Aku, Segelas Cappuccino (Season 2 - Part 4)
Juli 28, 2012Baca Juga
Hening. Kaku. Mendadak ada pembatas tak terlihat yang menghalang diantara keduanya. Memaksa keduanya untuk mengunci mulut masing-masing. Tak ada suara semilir angin yang menyela ucapannya. Deburan ombak pun seakan-akan sejenak berhenti demi mendengarkan jawaban yang akan diterima oleh Bintang.
Sinar tak bersuara. Hatinya tersentak nyaris tercerabut dari dadanya. Ia melepas pandangannya yang tadi menatap tak percaya pada Bintang ke tengah laut. Duduknya kini gelisah. Bagaimana tidak, ia tidak pernah menyangka Bintang akan mengungkapkan hal seperti itu padanya. Atau justru ia sedari awal sudah tahu dan menantikan ucapan itu keluar dari mulut Bintang.
Bintang mengikutkan pandangannya ke laut lepas.
“Maaf…jika ini membuatmu…”
“Tidak. Bukan seperti itu,” Sinar menyela.
“Aku hanya sedikit…kaget mendengarmu berkata seperti itu…” lirihnya pelan ditelan riuh anak-anak yang berlarian di sekitar pantai.
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya berusaha jujur. Sudah sekian tahun aku tenggelam dalam ketertutupan hatiku sendiri. Memilih untuk sakit dalam hati dibanding berkata yang sesungguhnya. Baru kali ini aku sadar, semua yang kulakukan semasa itu adalah bodoh,” Bintang bersuara pelan. Ia tidak ingin mengacau di kebimbangan hati Sinar.
“Aku tidak ingin lagi menjadi orang bodoh yang hanya bisa menyimpan perasaan untuk dirinya sendiri. Dan baru kali ini aku benar-benar sadar dan berani untuk berkata jujur pada orang….,” Ia melihat sekilas ke wajah Sinar yang sedarin tadi tak lepas memandang ke laut.
“…yang kusayang,” lanjutnya lirih. Ia memilih untuk kembali diam. Menanti.
“Ya, kau benar. Egois ketika kita hanya menyimpan perasaan untuk diri sendiri,” Sinar tersenyum tipis, “Aku hanya tidak tahu apa yang mesti kukatakan padamu. Kau belum tahu aku yang sesungguhnya. Kau baru mengenalku selama empat bulan. Selama itu pula kau dengan mudahnya suka padaku. Ah, atau entah aku yang membuatmu suka padaku?”
“Mungkin,” gumam Bintang.
“Maafkan aku, Bintang. Kau belum tahu, aku sudah punya orang lain. Aku mungkin terlalu bodoh memberikanmu harapan-harapan itu. Aku tidak pernah sadar kalau perasaan itu akan tumbuh seiring pertemanan kita,” tatapan Sinar menembus ulu hati Bintang. Tepat mengenai penanda rasa sakitnya. Bahkan aku pun tak mampu meraihnya.
Bintang berusaha kuat mendengarkan ucapan Sinar. Di balik senyuman yang dibuat-buatnya, hatinya terasa hancur. Di balik kata-kata “tidak apa-apa”nya, hatinya kembali menenggelamkan diri.
“Hm,..tidak apa-apa. Aku sudah puas kok, tidak lagi menjadi orang bodoh seperti dulu,” tuturnya agak dipaksakan. Ia merasa kikuk. Antara malu dan sungkan.
Lepas hari itu, aku tahu, hubungan “seperti biasa” antara keduanya tak lagi seperti biasanya. Tidak ada lagi waktu berdua menghabiskan tegukan Cappuccino di café Primera. Tidak ada lagi pergi berdua jalan-jalan ke suatu tempat. Tidak ada lagi celoteh-celoteh via telepon. Tidak ada lagi Bintang yang bersemangat mendengar nama itu. Sebaliknya, nama itu seakan mengungkit sakit hatinya. Akan tetapi, dari dalam hatinya aku tahu, ia juga takkan pernah bisa membenci nama itu.
*******
Aku masih bingung. Sedari kemarin aku masih belum bisa menemukan jawaban atas mimpi buruk yang dialami oleh Bintang. Aku sudah menceritakan nama itu, namun aku belum sedikitpun memperoleh inspirasi mengenainya. Tapi, kenapa juga aku harus penasaran dengan mimpi buruknya. Aku Cappuccino dan hanya sebatas minuman, semestinya tidak terlalu mengurusi kehidupannya. Bukankah ia juga tidak tahu kalau aku ada?
Akan tetapi, aku pernah mendengarnya berujar, “Rasa penasaran terkadang bisa membunuh,” pada temannya. Ya, meskipun itu hanya sebuah idiom candaan. Bagiku hal itu benar terjadi. Sekarang rasa penasaranku sudah mencapai klimaksnya. Ada apa dengan mimpi-mimpinya? Tidak biasanya aku luput dari satu pun mimpi-mimpinya.
“Bulan bersinar sebagian,” Aku memandang ke atas langit malam ini.
*******
Aku memutuskan untuk menyelam ke lubuk hatinya. Dalam dan semakin dalam. Aku mendapatkan sedikit petunjuk usai menceritakan nama itu pada kalian. Bersinar? Sebagian? Ya, tampak seperti itulah yang terjadi. Aku mengacak-acak setiap pintu hati yang terbuka. Aku mendobrak setiap pintu hati yang tertutup.
Aku baru mendapati kenyataan pahit yang dirasakan oleh Bintang. Sinar tidaklah pernah mengucapkan kata TIDAK padanya. Ia hanya mengungkapkan keadaan yang ada pada dirinya. Bukan salahnya pula ketika ia memberikan harapan-harapan itu yang kemudian harus memupuk perasaan Bintang dan menjalar ke hatinya sendiri. Ia pun sadar, ia tidak akan mungkin berkata YA jika dirinya sendiri belum yakin akan hal itu. Aku paham, ada bulan yang bersinar sebagian. Meskipun demikian, semakin lama, tentu akan bersinar sepenuhnya.
Bintang sadar akan hal itu. Ia harus menerima kenyataan pahit lainnya ketika sebuah kabar menghampiri dirinya.
“Bintang, Sinar sedang terbaring di rumah sakit,” Dika memulai percakapannya di telepon.
“Aku segera kesana,” Tanpa berpikir panjang, Bintang menutup telepon dan mencari alamat rumah sakit yang dimaksud Dika. Ia takut mimpinya seminggu terakhir menjadi kenyataan, senyata keadaan Sinar sekarang.
Aku tersentak. Baru saja aku menemukan wujud mimpi buruknya, kabar itu semakin menegaskannya. Bagaimana tidak, keadaan itu nyaris memetakan mimpi buruk Bintang menjadi kenyataan. Kecelakaan yang dikabarkan padanya itu hanya menjadi déjà-vu bagi dirinya. Saat-saat kritis itu akan berlanjut lebih kritis. Ia tahu dari mimpinya. Dan ia tahu pula, kehilangan itu bisa saja datang sesuai dengan yang terpatri dalam mimpinya. Bukankah kematian itu semakin dekat? Entahlah. [end]
Sinar tak bersuara. Hatinya tersentak nyaris tercerabut dari dadanya. Ia melepas pandangannya yang tadi menatap tak percaya pada Bintang ke tengah laut. Duduknya kini gelisah. Bagaimana tidak, ia tidak pernah menyangka Bintang akan mengungkapkan hal seperti itu padanya. Atau justru ia sedari awal sudah tahu dan menantikan ucapan itu keluar dari mulut Bintang.
Bintang mengikutkan pandangannya ke laut lepas.
“Maaf…jika ini membuatmu…”
“Tidak. Bukan seperti itu,” Sinar menyela.
“Aku hanya sedikit…kaget mendengarmu berkata seperti itu…” lirihnya pelan ditelan riuh anak-anak yang berlarian di sekitar pantai.
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya berusaha jujur. Sudah sekian tahun aku tenggelam dalam ketertutupan hatiku sendiri. Memilih untuk sakit dalam hati dibanding berkata yang sesungguhnya. Baru kali ini aku sadar, semua yang kulakukan semasa itu adalah bodoh,” Bintang bersuara pelan. Ia tidak ingin mengacau di kebimbangan hati Sinar.
“Aku tidak ingin lagi menjadi orang bodoh yang hanya bisa menyimpan perasaan untuk dirinya sendiri. Dan baru kali ini aku benar-benar sadar dan berani untuk berkata jujur pada orang….,” Ia melihat sekilas ke wajah Sinar yang sedarin tadi tak lepas memandang ke laut.
“…yang kusayang,” lanjutnya lirih. Ia memilih untuk kembali diam. Menanti.
“Ya, kau benar. Egois ketika kita hanya menyimpan perasaan untuk diri sendiri,” Sinar tersenyum tipis, “Aku hanya tidak tahu apa yang mesti kukatakan padamu. Kau belum tahu aku yang sesungguhnya. Kau baru mengenalku selama empat bulan. Selama itu pula kau dengan mudahnya suka padaku. Ah, atau entah aku yang membuatmu suka padaku?”
“Mungkin,” gumam Bintang.
“Maafkan aku, Bintang. Kau belum tahu, aku sudah punya orang lain. Aku mungkin terlalu bodoh memberikanmu harapan-harapan itu. Aku tidak pernah sadar kalau perasaan itu akan tumbuh seiring pertemanan kita,” tatapan Sinar menembus ulu hati Bintang. Tepat mengenai penanda rasa sakitnya. Bahkan aku pun tak mampu meraihnya.
Bintang berusaha kuat mendengarkan ucapan Sinar. Di balik senyuman yang dibuat-buatnya, hatinya terasa hancur. Di balik kata-kata “tidak apa-apa”nya, hatinya kembali menenggelamkan diri.
“Hm,..tidak apa-apa. Aku sudah puas kok, tidak lagi menjadi orang bodoh seperti dulu,” tuturnya agak dipaksakan. Ia merasa kikuk. Antara malu dan sungkan.
Lepas hari itu, aku tahu, hubungan “seperti biasa” antara keduanya tak lagi seperti biasanya. Tidak ada lagi waktu berdua menghabiskan tegukan Cappuccino di café Primera. Tidak ada lagi pergi berdua jalan-jalan ke suatu tempat. Tidak ada lagi celoteh-celoteh via telepon. Tidak ada lagi Bintang yang bersemangat mendengar nama itu. Sebaliknya, nama itu seakan mengungkit sakit hatinya. Akan tetapi, dari dalam hatinya aku tahu, ia juga takkan pernah bisa membenci nama itu.
*******
Aku masih bingung. Sedari kemarin aku masih belum bisa menemukan jawaban atas mimpi buruk yang dialami oleh Bintang. Aku sudah menceritakan nama itu, namun aku belum sedikitpun memperoleh inspirasi mengenainya. Tapi, kenapa juga aku harus penasaran dengan mimpi buruknya. Aku Cappuccino dan hanya sebatas minuman, semestinya tidak terlalu mengurusi kehidupannya. Bukankah ia juga tidak tahu kalau aku ada?
Akan tetapi, aku pernah mendengarnya berujar, “Rasa penasaran terkadang bisa membunuh,” pada temannya. Ya, meskipun itu hanya sebuah idiom candaan. Bagiku hal itu benar terjadi. Sekarang rasa penasaranku sudah mencapai klimaksnya. Ada apa dengan mimpi-mimpinya? Tidak biasanya aku luput dari satu pun mimpi-mimpinya.
“Bulan bersinar sebagian,” Aku memandang ke atas langit malam ini.
*******
Aku memutuskan untuk menyelam ke lubuk hatinya. Dalam dan semakin dalam. Aku mendapatkan sedikit petunjuk usai menceritakan nama itu pada kalian. Bersinar? Sebagian? Ya, tampak seperti itulah yang terjadi. Aku mengacak-acak setiap pintu hati yang terbuka. Aku mendobrak setiap pintu hati yang tertutup.
Aku baru mendapati kenyataan pahit yang dirasakan oleh Bintang. Sinar tidaklah pernah mengucapkan kata TIDAK padanya. Ia hanya mengungkapkan keadaan yang ada pada dirinya. Bukan salahnya pula ketika ia memberikan harapan-harapan itu yang kemudian harus memupuk perasaan Bintang dan menjalar ke hatinya sendiri. Ia pun sadar, ia tidak akan mungkin berkata YA jika dirinya sendiri belum yakin akan hal itu. Aku paham, ada bulan yang bersinar sebagian. Meskipun demikian, semakin lama, tentu akan bersinar sepenuhnya.
Bintang sadar akan hal itu. Ia harus menerima kenyataan pahit lainnya ketika sebuah kabar menghampiri dirinya.
“Bintang, Sinar sedang terbaring di rumah sakit,” Dika memulai percakapannya di telepon.
“Aku segera kesana,” Tanpa berpikir panjang, Bintang menutup telepon dan mencari alamat rumah sakit yang dimaksud Dika. Ia takut mimpinya seminggu terakhir menjadi kenyataan, senyata keadaan Sinar sekarang.
Aku tersentak. Baru saja aku menemukan wujud mimpi buruknya, kabar itu semakin menegaskannya. Bagaimana tidak, keadaan itu nyaris memetakan mimpi buruk Bintang menjadi kenyataan. Kecelakaan yang dikabarkan padanya itu hanya menjadi déjà-vu bagi dirinya. Saat-saat kritis itu akan berlanjut lebih kritis. Ia tahu dari mimpinya. Dan ia tahu pula, kehilangan itu bisa saja datang sesuai dengan yang terpatri dalam mimpinya. Bukankah kematian itu semakin dekat? Entahlah. [end]
--Imam Rahmanto--
0 comments