagi? Bagaimana jika tatanan penguasa lah yang kemudian menjauhkan kita? Bagaimana jika aku tak lagi seperti ini? Bagaimana jika sedari awal kita tak pernah bertemu?

Angka sepuluh itu, mitosnya sempurna. Bagi mereka yang memperolehnya, mereka tidak akan punya lagi kesempatan untuk meningkatkannya jauh lebih tinggi. Yang bisa mereka lakukan kala itu hanya sebatas mempertahankannya. Bukankah mempertahankan sesuatu itu jauh lebih sulit dibandingkan mengusahakan sesuatu? Di balik mempertahankan, kita terbebani tanggung jawab. Dan kita memegang angka sepuluh itu. Kau, aku, dan kalian ada sepuluh. Sempurna, namun butuh usaha keras untuk bisa mempertahankannya.

Sebuah pepatah usang mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Ketika waktu memutuskan aku harus mengenal kalian satu-persatu, aku tak pernah berharap kasih sayang itu hadir. Benar, kasih sayang itu tak pernah hadir. Lebih dari itu, kalian secara sadar telah sengaja mengikat tangan masing-masing dengan selubung yang luar biasa. Bukan. Bukan kasih sayang. Aku sendiri tak pernah tahu apa itu. Ia semacam “perasaan” saling menjaga, saling percaya (sedikit), saling berbagi (doa dan rezeki), saling membantu, saling mengasihi. Bukankah itu lebih menyenangkan dari sekadar kasih sayang? Simak saja, kasih sayang tak pernah tega sekadar menjatuhkan olok-olokan buat penerimanya.

Kalian selalu menarik-narikku dalam pekerjaan-pekerjaan konyol tak berguna. Aku tak pernah menyangka, sebuah olok-olokan akan mengajarkan kita sebuah kebersamaan. Saling ledek bisa mempererat kekeluargaan. Bahkan membuat teman menderita saja (sekadar menghapus guratan nasib cintanya) bisa memberikan segudang tawa bagi kita. Atau, lihat saja, tangisan justru membuat kalian tertawa. Tapi, aku selalu tahu, di balik sudut bibir kalian yang selalu menertawakan satu sama lain, kalian telah merangkaikan perasaan. Tak bisa dijelaskan secara kimiawi maupun fisika. Karena aku banyak belajar dari pengalaman itu. Belajar di institut, hanya mengajarkan aku sekilas apa yang terjadi dalam hidupku. Namun pengalamanlah yang ternyata mengajarkanku bagaimana menghadapi apa yang terjadi dalam hidupku. Dan aku kira, kita berada di dalam kelas yang sama, kan? Karena Pak “Pengalaman” adalah guru terbaik kita.

Aku tak tahu harus bagaimana melihat dan berkata ketika kalian kembali menarik-narik lenganku, bergabung bersama kalian. Aku kira, kalian telah melupakan segalanya. Aku yang sengaja menghapus tanggal itu sudah terlanjur menghakimi diri. “Tak ada yang peduli,” batinku. Hah, sebuah tagihan di hari kelahiran tampaknya juga menjadi sebuah momok.

Dan malam itu, ketika dua sahabat kita menjejak kelahirannya yang ke-21, semua dugaan perayaan terarah kepada mereka,  aku tak pernah menyangka sebuah nama milikku ikut menjadi penanda malam itu. Limabelas Juni yang nyaris tak kupedulikan lagi, muncul kembali ke permukaan dan menjelma menjadi sebentuk nama di atas kue tart. Tentu saja, hampir sebulan waktu telah berlalu, namun sekejap saja kalian berhasil mengejar dan sejajar dengannya. Waktu memang takkan pernah berhenti, namun ia bisa dikejar. Pergerakannya statis, pergerakan kita dinamis.

Aku akui, kalian berhasil membuatku terperangah. Apa kalian tidak tahu, aku tak pernah menemukan sebaris doa untuk namaku di atas sebuah tart semenjak kecil dulu. Yang ada, ibu hanya memasakkan bubur untukku. Jika memungkinkan, ibu akan menyuruhku untuk memanggil teman-teman sepermainanku sehari-hari untuk makan bersama. Tak ada sebaris kalimat pun untuk namaku di permukaan beras yang dimasak itu. Mitos dalam kepalaku akhirnya pecah juga. Selalu, bukan tanggal itu yang penting, tapi esensi dari kebersamaan yang tak akan pernah hilang.

Aku tak tahu harus bagaimana melihat dan berkata ketika kalian menarik-narik lenganku untuk meniupkan lilinnya bersama kalian, bergabung bersama kalian dalam euforia kericuhan di warung makan. Kalian sadar tidak, para pelayan dan pemilik warung tidak akan melupakan kalian. Mengapa? Karena kalian tanpa skenario telah menambah pekerjaan bagi mereka. Bahkan, bisa jadi, menambah pula biaya makan malam itu.

Aku tak tahu harus bagaimana melihat dan berdoa usai meniup lilin itu. Lidahku kelu. Nyaris sama ketika aku harus mengungkapkan kata cinta kepada seseorang. Jika cinta membuat lidahku kelu karena perasaan yang tertahan, maka kalian membuat lidahku kelu karena perasaan yang terurai. Bukankah sudah kukatakan, kalian telah merangkul dan mengikatkan hati satu sama lain? Aku ingin menangis, tapi akh, tak mau! Aku diajarkan oleh ayahku untuk tidak menangis sebagai seorang lelaki. Aku ingin tertawa, dan itu memang sudah kulakukan.

Untung saja, batinku masih sempat berdoa, “Semoga kalian sehat selalu dan kebersamaan seperti ini selalu ada,” seraya mengingat adegan-adegan keriuhan kita di waktu yang berbeda. Maka biarkan pula kalian tetap menjadi orang “bodoh” yang selalu menarikku dalam lingkaran kegaduhan kalian.

Akhirnya, ketika lilin itu padam seketika, aku tahu harus bagaimana. Satu hal yang nyaris hilang dalam memoriku, berucap “TERIMA KASIH” untuk kalian menjadi hal yang sangat istimewa.


Terima kasih…

*Buat kalian yang akan selalu mengingat momen-momen “tak indah” selama mempertahankan “nilai” sepuluh yang diberikan oleh Pak “Pengalaman”.
*Selamat Ulang Tahun buat kedua temanku itu.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

7 comments

  1. curahan hati yang natural..
    nice,,
    _ayu renisya

    BalasHapus
  2. @Ayu Renisya: Terima kasih. ^_^. Tulisan yang (semoga) bisa menggugah... Hehe

    BalasHapus
  3. Deh..terharuku.............

    BalasHapus
  4. Ada paeng acara tiup lilin disana, pantas gelisahka di rumah. Andai ajah Aku tau biar mami dimarahika tetapka tinggal tunggui waktu itu, sayang waktu dag akan mungkin untuk diputar kembali

    BalasHapus
  5. @Utary: Itu juga surprise loh... Kita malah tidak tahu. Apalagi saya (yang lewatnya udah lama).
    Yah, bagaimanapun juga kan kau yang memilih pulang, memilih untuk "nerima" omelan. Padahal seandainya saja kau bisa sedikit "menantang arus", mungkin hasilnya berbeda. Apalagi momen2 ramai2 seperti saat itu sangat langka loh...

    BalasHapus
  6. selamat ultah imam.. mauka nangis.. :(

    BalasHapus
  7. @Fahrizal: Walah...kalau saya sih udah lewat sebulan kalee. Kau tuh yang baru2. Semoga benar tulisan saya bisa mengulek-ulek perasaanmu. Itu tandanya tulisan saya sudah "hidup".

    BalasHapus