Dear 2019...
Kita akan berpisah. Sebenar-benarnya berpisah. Kamu menjadi waktu yang tak bisa kembali lagi. Satu-satunya cara untuk bisa memanggilmu; ingatan-ingatan. Pernah kukatakan pada semua orang, memori adalah mesin tunggal untuk menyapa masa lalu. Tak ada sebenar-benarnya mesin waktu yang bisa dicipta manusia.
Lantas, apa yang bisa kukenang darimu?
Sejujurnya, aku tak pernah muluk-muluk menginginkanmu. Aku enggan menganggapmu sebagai bagian terbaik yang pernah kucapai. Karena aku justru terdesak oleh skenariomu. Apa yang kamu atur bersama sang Semesta nyaris membuatku tersungkur dan babak belur.
Kenapa?
Aku mengingatmu sebagai tahun-tahun yang cukup membingungkan...
Kehidupanku dengan aroma lawas perkotaan dikembalikan, sebulan sebelum meninggalkan 2018.
Aku tak perlu lagi menjahit kabar dan berita nun jauh dari kabupaten. Rutinitas kembali beririsan dengan kemacetan-kemacetan dan orang-orang lama. Gedung dan jalan tampak lebih padat dibanding gunung dan pohon. Segalanya pun berjalan dengan ritme yang terburu-buru.
Hal itu otomatis mendekatkan kembali rutinitas lainnya yang pernah kutinggalkan. Aktivitas sukarela di balik organisasi kampus menjadi selingan di kala huru-hara kepala merajalela. Ada banyak wajah baru yang kujumpai. Kulafalkan pula namanya satu per satu. Sebanyak itu pula ingatan mereka beririsan dengan kehadiranku. Dimulai dari kepanitiaan hingga kerja-kerja internal organisasi.
Aku juga banyak bertemu dengan teman-teman lama. Menghabiskan sisa-sisa waktu dengan duduk di depan segelas kopi. Menertawakan masa lalu. Menghimpun kekuatan untuk menghadapi kenyataan esok hari.
Ketergesaan di kota lambat-laun mulai menenggelamkan banyak kesenangan. Aku tak lagi punya waktu dengan menenteng kamera ke tempat-tempat menarik. Mengabadikan langit malam yang berlukiskan sekumpulan bintang semesta. Bahkan, sekadar menyeduh kopi arabika sendiri dengan moka pot atau drip di depan kamar sudah tak menjadi kebiasaan. Padahal, kebiasaan itu pernah menjadi hal wajib sebelum mengerjakan tugas-tugas liputan di luar rumah.
Momen menenteng ransel dan menggelar tenda baru bisa kujumpai kembali menjelang akhir-akhir kepergianmu, 2019. Sayangnya, aku hanya sempat berkenalan dengan pepohonan Bissoloro dan Lembanna. Sementara alam lainnya, seperti Danau Tanralili atau Lembah Ramma terpaksa menjadi waiting list yang akan sulit diwujudkan. Kenapa? Karena ternyata, tanpa diduga, kau terlalu cepat membelokkanku ke bagian hidup yang lain.
Aku tidak-bisa-tidak mengenangmu sebagai titik paling ekstrem dalam kehidupanku. Jika boleh, kuanggap pula sebagai titik terendah.
Titik balik terjadi menjelang kepergianmu. Hanya berselang tiga bulan sebelum kamu meminta 2020 menggantikanmu. Aku nekat menanggalkan pekerjaanku. Sama sekali tanpa persiapan apa-apa, sebagaimana yang seharusnya dipikirkan setiap orang yang mengajukan resign.
Kala itu hanya satu pilihan bagiku yang telanjur keras kepala; keluar. Aku sudah merasa tak dihargai. Tak ada pula apresiasi. Pun, sudah sejak lama, tak ada figur yang bisa menjadi "payung" untuk kami tetap tumbuh di tempat itu. Kami dipaksa berlari tanpa dihadiahi sekadar ucapan "terima kasih". Akh, kata-kata itu memang selalu gampang dilafalkan, tetapi sulit diucapkan. Sama seperti "maaf" dan "tolong".
Tentu saja, "menghilangkan" pekerjaan menjadi momok bagi usia kami yang seharusnya menabung lebih banyak uang. Bagaimana kami bisa hidup jika tidak mencari sumber penghidupan? Bagaimana kami bisa duduk-duduk menyesap kopi jika tak membayarnya dengan sejumlah uang? Bagaimana kami membayar cicilan tanpa itu?
Tak apa, 2019.
Aku sama sekali tak menyesalkan kehilangan itu. Aku tak menyalahkanmu. Orang-orang lainnya tak bisa belajar melangkah seberani itu.
Hal yang kusesalkan justru waktu-waktu "menganggur" itu tak kumaksimalkan menamatkan lebih banyak buku. Sedikit bacaan. Jumlah buku yang kutamatkan jauh dari target yang kupasang. Dihitung-hitung, hanya enam-tujuh buku yang kulahap selama masa jeda itu. Aku pun khawatir, bacaan penutup (1Q84, Haruki Murakami) tak akan sampai pada lembaran terakhirnya.
Selain itu, aku menyesal tak lebih banyak menulis di rumah ini. Seharusnya, waktu-waktu luang selama itu bisa kupakai untuk tetap memancang ingatan. Menghasilkan lebih banyak kata dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sementara yang terjadi justru sebaliknya. Tahunmu ini merangkum sedikit tulisan. Bandingkan saja dengan tahun-tahun yang telah lalu. Sungguh disayangkan, bukan? Jauh dari kata produktif.
Beruntung, ada selingan yang ditawarkan kembali melalui komunitas sosial. Aku kembali berkenalan dengan beberapa orang baru melalui Kelas Inspirasi yang kali itu digelar di Kabupaten Gowa. Berbeda dengan setahun silam, peranku lebih banyak untuk mengabadikan momen dengan kamera milikku.
Dear 2019...
Kamu pernah mengisyaratkan, aku akan menjadi kuat setelah melintasi garis waktumu. Katamu, aku siap untuk pertaruhan berikutnya. Katamu, kehidupan akan berlangsung normal. Katamu, segalanya akan baik-baik saja. Padahal, kamu seharusnya jujur saja bahwa it's ok not to be ok.
Aku sekaligus mengingat pesan itu dari seorang perempuan yang kini semakin menjauh. Aku tak pernah lagi mendengar suaranya, mendengar tawanya, atau sekadar menyelami deru napasnya. Kami tak lagi saling menunggu waktu tidur. Tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepala untuk menggambarkan rindu. Ia menghilang untuk waktu yang... entah sampai kapan.
Semakin aku mencoba kepadanya, kian ia menjaga jarak. Hubungan yang berantakan. Hal itu juga sempat membuat cahaya yang meredup. Karena kebiasaannya telah jadi kebiasaanku. Hari-hariku mencerah setiap kali membuka pesannya.
Barangkali, aku memang harus menatap langsung matanya, memboncengnya melihat pantai kesukaannya, mengangkat gelas kopi di depannya, mangatakan maaf yang sejati, tanpa perantara lagi.
Ya, itu menjadi salah satu harapan yang akan kulambungkan setelah meninggalkanmu, wahai 2019. Sampaikan pada 2020 untuk menyisakan ruang itu padaku. Tak peduli akan berakhir manis atau justru membuatku lebih pahit. Aku ingin berjuang saja. Seperti pesan pada lagu The Rain, Upaya Maksimal.
Kesendirian-kesendirian di masa jeda akhirnya membawaku pada momen yang lebih lambat. Aku belajar menatap lamat-lamat. Mendengarkan orang lain. Mendengarkan bunyi-bunyi yang diabaikan. Mendengarkan dengan sepenuh hati.
Bagiku, banyak orang yang terhubung dengan mental illness dari waktu-waktu yang kau jejerkan. Beruntungnya, di tahunmu pula aku belajar menelusuri kepala mereka. Lewat mendengarkan dan melambatkan waktu. Entah itu teman-temanku sendiri atau membaca apa yang diutarakan orang lain. Aku tak lagi menyemangati dengan cara toxic. Setidaknya, logikaku mulai mengerti bagaimana mendahulukan empati sebelum bersimpati.
Dear 2019...
Terima kasih untuk banyak hal yang telah kau bawa,
Terima kasih untuk kedewasaan yang telah kau selipkan,
Terima kasih telah memperkenalkan ragam bentuk kasih sayang,
Terima kasih atas keberanian yang kau tegaskan di kepala,
Terima kasih sudah menunjukkan teman-teman yang mau mengulurkan tangan,
Terima kasih atas rehat yang tak begitu lama,
Terima kasih atas rindu-rindu yang terucap,
Terima kasih telah menawarkan kesempatan baru...
Kita berpisah, tepat setelah kau mengantarkan pada kota baru yang akan menjadi perjalananku berikutnya.
Terima kasih.
Kita akan berpisah. Sebenar-benarnya berpisah. Kamu menjadi waktu yang tak bisa kembali lagi. Satu-satunya cara untuk bisa memanggilmu; ingatan-ingatan. Pernah kukatakan pada semua orang, memori adalah mesin tunggal untuk menyapa masa lalu. Tak ada sebenar-benarnya mesin waktu yang bisa dicipta manusia.
Lantas, apa yang bisa kukenang darimu?
Sejujurnya, aku tak pernah muluk-muluk menginginkanmu. Aku enggan menganggapmu sebagai bagian terbaik yang pernah kucapai. Karena aku justru terdesak oleh skenariomu. Apa yang kamu atur bersama sang Semesta nyaris membuatku tersungkur dan babak belur.
Kenapa?
Aku mengingatmu sebagai tahun-tahun yang cukup membingungkan...
Kehidupanku dengan aroma lawas perkotaan dikembalikan, sebulan sebelum meninggalkan 2018.
Aku tak perlu lagi menjahit kabar dan berita nun jauh dari kabupaten. Rutinitas kembali beririsan dengan kemacetan-kemacetan dan orang-orang lama. Gedung dan jalan tampak lebih padat dibanding gunung dan pohon. Segalanya pun berjalan dengan ritme yang terburu-buru.
Hal itu otomatis mendekatkan kembali rutinitas lainnya yang pernah kutinggalkan. Aktivitas sukarela di balik organisasi kampus menjadi selingan di kala huru-hara kepala merajalela. Ada banyak wajah baru yang kujumpai. Kulafalkan pula namanya satu per satu. Sebanyak itu pula ingatan mereka beririsan dengan kehadiranku. Dimulai dari kepanitiaan hingga kerja-kerja internal organisasi.
Aku juga banyak bertemu dengan teman-teman lama. Menghabiskan sisa-sisa waktu dengan duduk di depan segelas kopi. Menertawakan masa lalu. Menghimpun kekuatan untuk menghadapi kenyataan esok hari.
Ketergesaan di kota lambat-laun mulai menenggelamkan banyak kesenangan. Aku tak lagi punya waktu dengan menenteng kamera ke tempat-tempat menarik. Mengabadikan langit malam yang berlukiskan sekumpulan bintang semesta. Bahkan, sekadar menyeduh kopi arabika sendiri dengan moka pot atau drip di depan kamar sudah tak menjadi kebiasaan. Padahal, kebiasaan itu pernah menjadi hal wajib sebelum mengerjakan tugas-tugas liputan di luar rumah.
Momen menenteng ransel dan menggelar tenda baru bisa kujumpai kembali menjelang akhir-akhir kepergianmu, 2019. Sayangnya, aku hanya sempat berkenalan dengan pepohonan Bissoloro dan Lembanna. Sementara alam lainnya, seperti Danau Tanralili atau Lembah Ramma terpaksa menjadi waiting list yang akan sulit diwujudkan. Kenapa? Karena ternyata, tanpa diduga, kau terlalu cepat membelokkanku ke bagian hidup yang lain.
Aku tidak-bisa-tidak mengenangmu sebagai titik paling ekstrem dalam kehidupanku. Jika boleh, kuanggap pula sebagai titik terendah.
Titik balik terjadi menjelang kepergianmu. Hanya berselang tiga bulan sebelum kamu meminta 2020 menggantikanmu. Aku nekat menanggalkan pekerjaanku. Sama sekali tanpa persiapan apa-apa, sebagaimana yang seharusnya dipikirkan setiap orang yang mengajukan resign.
Kala itu hanya satu pilihan bagiku yang telanjur keras kepala; keluar. Aku sudah merasa tak dihargai. Tak ada pula apresiasi. Pun, sudah sejak lama, tak ada figur yang bisa menjadi "payung" untuk kami tetap tumbuh di tempat itu. Kami dipaksa berlari tanpa dihadiahi sekadar ucapan "terima kasih". Akh, kata-kata itu memang selalu gampang dilafalkan, tetapi sulit diucapkan. Sama seperti "maaf" dan "tolong".
Tentu saja, "menghilangkan" pekerjaan menjadi momok bagi usia kami yang seharusnya menabung lebih banyak uang. Bagaimana kami bisa hidup jika tidak mencari sumber penghidupan? Bagaimana kami bisa duduk-duduk menyesap kopi jika tak membayarnya dengan sejumlah uang? Bagaimana kami membayar cicilan tanpa itu?
Tak apa, 2019.
Aku sama sekali tak menyesalkan kehilangan itu. Aku tak menyalahkanmu. Orang-orang lainnya tak bisa belajar melangkah seberani itu.
(Imam Rahmanto) |
Hal yang kusesalkan justru waktu-waktu "menganggur" itu tak kumaksimalkan menamatkan lebih banyak buku. Sedikit bacaan. Jumlah buku yang kutamatkan jauh dari target yang kupasang. Dihitung-hitung, hanya enam-tujuh buku yang kulahap selama masa jeda itu. Aku pun khawatir, bacaan penutup (1Q84, Haruki Murakami) tak akan sampai pada lembaran terakhirnya.
Selain itu, aku menyesal tak lebih banyak menulis di rumah ini. Seharusnya, waktu-waktu luang selama itu bisa kupakai untuk tetap memancang ingatan. Menghasilkan lebih banyak kata dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sementara yang terjadi justru sebaliknya. Tahunmu ini merangkum sedikit tulisan. Bandingkan saja dengan tahun-tahun yang telah lalu. Sungguh disayangkan, bukan? Jauh dari kata produktif.
Beruntung, ada selingan yang ditawarkan kembali melalui komunitas sosial. Aku kembali berkenalan dengan beberapa orang baru melalui Kelas Inspirasi yang kali itu digelar di Kabupaten Gowa. Berbeda dengan setahun silam, peranku lebih banyak untuk mengabadikan momen dengan kamera milikku.
Mengisi waktu jeda. (Imam Rahmanto) |
Dear 2019...
Kamu pernah mengisyaratkan, aku akan menjadi kuat setelah melintasi garis waktumu. Katamu, aku siap untuk pertaruhan berikutnya. Katamu, kehidupan akan berlangsung normal. Katamu, segalanya akan baik-baik saja. Padahal, kamu seharusnya jujur saja bahwa it's ok not to be ok.
Aku sekaligus mengingat pesan itu dari seorang perempuan yang kini semakin menjauh. Aku tak pernah lagi mendengar suaranya, mendengar tawanya, atau sekadar menyelami deru napasnya. Kami tak lagi saling menunggu waktu tidur. Tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepala untuk menggambarkan rindu. Ia menghilang untuk waktu yang... entah sampai kapan.
Semakin aku mencoba kepadanya, kian ia menjaga jarak. Hubungan yang berantakan. Hal itu juga sempat membuat cahaya yang meredup. Karena kebiasaannya telah jadi kebiasaanku. Hari-hariku mencerah setiap kali membuka pesannya.
Barangkali, aku memang harus menatap langsung matanya, memboncengnya melihat pantai kesukaannya, mengangkat gelas kopi di depannya, mangatakan maaf yang sejati, tanpa perantara lagi.
Ya, itu menjadi salah satu harapan yang akan kulambungkan setelah meninggalkanmu, wahai 2019. Sampaikan pada 2020 untuk menyisakan ruang itu padaku. Tak peduli akan berakhir manis atau justru membuatku lebih pahit. Aku ingin berjuang saja. Seperti pesan pada lagu The Rain, Upaya Maksimal.
Kesendirian-kesendirian di masa jeda akhirnya membawaku pada momen yang lebih lambat. Aku belajar menatap lamat-lamat. Mendengarkan orang lain. Mendengarkan bunyi-bunyi yang diabaikan. Mendengarkan dengan sepenuh hati.
Bagiku, banyak orang yang terhubung dengan mental illness dari waktu-waktu yang kau jejerkan. Beruntungnya, di tahunmu pula aku belajar menelusuri kepala mereka. Lewat mendengarkan dan melambatkan waktu. Entah itu teman-temanku sendiri atau membaca apa yang diutarakan orang lain. Aku tak lagi menyemangati dengan cara toxic. Setidaknya, logikaku mulai mengerti bagaimana mendahulukan empati sebelum bersimpati.
Dear 2019...
Terima kasih untuk banyak hal yang telah kau bawa,
Terima kasih untuk kedewasaan yang telah kau selipkan,
Terima kasih telah memperkenalkan ragam bentuk kasih sayang,
Terima kasih atas keberanian yang kau tegaskan di kepala,
Terima kasih sudah menunjukkan teman-teman yang mau mengulurkan tangan,
Terima kasih atas rehat yang tak begitu lama,
Terima kasih atas rindu-rindu yang terucap,
Terima kasih telah menawarkan kesempatan baru...
Kita berpisah, tepat setelah kau mengantarkan pada kota baru yang akan menjadi perjalananku berikutnya.
Terima kasih.
Lihat, sebagian besar masih didominasi foto Latimojong. |
Tertanda,
Imam Rahmanto,
yang menungguimu pergi hanya dengan berada di dalam kamar barunya, di Bogor
- Desember 31, 2019
- 0 Comments