Terasing Sendiri
Desember 31, 2019Baca Juga
Kota Bogor diguyur hujan sepanjang siang ini. Tak begitu deras, tetapi petir bersahut-sahutan. Cukup menggemuruh untuk membuat orang-orang waspada di sepanjang jalan.
"Ya dari tadi mah hujannya kayak gini aja sih," kata abang ojol.
Saya memintanya untuk mengantarkan ke sebuah kafe. Kebiasaan menyesap kopi masih belum hilang. Di kota ini, saya harus meniti kafe lewat bantuan Google. Memeriksanya dan mencoba bersantai di sana.
Sungguh membosankan jika menghabiskan waktu di dalam kamar seorang diri. Padahal, banyak tempat yang menunggu untuk diajak berkenalan. Tempat baru yang benar-benar asing.
Sayangnya, saya belum punya kendaraan pribadi. Bakal setiap hari harus memanggil ojol. Ingin mencoba angkutan umum pun masih belum paham rutenya. Wajar, tak ada satu pun teman yang berasal dari kota hujan ini. Beberapa teman justru bekerja di pusat kota, seperti Jakarta.
Saya tiba di kota ini, sehari sebelumnya. Menumpang kereta dari Stasiun Babat dan tiba di pemberhentian paling terakhir; Pasar Senen. Sebenarnya, saya ingin tinggal lebih lama di ibukota itu. Hanya saja, teman yang lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jarak stasiun juga terbilang jauh untuk dijangkau dari tempat tinggal mereka.
Karena ngopi sudah menjadi rutinitas, saya mampir sebentar di sebuah kafe yang masih berada di dalam area stasiun. Di tangan saya sudah terselip selembar kartu masuk Commuter Line. Saya menebusnya setelah bertanya sana-sini ke beberapa teman via Whatsapp dan petugas-petugas stasiun. Bahkan sebelum itu, saya masih menyempatkan untuk mengantarkan seorang bule asal India untuk memesan ojol. Ia yang berdomisili Surabaya punya keperluan mengurus paspor di kedutaan besarnya. Benar kata ramalan, Aquarius terlalu sibuk memikirkan orang lain dibanding dirinta sendiri.
Masih ada banyak waktu untuk kereta-kereta yang akan berangkat menuju kota Bogor. Kata petugas, kereta arah Bogor biasanya berselang 30 menit. Saat memesan tiket, sebenarnya ada kereta yang baru tiba. Hanya saja, saya urung terburu-buru. Mending mojok ngopi dulu.
Sejujurnya, ini pengalaman pertama bepergian ke kota Bogor. Seorang diri pula mencicipi moda transportasi umum antar kota se-Jabodetabek. Padatnya stasiun juga menjadi pemandangan unik. Di kota kami, belum ada moda transportasi kereta. Saban hari, orang-orang hanya memanfaatkan petepete (angkot) atau ojol untuk bepergian kemana pun.
Butuh waktu hampir dua jam untuk tiba di Stasiun Bogor. Suasananya teramat padat. Mungkin, karena masih dalam suasana liburan.
Saya harus memeriksa Google berkali-kali untuk memastikan tujuan. Saya butuh tempat tinggal atau indekos sebelum memulai pekerjaan baru di sini. Dua opsi sudah saya simpan dan memastikan posisinya tak jauh dari gedung calon-kantor.
"Mau ngecek hari ini ya, mas?" pesan dari salah satu pemilik indekos.
Saya menunggu teman untuk ke lokasi tersebut. Sayangnya, posisinya cukup jauh dari kota Bogor. Ia sampai harus mengendarai KRL untuk menemui saya. Sementara kaki dan bahu telanjur pegal berkeliling selama hampir sejam di taman sebelah stasiun; Taman Topi.
Saya terpaksa menyambangi lokasi indekos bertemankan ojol. Beban ransel juga masih dipanggul kesana-kemari. Gambling. Untungnya, kamar saya cukup strategis. Tak begitu luas. Tak begitu sempit. Tak perlu lagi memeriksa opsi indekos kedua.
Saya hanya butuh beristirahat sebelum merancang rencana lainnya sebulan ke depan. Kalaupun kelak tak betah, saya bisa pindah ke mana saja.
"Imam ya? Dimanaki? Saya temannya....." seorang teman menelepon.
Ia memperkenalkan diri sebagai teman dari teman masa SMA saya. Memang, usai turun di stasiun, saya mengontak seorang teman di Jakarta. Ia mengarahkan untuk bertemu temannya yang tinggal di Bogor. Katanya, sebagai sesama orang dari Enrekang. Kami pun memutuskan berjumpa di sebuah kafe yang saya pilih sendiri setelah melintasinya dalam perjalanan. Setelahnya, seorang teman dari Jakarta juga bergabung.
"Yah, beginilah Bogor. Karakternya akan sangat berbeda dengan tempat asal kita," katanya, yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di salah satu universitas Bogor.
Saya tak bisa berlama-lama karena harus menyambangi calon-kantor, sesuai instruksi. Kami mengakhiri perjumpaan dengan janji temu berikutnya.
Dan di sinilah saya, siang ini. Menjelajahi jalan kota. Menghirup aroma udaranya yang tak pernah pengap. Rintik hujan yang turun setiap sore. Orang-orang dengan dialek seperti di televisi. Menyepi di sebuah kafe, yang barangkali akan menjadi tempat "teman" saya selama beberapa waktu ke depan.
Sebenar-benarnya keterasingan. Sweet loneliness. []
"Ya dari tadi mah hujannya kayak gini aja sih," kata abang ojol.
Saya memintanya untuk mengantarkan ke sebuah kafe. Kebiasaan menyesap kopi masih belum hilang. Di kota ini, saya harus meniti kafe lewat bantuan Google. Memeriksanya dan mencoba bersantai di sana.
Sungguh membosankan jika menghabiskan waktu di dalam kamar seorang diri. Padahal, banyak tempat yang menunggu untuk diajak berkenalan. Tempat baru yang benar-benar asing.
Sepertinya, kafe ini akan jadi langganan. (Imam Rahmanto) |
Sayangnya, saya belum punya kendaraan pribadi. Bakal setiap hari harus memanggil ojol. Ingin mencoba angkutan umum pun masih belum paham rutenya. Wajar, tak ada satu pun teman yang berasal dari kota hujan ini. Beberapa teman justru bekerja di pusat kota, seperti Jakarta.
Saya tiba di kota ini, sehari sebelumnya. Menumpang kereta dari Stasiun Babat dan tiba di pemberhentian paling terakhir; Pasar Senen. Sebenarnya, saya ingin tinggal lebih lama di ibukota itu. Hanya saja, teman yang lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Jarak stasiun juga terbilang jauh untuk dijangkau dari tempat tinggal mereka.
Karena ngopi sudah menjadi rutinitas, saya mampir sebentar di sebuah kafe yang masih berada di dalam area stasiun. Di tangan saya sudah terselip selembar kartu masuk Commuter Line. Saya menebusnya setelah bertanya sana-sini ke beberapa teman via Whatsapp dan petugas-petugas stasiun. Bahkan sebelum itu, saya masih menyempatkan untuk mengantarkan seorang bule asal India untuk memesan ojol. Ia yang berdomisili Surabaya punya keperluan mengurus paspor di kedutaan besarnya. Benar kata ramalan, Aquarius terlalu sibuk memikirkan orang lain dibanding dirinta sendiri.
Masih ada banyak waktu untuk kereta-kereta yang akan berangkat menuju kota Bogor. Kata petugas, kereta arah Bogor biasanya berselang 30 menit. Saat memesan tiket, sebenarnya ada kereta yang baru tiba. Hanya saja, saya urung terburu-buru. Mending mojok ngopi dulu.
Sejujurnya, ini pengalaman pertama bepergian ke kota Bogor. Seorang diri pula mencicipi moda transportasi umum antar kota se-Jabodetabek. Padatnya stasiun juga menjadi pemandangan unik. Di kota kami, belum ada moda transportasi kereta. Saban hari, orang-orang hanya memanfaatkan petepete (angkot) atau ojol untuk bepergian kemana pun.
Butuh waktu hampir dua jam untuk tiba di Stasiun Bogor. Suasananya teramat padat. Mungkin, karena masih dalam suasana liburan.
Saya harus memeriksa Google berkali-kali untuk memastikan tujuan. Saya butuh tempat tinggal atau indekos sebelum memulai pekerjaan baru di sini. Dua opsi sudah saya simpan dan memastikan posisinya tak jauh dari gedung calon-kantor.
"Mau ngecek hari ini ya, mas?" pesan dari salah satu pemilik indekos.
Saya menunggu teman untuk ke lokasi tersebut. Sayangnya, posisinya cukup jauh dari kota Bogor. Ia sampai harus mengendarai KRL untuk menemui saya. Sementara kaki dan bahu telanjur pegal berkeliling selama hampir sejam di taman sebelah stasiun; Taman Topi.
Saya terpaksa menyambangi lokasi indekos bertemankan ojol. Beban ransel juga masih dipanggul kesana-kemari. Gambling. Untungnya, kamar saya cukup strategis. Tak begitu luas. Tak begitu sempit. Tak perlu lagi memeriksa opsi indekos kedua.
Saya hanya butuh beristirahat sebelum merancang rencana lainnya sebulan ke depan. Kalaupun kelak tak betah, saya bisa pindah ke mana saja.
"Imam ya? Dimanaki? Saya temannya....." seorang teman menelepon.
Ia memperkenalkan diri sebagai teman dari teman masa SMA saya. Memang, usai turun di stasiun, saya mengontak seorang teman di Jakarta. Ia mengarahkan untuk bertemu temannya yang tinggal di Bogor. Katanya, sebagai sesama orang dari Enrekang. Kami pun memutuskan berjumpa di sebuah kafe yang saya pilih sendiri setelah melintasinya dalam perjalanan. Setelahnya, seorang teman dari Jakarta juga bergabung.
"Yah, beginilah Bogor. Karakternya akan sangat berbeda dengan tempat asal kita," katanya, yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di salah satu universitas Bogor.
Saya tak bisa berlama-lama karena harus menyambangi calon-kantor, sesuai instruksi. Kami mengakhiri perjumpaan dengan janji temu berikutnya.
Dan di sinilah saya, siang ini. Menjelajahi jalan kota. Menghirup aroma udaranya yang tak pernah pengap. Rintik hujan yang turun setiap sore. Orang-orang dengan dialek seperti di televisi. Menyepi di sebuah kafe, yang barangkali akan menjadi tempat "teman" saya selama beberapa waktu ke depan.
Sebenar-benarnya keterasingan. Sweet loneliness. []
--Imam Rahmanto--
0 comments