Anak-anak Ibu
Desember 24, 2019Baca Juga
Sehari sebelum Hari Ibu, saya memutuskan untuk pulang. Entah perjalanan saya ke Enrekang bisa disebut pulang yang hakiki. Atau sekadar memungut kenangan yang tersisa dari kehidupan masa kecil saya dahulu.
Pada kenyataannya, saya memang tak punya siapa-siapa lagi di kabupaten yang berjarak 6 jam perjalanan dari Makassar itu. Keluarga saya hanya dipilin dari orang-orang yang menjalin hubungan sosial, tanpa hubungan darah. Teman-teman rasa saudara. Guru-guru yang menjadi orang tua kedua.
Saya tiba pagi hari di rumah Bunda. Seperti biasa, langsung melipir ke dapur dan menjumpainya dengan rona wajah terkejut. Meski begitu, sudah menyiapkan sarapan yang memang sengaja disimpannya, sejak kabar malam lalu.
Saya tak pernah menyangka, Hari Ibu berjalan agak romantis. Saya menghabiskan separuh sore dengan membonceng Bunda ke beberapa tempat yang diinginkannya.
Dimulai dari kunjungan kami ke rumah guru SMA, yang juga sahabat karibnya. Ia mengantarkan kue bolu hasil buatannya sendiri. Berbincang agak lama di depan teras perumahan guru. Kue bolu lainnya juga mendarat manis di tangan guru lainnya, yang tiba hanya berselang lima menit setelahnya. Kue bolu dipotong kecil dan diselingi dengan percakapan ringan seputar masa lalu, kini, dan esok hari.
Sepulangnya, Bunda meminta mampir di beberapa warung makan. Katanya, ingin memastikan saya mengakhiri kenangan di Enrekang dengan ingatan tentang makanan khasnya. Saya sudah menceritakan tentang tempat kerja baru, yang sungguh jauh melipat jarak.
"Kapan lagi kamu bisa makan itu toh. Karena siapa tahu nanti bertahun-tahun lagi baru bisa jalan-jalan ke Enrekang," sebutnya.
Kami tak beruntung. Nyaris pulang dengan tangan hampa. Persediaan makanan berkuah itu sudah habis jelang sore. Dua warung dengan hasil nihil, dalam perjalanan kembali ke rumah.
Hanya saja, keinginan Bunda tak goyah untuk menjamu anaknya. Ia menyebutkan warung di kecamatan tetangga, yang menyediakan kuliner tersebut. Saya sempat tak enak hati. Apalagi, ia baru saja pulih dari sakitnya. "Ayo mi. Kapan lagi toh. Sebenarnya saya juga mau," lanjutnya lagi, sedikit memberikan isyarat.
Saya mengabadikan perjalanan itu sebagai momen cukup epik di hari tersebut. Belanja kuliner khas kami, Nasu Cemba. Duduk menunggui martabak pesanan anak perempuannya. Hingga berbincang-bincang banyak hal di atas motor yang sedang melaju. Langit menyertainya dengan rinai di sepanjang jalan.
"Satu-satunya momen saya bisa makan enak, ya kalau datang ke sini, Bunda. Kalau di Makassar, biasanya makan cuma sekali sehari. Malah, ngopinya yang banyak," canda saya.
Saya akhirnya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan menyantap kuliner-kuliner yang menyehatkan itu di dapur rumahnya.
Di tempat lain, seorang teman harus mengubur rindu pada ibunya. Beberapa bulan silam, ibunya berpulang. Di waktu itu pula saya agak menyesal tak bisa datang dan menawarkan obat lara. Kini, di Hari Ibu, ia hanya bisa mengenang dengan cara memandangi foto lama di album-album pribadinya.
Malamnya, saya melihat ia yang tak ingin larut dalam kesedihan. Ia juga sadar sedang memikul peran baru sebagai seorang ibu. Anaknya yang baru menyentuh usia beberapa bulan butuh sosok penyayang darinya. Perannya sudah berganti. Kelak, anak lelakinya itulah yang akan mengucapkan selamat untuknya.
"Ya, kamu juga cari lah cepat. Supaya nanti ada teman mainnya anakku," sambarnya ketika saya memainkan stoples isi kerupuk dengan anaknya.
Sesekali ia menawarkan perjodohan dengan tetangganya yang merupakan adik kelas kami di masa SMA. Saya tolak karena memang tak menyukai perjodohan. Lagipula, saya punya kuasa mutlak untuk menentukan siapa yang pantas jadi ibu dari anak-anak saya kelak.
Kunjungan singkat di rumahnya itu jadi bagian dari menuntaskan temu. Beberapa waktu lalu, kami hanya terhubung Video Call karena kabar Bunda yang sedang diopname. Janji untuk mampir ke rumahnya terselip dari perbincangan singkat bertukar kabar itu. Sebenarnya, sudah lama pula kami tak berbagi gosip-gosip terbaru.
Dari mereka, saya merayakan selamat untuk dua ibu sekaligus; untuk teman saya yang kini menjalani perannya sebagai ibu, untuk Bunda yang selalu menjadi orang tua kedua dalam kehidupan saya.
Saya dan sahabat perempuan itu juga tak bisa menyampaikan isyarat kasih sayang untuk ibu yang sesungguhnya. Ia yang hanya bisa mengenang sang ibu di separuh hidupnya. Saya, yang hanya terlalu gengsi mengatakan, "Selamat Hari Ibu, Mak," karena terpisah jarak. Terpaksa hanya bisa meng-kode lewat telepon ayah yang tiba keesokan hari.
Selebihnya, kami ingin menjadi anak-anak yang akan mengingat ibu, tak peduli batas ruang dan waktu. []
Pada kenyataannya, saya memang tak punya siapa-siapa lagi di kabupaten yang berjarak 6 jam perjalanan dari Makassar itu. Keluarga saya hanya dipilin dari orang-orang yang menjalin hubungan sosial, tanpa hubungan darah. Teman-teman rasa saudara. Guru-guru yang menjadi orang tua kedua.
Enrekang dan keindahannya. Saya akan selalu merinduinya. (Imam Rahmanto) |
Saya tiba pagi hari di rumah Bunda. Seperti biasa, langsung melipir ke dapur dan menjumpainya dengan rona wajah terkejut. Meski begitu, sudah menyiapkan sarapan yang memang sengaja disimpannya, sejak kabar malam lalu.
Saya tak pernah menyangka, Hari Ibu berjalan agak romantis. Saya menghabiskan separuh sore dengan membonceng Bunda ke beberapa tempat yang diinginkannya.
Dimulai dari kunjungan kami ke rumah guru SMA, yang juga sahabat karibnya. Ia mengantarkan kue bolu hasil buatannya sendiri. Berbincang agak lama di depan teras perumahan guru. Kue bolu lainnya juga mendarat manis di tangan guru lainnya, yang tiba hanya berselang lima menit setelahnya. Kue bolu dipotong kecil dan diselingi dengan percakapan ringan seputar masa lalu, kini, dan esok hari.
Bolu dan perbincangan. (Imam Rahmanto) |
Sepulangnya, Bunda meminta mampir di beberapa warung makan. Katanya, ingin memastikan saya mengakhiri kenangan di Enrekang dengan ingatan tentang makanan khasnya. Saya sudah menceritakan tentang tempat kerja baru, yang sungguh jauh melipat jarak.
"Kapan lagi kamu bisa makan itu toh. Karena siapa tahu nanti bertahun-tahun lagi baru bisa jalan-jalan ke Enrekang," sebutnya.
Kami tak beruntung. Nyaris pulang dengan tangan hampa. Persediaan makanan berkuah itu sudah habis jelang sore. Dua warung dengan hasil nihil, dalam perjalanan kembali ke rumah.
Hanya saja, keinginan Bunda tak goyah untuk menjamu anaknya. Ia menyebutkan warung di kecamatan tetangga, yang menyediakan kuliner tersebut. Saya sempat tak enak hati. Apalagi, ia baru saja pulih dari sakitnya. "Ayo mi. Kapan lagi toh. Sebenarnya saya juga mau," lanjutnya lagi, sedikit memberikan isyarat.
Saya mengabadikan perjalanan itu sebagai momen cukup epik di hari tersebut. Belanja kuliner khas kami, Nasu Cemba. Duduk menunggui martabak pesanan anak perempuannya. Hingga berbincang-bincang banyak hal di atas motor yang sedang melaju. Langit menyertainya dengan rinai di sepanjang jalan.
"Satu-satunya momen saya bisa makan enak, ya kalau datang ke sini, Bunda. Kalau di Makassar, biasanya makan cuma sekali sehari. Malah, ngopinya yang banyak," canda saya.
Saya akhirnya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan menyantap kuliner-kuliner yang menyehatkan itu di dapur rumahnya.
***
Di tempat lain, seorang teman harus mengubur rindu pada ibunya. Beberapa bulan silam, ibunya berpulang. Di waktu itu pula saya agak menyesal tak bisa datang dan menawarkan obat lara. Kini, di Hari Ibu, ia hanya bisa mengenang dengan cara memandangi foto lama di album-album pribadinya.
Malamnya, saya melihat ia yang tak ingin larut dalam kesedihan. Ia juga sadar sedang memikul peran baru sebagai seorang ibu. Anaknya yang baru menyentuh usia beberapa bulan butuh sosok penyayang darinya. Perannya sudah berganti. Kelak, anak lelakinya itulah yang akan mengucapkan selamat untuknya.
"Ya, kamu juga cari lah cepat. Supaya nanti ada teman mainnya anakku," sambarnya ketika saya memainkan stoples isi kerupuk dengan anaknya.
Sesekali ia menawarkan perjodohan dengan tetangganya yang merupakan adik kelas kami di masa SMA. Saya tolak karena memang tak menyukai perjodohan. Lagipula, saya punya kuasa mutlak untuk menentukan siapa yang pantas jadi ibu dari anak-anak saya kelak.
Kunjungan singkat di rumahnya itu jadi bagian dari menuntaskan temu. Beberapa waktu lalu, kami hanya terhubung Video Call karena kabar Bunda yang sedang diopname. Janji untuk mampir ke rumahnya terselip dari perbincangan singkat bertukar kabar itu. Sebenarnya, sudah lama pula kami tak berbagi gosip-gosip terbaru.
Dari mereka, saya merayakan selamat untuk dua ibu sekaligus; untuk teman saya yang kini menjalani perannya sebagai ibu, untuk Bunda yang selalu menjadi orang tua kedua dalam kehidupan saya.
Saya dan sahabat perempuan itu juga tak bisa menyampaikan isyarat kasih sayang untuk ibu yang sesungguhnya. Ia yang hanya bisa mengenang sang ibu di separuh hidupnya. Saya, yang hanya terlalu gengsi mengatakan, "Selamat Hari Ibu, Mak," karena terpisah jarak. Terpaksa hanya bisa meng-kode lewat telepon ayah yang tiba keesokan hari.
Selebihnya, kami ingin menjadi anak-anak yang akan mengingat ibu, tak peduli batas ruang dan waktu. []
--Imam Rahmanto--
0 comments