Buah yang Jatuh

Desember 02, 2019

Baca Juga

Udara semakin menggila di kota ini. Tak kemana-mana pun masih bisa dicekik pengap. Hujan masih enggan bertandang. Pertandanya saja yang membuat harap-harap cemas saban hari. Langit gelap, gemuruh menggelegar, ujung-ujungnya tak hujan. 

Saya akan menyambut baik ketika ada panggilan ngopi. Ruangan ber-AC bisa sedikit melegakan kulit yang terlampau pekat dengan keringat. Sedikit jumpa dan bicara juga melegakan sebagian isi kepala.

Makassar di malam hari. (Imam Rahmanto)

Baru-baru ini, saya bertemu seorang kerabat yang akan melepas masa lajangnya. Seminggu lagi, ia akan memperistrikan seorang perempuan dari Kendari. Hubungan dengan teman masa sekolahnya itu telah berjalan sembilan tahun lamanya. 

Sepupu saya itu belum genap setahun bekerja di Makassar. Ia didinaskan oleh perusahaannya yang juga bernaung di bawah BUMN. Keluarganya, Pakde dan Bukde saya, hingga kini masih menetap di Kendari. Karena isyarat permintaan ibunya pula saya menjalin temu di antara gegasnya menyiapkan segala riweuh pernikahan.

"Bapak(ku) juga dari kemarin ditelepon ibumu, diminta supaya aku datang di acaramu. Tapi ya gimana. Kayaknya ndak bisa," saya juga baru menyampaikan padanya perihal resign dua bulan silam. Saya juga percaya, dia bisa menyimpan rahasia.

Kami memang berkomunikasi bukan dalam bahasa ibu. Wajar, kami sama-sama dibesarkan jauh dari lingkungan Jawa. Ia di Kendari, saya di Enrekang. Kami kebetulan baru dipertemukan dan diikat dalam satu titik di kota ini. 

Jelang seminggu lagi, ia akan melepas masa lajang. Seluk-beluk di belakangnya ternyata cukup menggelikan. Saya hanya tertawa-tawa mendengar cerita petualangannya itu. Soal selingkuh, bukan lagi barang langka baginya. Hampir setiap perempuan yang ia temui begitu mudah terjerat oleh matanya.

"Saya sendiri bingung, kenapa beberapa perempuan begitu saja mau jadi selingkuhan ketika tahu saya sudah punya pacar," paparnya, dengan segelas ice chocolate di tangan. Salah satu jemarinya sudah dilingkari cincin tunangan.

Ia bercerita, pernah berpacaran "diam-diam" dengan teman kelas pacarnya. Sering pula jalan berdua. Beruntung tak diketahui sang pacar. 

"Malah, dulu pernah juga saya tiba-tiba dichat cewek padahal tidak pernah minta nomornya...." 

Semua pengalamannya dengan perempuan yang baru dikenal, berujung pada keakraban yang cukup intim. Mulai dari SPG rokok, rekan kerjanya, janda beranak dua, perempuan yang baru menikah, hingga pertemuannya kembali dengan mantan (selingkuhan) di Makassar. Malah, ia tak sungkan bercerita dengan hal-hal yang berbau agak vulgar. 

***

Bukan tanpa alasan sepupu saya itu begitu mudah menggaet perempuan. Wajah rupawan dari Pakde memang menurun langsung padanya. Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. 

Terkadang, ia akan menampik ucapan saya. Akan tetapi, buktinya tetap saja mengandalkan "anugerah" itu untuk menggaet perempuan-perempuan yang ditemuinya. Hanya sekali tatap, perempuan bisa luluh. Saya terpaksa harus mengakui itu.

Sepupu saya itu bukan anak sulung. Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara, yang semuanya adalah laki-laki. Ia juga hanya terpaut lebih muda setahun dari saya.

Akan tetapi, semesta mewujudkan separuh kepribadian sang ayah kepadanya. Karakter Pakde pun perlahan melebur dengan dirinya.  Parasnya juga tak kalah dengan artis-artis atau selebgram zaman sekarang. Pembawaanya kalem, tipikal "misterius" yang biasanya gemar menggedor-gedor rasa penasaran para kaum hawa.

Saya? Masih kalah jauh darinya. 

Bhaique.

***

Lebih jauh dari ikatan keluarga, kami terhubung oleh pengalaman yang nyaris sama. Kami pernah secara terbuka berbagi pengalaman pahit dalam keluarga. Masa kecilnya juga kerap diwarnai pertengkaran orang tua. Keluarganya malah nyaris retak gara-gara pengaruh "orang ketiga". Ayah saya sampai terang-terangan melabeli kakak lelakinya itu sebagai seorang playboy.

"Setidaknya, hal semacam itu jangan sampai terjadi selepas menikahmu nanti sih," pesan saya, mencemaskan karakternya yang ikut melebur.

Ia sadar, statusnya tak akan sama lagi. Lebih menyadari lagi, teladan ayahnya bukan sesuatu yang diimpikannya sejak kecil. Hanya secuil dari kepribadian ayahnya yang ingin dia angkat tinggi-tinggi. Lebih banyak yang ingin ia buang jauh-jauh.

Ia paham sakitnya cercaan sang ayah. Paham bagaimana ibunya menangis mengubur rindu untuk suaminya. Dipahamkan pula bagaimana seorang wanita lain bisa menguras harta keluarganya. Cerita-cerita versi tetangga dan kerabat terkait ayahnya juga terekam khusus di memori masa kecilnya.

"Saya sadar itu (mengikuti tabiat ayah kemarin). Memang, kalau saya seperti itu, bukan cuma perempuannya yang sakit. Anak-anak juga jadi korban dan merasakan perihnya," ungkapnya, yang membawa bayangan kelam di masa silam.

Kami tumbuh sebagai anak-anak yang enggan meneladani sang ayah. Hanya saja, entah bagaimana bentuknya, selalu ada unsur-unsur dari orang tua yang melekat pada diri tanpa pernah diminta. Ia melebur diam-diam. Mengambil alih separuh kesadaran dalam perjalanan hidup ini.

Saya juga punya sisi temperamental yang menurun dari ayah. Tak jarang, suara saya akan meninggi ketika kesal. Di depan perempuan, kekesalan saya bisa berbuah air mata. Meski hanya dari ujung telepon.

Saya seharusnya membangun kesadaran bahwa tidak ingin menjadi ayah yang sudah terlalu banyak menumpahkan air mata ibu di masa lalu.

Kenyataannya, sebagai anak, kami hanya perlu menerima kenyataan pahit itu. Merelakan unsur orang tua yang melekat dalam darah dan daging. Barangkali, yang perlu dilakukan tidak menyangkalnya dengan sangat tegas. Terlebih sangat keras. Kami hanya butuh berdamai dengan diri sendiri. []

Bukunya Mitch Albom. (Imam Rahmanto)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments