Sesudah Turunnya

Desember 09, 2019

Baca Juga

Saya duduk di samping jendela. Sedikit berharap, mendung di luar menjatuhkan hujannya di tempat yang benar. Kota kami sedang dirundung panas yang pengap. Hujan jadi hal sederhana yang paling dirindukan.

Sayangnya, hujan malah tiba terlambat di pinggiran kota, tempat tinggal kami. Kata orang, berdasarkan status dan story, hujan tiba lebih cepat di penghujung pintu selamat datang. Ia berlarian di setiap atap bangunan. Menenggelamkan aroma knalpot di jalan protokol. Berganti petrichor dari atas aspal.

Seolah hujan memang memakai sistem zonasinya sendiri. Turun parsial.

"Barangkali, proyek tol layang itu yang bikin hujan ndak turun di sini. Coba mi lihat, hujan di sana turun terus. Tidak pernah lewati itu proyek," kelakar seorang teman, beberapa hari sebelumnya.

Kami menyambutnya dengan gelak tawa. Kata orang, proyek-proyek besar memang butuh pawang hujan agar pekerjaannya cepat selesai. Kalau tidak, denda mengintai pengerjaan yang melewati target awal.

Saya begitu setia menanti hujan. Tak ubahnya seorang kekasih yang menengok kereta lewat pukul berapa. Memastikan setiap orang yang turun dari pintu kereta. Menyimpan luapan rindu untuk seseorang yang ditunggu-tunggu cukup lama.

Lagipula, saya belum punya pekerjaan lain yang terlalu penting.

"Do you want to spend the first rain with me?"

Saya pernah mendapatkan pertanyaan seperti itu. Betapa hujan menjadi hal paling dirindukan di kota ini. Orang-orang sudah terlampau gerah dengan panas yang semakin menjadi-jadi. Sebisa mungkin kami ingin menikmati kembali masa kanak-kanak yang tertinggalkan oleh waktu.

Benar seperti itu.

Suatu ketika, saya sengaja mengenakan kaos biasa. Tanpa jaket. Bercelana pendek. Tanpa dompet. Menepi ke warkop langganan, memesan kopi-susu panas. Jika hujan turun, agak perlahan, saya bisa langsung keluar dengan alasan bolak-balik indekos mengendarai motor.

Ternyata, hujan benar-benar turun. Ia menderas sebentar.

Saya hendak keluar dan memastikan tempiasnya. Akan tetapi, saya terlampau malu untuk mencari-cari alasan "masuk akal" untuk menantang hujan di luar. Seorang teman sedang sibuk merampungkan naskah berita di hadapan saya.

Hujan tak seperti kekasihmu di tepi stasiun, yang rela duduk lebih lama dari jadwalnya. Menunggumu dengan hadiah pelukan hangat. Karenanya, saya tak mendapati hujan berlama-lama tiba di tempat kami. Tak bisa menunggu saya yang menunda waktu lebih lama.

Saya menyesalinya. Sungguh. Saya telah lama menanti dan justru menyia-nyiakan kedatangannya. Seharusnya, seperti sebuah pelukan, saya merentangkan tangan lebar dan memejamkan mata menghadapinya.

Oleh karena itu, saya tiba lebih awal pada hari berikutnya. Langit kian bergumul dan menggumpal. Kelam. Bunyi gemuruh menggelegar. Isyarat hujan akan tiba, meski tak pernah tepat waktu.

Bintik air menghantam permukaan seng. Bunyinya berurutan. Berirama. Seperti membentuk nada yang hanya dimengerti oleh semesta. Semakin keras. Semakin beringas. Tempiasnya tumpah menghantam permukaan tanah. Hujan pun berlari-lari di pelataran parkir.



"Mau ke mana?" ujar seorang teman.

"Ke kosan dulu sebentar," balas saya, setelah hujan memanggil-manggil cukup lama. Tariannya memudar perlahan. Sebentar lagi, barangkali menghilang kembali digulung awan.

Saya tak ingin melewatkannya lagi.

Titik air menyentuh ubun-ubun. Helai rambut porak-poranda oleh hujan. Sisanya berlomba turun menyapu wajah. Tanpa mengenakan helm, wajah seperti mendapatkan skin care-nya sendiri. Pakaian saya basah, namun tak kuyup.

It's so dramatic.

Hujan di pelataran parkir. (Imam Rahmanto)

Saya mana peduli.

Saya hanya berupaya menuntaskan satu keinginan yang sudah menggumpal di kepala. Kita, orang dewasa, kenapa tidak mencoba bersikap apa adanya saja. Sekali-kali melakukan sesuatu di luar kepala, tanpa terlalu banyak mempertimbangkan apa-apa. Logis atau tidak. Memalukan atau tidak. Bersamanya ataupun tidak.

Membeli eskrim tanpa perlu dikatakan terlalu kekanak-kanakan. Menikmati pentolan atau siomay di pinggir jalan. Mengunjungi pantai di waktu terjaga tengah malam. Membaca buku di tengah keramaian kafe. Tak peduli pula orang-orang menganggap aneh aktivitas yang, kata mereka, tak selazimnya orang lakukan kebanyakan.

Momen tak pernah bisa menunggu. Usia terus menjauh dari masa kecil kita yang pernah seperti itu; sungguh-sungguh menghargai waktu. Sekali lagi, lakukan saja apa yang diinginkan hati, tanpa memilin-milinnya di kepala. Seperti masa itu, yang penuh dengan tawa.

Tahukah kamu, kita tak pernah terlalu tua untuk tetap menjadi anak-anak. []


--Imam Rahmanto--


You Might Also Like

0 comments