Menata Ambisi

Desember 26, 2019

Baca Juga

Mocca. (Imam Rahmanto)

"Jadi, ceritanya kamu ke sini cuma mau pamit?"

Bunda langsung menyergap dengan pertanyaan itu ketika tahu kepindahan saya ke kota lain. Saya juga baru menyampaikan perihal masa jeda dua bulan selepas resign dari tempat kerja sebelumnya. Kikuk lah saya dibuatnya.

Padahal, saya sudah lama tak main ke dapurnya. Lama pula tak ditawari berbagai jenis makanan dan minuman. Kopi, teh, atau susu. Baru seminggu ia pulih dari masa operasinya di rumah sakit. Kadung durhaka jika saya tak membesuknya.

Saya juga menyampaikan kegundahan atas tempat yang ditinggalkan, dua bulan lalu. Bagaimana pertaruhan (bukan pertarungan) di dalamnya. Bagaimana beberapa pilarnya keropos. Pun, tak ada figur yang bisa menjadi teladan bagi kami, yang masih mencari pola dan warna.

"Ya memang begitu, nak. Meski sudah dapat gaji, kalau tidak ada apresiasi dalam kerja-kerjamu, susah juga. Kerja apa pun, selalu butuh diapresiasi. Meski sebatas ucapan terima kasih. Setidaknya itu yang bikin kamu merasa dihargai. Bukan sebatas balasan materi," katanya.

Tak ada penghakiman. Ia pun paham dengan perasaan "anak angkat"nya. Setiap orang punya jalan untuk pilihan hidupnya masing-masing. Apalagi di usia seperti saya, sudah sepatutnya mulai menggenapi ambisi-ambisi atau mimpi yang sudah lama dibangun. Bukan lagi perkara asmara yang menggundahkan hati.

"Tapi, itu teman-temanmu sudah menikah. Kaunya jangan jauh-jauh. Nanti Bunda ndak bisa ngantar loh," candanya, yang menohok ulu hati. yaelaaahh.

Perjalanan saya sudah terlalu lama di kota ini. Pekerjaan baru tentunya akan membuat saya berputar di tempat yang sama. Tak banyak perubahan dalam momentumnya.

Sementara usia ayah dan ibu semakin menua. Saya masih saja menjauh dari mereka. Sudah seyogyanya saya memilin rencana yang juga melibatkan bayangan wajah mereka di dalamnya.

Tiga tahun belakangan, saya memang tak pernah menetap terlalu lama di satu tempat. Nomaden. Tiga tahun, tiga tempat berbeda.

Dimulai dari menjelajah kampung kelahiran di Enrekang, menjajal rasa baru di Bone, hingga tiba kembali di kepenatan Makassar.

Kini, petualangan itu akan berlanjut di tempat yang benar-benar asing; Bogor. Semua hal akan terasa baru. Udaranya. Jalanannya. Nuansanya. Momennya. Orang-orangnya. Atau pengalaman yang kelak semakin membuat lebih banyak merenungi hidup.

Sejatinya, perjalanan-perjalanan memang selalu menjadi tempat belajar paling unik. Kita adalah murid semesta. Belajar merangkum dari kehidupan.

"Ya, pergi saja kalau itu pilihanmu, nak. Mudah-mudahan semakin banyak tempat, semakin mengenal orang-orang baru, semakin banyak pengalaman (dan sudut pandang berbeda) yang kau dapat," pesannya.

Saya semakin percaya, apa pun yang digoreskan lewat secarik kertas akan menjadi kenyataan. Semesta bisa bekerja diam-diam untuk mewujudkannya. Tanpa disadari, kita akan takjub cara kerja Tuhan dalam meluluskan keinginan paling dasar manusia. Tak peduli lewat tangan orang lain atau dorongan yang tak diduga-duga. []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments