Rumah yang Tak Ramah
Desember 14, 2019Baca Juga
Pernahkah kamu merasa tak seorang pun yang mau mendengarmu berbicara? Tak ada tempat melabuhkan perasaan yang terlalu lama dipendam di dada? Kita merasa sendirian karena tak tahu lagi harus ke mana. Karena ini soal keluarga, bukan yang lainnya.
Tak jarang, cara satu-satunya dengan menjauhkan diri dari rumah. Sejauh-jauhnya. Hingga tak ada lagi bising yang hinggap di kepala.
Rumah tak selalu menjadi tempat yang paling menenangkan. Justru, beberapa orang mematahkan hatinya dari rumah. Mengubur harapan atas keluarga yang akan mendukungnya atas segala impian dan cita-citanya.
Seorang teman tak ingin pulang karena enggan melihat kisruh di keluarganya. Sebagai perempuan, hatinya rapuh melihat pertengkaran-pertengkaran antara ayah dan ibunya. Kota kami menjadi tempat paling nyaman untuk melarikan diri. Sebisanya, ia akan mencari alasan untuk tetap bertahan dengan kesibukan pekerjaan di kota.
"Di satu sisi, saya memang muak menyaksikan pertengkaran-pertengkaran di rumah. Di sisi lain, saya kasihan dengan ibu yang sendirian di rumah dengan ayah," tuturnya, di suatu malam, dengan nada meragu.
Kehidupan keluarganya sarat dengan pertengkaran. Nyaris seperti kehidupan saya di masa kanak-kanak.
Orang-orang hanya tak pernah tahu, di masa lalu, saya kerap terbangun tengah malam karena mendengar suara berdebam dan gedebuk di dalam rumah. Suara merintih sakit ibu saya. Teriakan kesal ayah. Gemericik air yang disiram dan menyambar dinding rumah.
Sementara, yang bisa saya lakukan hanya ikut menangis dan menyembunyikan wajah saya di bawah bantal. Berusaha segera terpejam dan pura-pura melupakan semua bayangan yang bukan sekadar mimpi itu. Untuk memastikan saya masih tertidur di antara ribut-ribut itu, ayah akan masuk kamar dan menyinari mata saya dengan senter.
Saya akan lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah. Pulang selarut-larutnya anak kecil. Kelak, saya baru memahami itu sebagai salah satu cara saya untuk melarikan diri dari rumah. Seperti kemuakan teman saya atas masalah di rumahnya.
Seorang teman lainnya juga sedang melarikan diri dari keluarganya. Hanya saja, ia menghindar atas alasan perjodohan dari orang tuanya. Dua kali dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dua kali pula dengan ayah dan ibunya berbeda pendapat.
"Saya memutuskan untuk ambil studi di Kediri dengan alasan mau lanjut S2, demi memperdalam IELTS. Karena, saya merasa tidak ada gunanya bagi saya terus berada di rumah. Tidak ada yang benar-benar mengerti saya," ungkapnya, dengan lika-liku yang tak mudah mendapatkan restu ayahnya.
Ia menghabiskan waktu hingga enam bulan lamanya. Masih menanti waktu yang tepat dengan segala rencana melanjutkan studi. Bolak-balik Jakarta untuk mengikuti tes. Karena menurutnya, itulah satu-satunya cara untuk melarikan diri dari rumah. Kesibukan melanjutkan studi jadi cara paling ampuh untuk mengalihkan desakan orang tuanya atas jodoh yang tak benar-benar diinginkannya.
"Saya takut pulang ke rumah. Takut tak bisa menolak. Takut mengungkapkan perasaan. Takut melukai hati orang tua," resahnya.
Saya hanya membayangkan posisinya itu. Beberapa tahun silam, saya juga pernah menjadi anak paling abai terhadap orang tua. Sebenar-benarnya melarikan diri dari rumah. Tak pulang dan tak ingin dihubungi dalam waktu yang cukup lama. Hingga air mata adik dan ibulah yang terus membayang dan mengarahkan jalan pulang.
Kita hidup dalam keluarga. Punya masa lalu sebagai anak-anak. Menjalani kehidupan masa sekarang dengan bayang-bayang paling rekat pada masa itu. Apakah kehidupan dewasa kita menyimpan masa kecil yang bahagia, atau justru penuh luka?
Lazimnya, orang tua selalu menganggap paling paham dengan perasaan atau kemauan anak-anaknya. Tanpa sadar, kehidupan anak-anaknya lebih tampak seperti diikat tali kekang. Mereka bisa sebebasnya mengendalikan akan jadi apa anak-anak mereka kelak. Ke arah mana mereka akan pergi.
Sementara di sisi lainnya, mereka justru menunjukkan suasana rumah yang tidak nyaman. Jauh dari kata damai. Tak ada pikiran yang dibagi. Tak ada perasaan yang bebas saling diungkapkan.
Bukankah seharusnya orang tua bisa membagi pikirannya dengan diskusi-diskusi yang menyenangkan? Bukan yang justru mendebarkan. Kalau rumah tak lagi jadi tempat paling hangat, ke mana lagi kita akan pulang?
Kehidupan kita selalu dibentuk atas ingatan-ingatan masa lalu. Untuk itu, masa kecil harus dibentuk dengan kenangan-kenangan hangat.
Saya selalu iri dengan sebagian teman yang bisa bebas menceritakan apa saja ke ibu atau ayahnya. Tak ada sekat. Seolah-olah menjadi sahabat. Bahkan, persoalan asmara bisa mengundang banyak tanya yang berujung gelak tawa.
Pelukan ibu menjadi tempat paling nyaman mendaratkan duka. Ketika tak satu pun teman mampu mengerti, ibu menjadi satu-satunya orang yang memahami tanpa sepatah kata. Cukup dengan pelukan.
Saya mendambakan hubungan orang tua - anak seperti demikian. Tentunya dengan mengiringi bahwa kelak tak ingin menanamkan ingatan buruk kepada anak-anak saya. Mempertontonkan adu mulut dengan pasangan. Memaksa pilihan hidup yang akan dijalaninya. Atau sekadar makian kasar yang akan menempel sepanjang usia di kepalanya.
Karena, barangkali, cara memahami anak seharusnya dimulai dengan menelaah diri sendiri. Apakah kehidupan kita layak menjadi contoh kehidupan mereka di masa yang akan datang. []
Tak jarang, cara satu-satunya dengan menjauhkan diri dari rumah. Sejauh-jauhnya. Hingga tak ada lagi bising yang hinggap di kepala.
Rumah tak selalu menjadi tempat yang paling menenangkan. Justru, beberapa orang mematahkan hatinya dari rumah. Mengubur harapan atas keluarga yang akan mendukungnya atas segala impian dan cita-citanya.
Seorang teman tak ingin pulang karena enggan melihat kisruh di keluarganya. Sebagai perempuan, hatinya rapuh melihat pertengkaran-pertengkaran antara ayah dan ibunya. Kota kami menjadi tempat paling nyaman untuk melarikan diri. Sebisanya, ia akan mencari alasan untuk tetap bertahan dengan kesibukan pekerjaan di kota.
"Di satu sisi, saya memang muak menyaksikan pertengkaran-pertengkaran di rumah. Di sisi lain, saya kasihan dengan ibu yang sendirian di rumah dengan ayah," tuturnya, di suatu malam, dengan nada meragu.
Kehidupan keluarganya sarat dengan pertengkaran. Nyaris seperti kehidupan saya di masa kanak-kanak.
Orang-orang hanya tak pernah tahu, di masa lalu, saya kerap terbangun tengah malam karena mendengar suara berdebam dan gedebuk di dalam rumah. Suara merintih sakit ibu saya. Teriakan kesal ayah. Gemericik air yang disiram dan menyambar dinding rumah.
Sementara, yang bisa saya lakukan hanya ikut menangis dan menyembunyikan wajah saya di bawah bantal. Berusaha segera terpejam dan pura-pura melupakan semua bayangan yang bukan sekadar mimpi itu. Untuk memastikan saya masih tertidur di antara ribut-ribut itu, ayah akan masuk kamar dan menyinari mata saya dengan senter.
Saya akan lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah. Pulang selarut-larutnya anak kecil. Kelak, saya baru memahami itu sebagai salah satu cara saya untuk melarikan diri dari rumah. Seperti kemuakan teman saya atas masalah di rumahnya.
Seorang teman lainnya juga sedang melarikan diri dari keluarganya. Hanya saja, ia menghindar atas alasan perjodohan dari orang tuanya. Dua kali dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dua kali pula dengan ayah dan ibunya berbeda pendapat.
"Saya memutuskan untuk ambil studi di Kediri dengan alasan mau lanjut S2, demi memperdalam IELTS. Karena, saya merasa tidak ada gunanya bagi saya terus berada di rumah. Tidak ada yang benar-benar mengerti saya," ungkapnya, dengan lika-liku yang tak mudah mendapatkan restu ayahnya.
Ia menghabiskan waktu hingga enam bulan lamanya. Masih menanti waktu yang tepat dengan segala rencana melanjutkan studi. Bolak-balik Jakarta untuk mengikuti tes. Karena menurutnya, itulah satu-satunya cara untuk melarikan diri dari rumah. Kesibukan melanjutkan studi jadi cara paling ampuh untuk mengalihkan desakan orang tuanya atas jodoh yang tak benar-benar diinginkannya.
"Saya takut pulang ke rumah. Takut tak bisa menolak. Takut mengungkapkan perasaan. Takut melukai hati orang tua," resahnya.
Saya hanya membayangkan posisinya itu. Beberapa tahun silam, saya juga pernah menjadi anak paling abai terhadap orang tua. Sebenar-benarnya melarikan diri dari rumah. Tak pulang dan tak ingin dihubungi dalam waktu yang cukup lama. Hingga air mata adik dan ibulah yang terus membayang dan mengarahkan jalan pulang.
***
Kita hidup dalam keluarga. Punya masa lalu sebagai anak-anak. Menjalani kehidupan masa sekarang dengan bayang-bayang paling rekat pada masa itu. Apakah kehidupan dewasa kita menyimpan masa kecil yang bahagia, atau justru penuh luka?
Lazimnya, orang tua selalu menganggap paling paham dengan perasaan atau kemauan anak-anaknya. Tanpa sadar, kehidupan anak-anaknya lebih tampak seperti diikat tali kekang. Mereka bisa sebebasnya mengendalikan akan jadi apa anak-anak mereka kelak. Ke arah mana mereka akan pergi.
Sementara di sisi lainnya, mereka justru menunjukkan suasana rumah yang tidak nyaman. Jauh dari kata damai. Tak ada pikiran yang dibagi. Tak ada perasaan yang bebas saling diungkapkan.
Bukankah seharusnya orang tua bisa membagi pikirannya dengan diskusi-diskusi yang menyenangkan? Bukan yang justru mendebarkan. Kalau rumah tak lagi jadi tempat paling hangat, ke mana lagi kita akan pulang?
Kehidupan kita selalu dibentuk atas ingatan-ingatan masa lalu. Untuk itu, masa kecil harus dibentuk dengan kenangan-kenangan hangat.
Saya selalu iri dengan sebagian teman yang bisa bebas menceritakan apa saja ke ibu atau ayahnya. Tak ada sekat. Seolah-olah menjadi sahabat. Bahkan, persoalan asmara bisa mengundang banyak tanya yang berujung gelak tawa.
Pelukan ibu menjadi tempat paling nyaman mendaratkan duka. Ketika tak satu pun teman mampu mengerti, ibu menjadi satu-satunya orang yang memahami tanpa sepatah kata. Cukup dengan pelukan.
Saya mendambakan hubungan orang tua - anak seperti demikian. Tentunya dengan mengiringi bahwa kelak tak ingin menanamkan ingatan buruk kepada anak-anak saya. Mempertontonkan adu mulut dengan pasangan. Memaksa pilihan hidup yang akan dijalaninya. Atau sekadar makian kasar yang akan menempel sepanjang usia di kepalanya.
Karena, barangkali, cara memahami anak seharusnya dimulai dengan menelaah diri sendiri. Apakah kehidupan kita layak menjadi contoh kehidupan mereka di masa yang akan datang. []
(Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments