Brrr….
Brrr…dinginnya minta ampun. Pernah mencoba mencelupkan tangan di air berisi bongkahan es pagi-pagi? Nah, begitu “rasa” air di kampung ini, “rumah” saya pulang melepas kerinduan. Brr…saking dinginnya, saya tak bisa tidur tanpa selubung yang menghangatkan badan. Minimal ya sarung atau selimut. Brrr…
Begini saja perbandingan suhunya. Cappuccino panas yang saya seduh di pagi hari, di rumah, hanya butuh waktu 3-4 menit untuk menghangat hingga menjadi suhu normal. Sementara kalau di Makassar, cappuccino panas bisa bertahan temperaturnya 7-10 menit lamanya. Makanya, menyeruput Cappie di rumah rasanya tak cukup jika hanya segelas. Tapi, kenikmatannya sungguh terasa loh. Apalagi berhadapan dengan udara pagi yang dinginnya..brrrr...membuat badan menggigil. Hahaha…. Apasih? Ini kok jadi kagak nyambung ya analoginya? -_-
“Jadi, kita’ asli Enrekang ya?” tanya seorang teman lewat pesan singkatnya.
“Jadi, lebarannya di Makassar atau Surabaya, Mam?” pesan yang lain menyusul dari orang yang berbeda.
Akh, terkadang saya sendiri bingung mau menyebut saya aslinya berasal dari mana. Karena kenyataannya, kedua orang tua saya adalah orang Jawa tulen. Bahkan, semua anak famili ada di Jawa. Sementara, saya lahir dan dibesarkan di lingkungan orang-orang “Duri” di pegunungan Kabupaten Enrekang.
Jadi, kampung halaman saya ada dimana? Hm…entahlah. Bagi saya, kampung halaman bukan soal dimana kita pertama kali dilahirkan ke bumi. Bukan pula soal darimana orang tua kita berasal. Melainkan, kampung halaman adalah tempat dimana kita bisa melepas kerinduan dengan kedua orang tua hingga sanak famili.
Sejujurnya, di Jawa pun saya tak banyak mengenal sanak keluarga. Bapak dan ibu yang merantau hingga tempat kami bernaung sekarang, agak sulit untuk menjadwalkan “pulang kampung” setiap tahun. Biasalah, masalah finansial. Hingga kini, saya bahkan bisa menghitung jari berapa kali kami mengunjungi kerabat di Jawa. Terakhir kali, ketika saya menginjak tahun ketiga kuliah di Makassar. Gara-gara itu, saya menargetkan kelak akan mengunjungi kakek dan nenek di Jawa dengan modal sendiri, pengalaman sendiri, nge-backpacking ria. Seru sih nampaknya..
Brr…pagi-pagi mengetik postingan begini, jari-jari tangan rasanya tak mau bersahabat. Pagi hari, udara masih dingin. Udara biasanya baru mulai menghangat di atas jam 10-an.
Saya sendiri bingung mau mengepos tulisan ini kapan dan bagaimana. Perkaranya, untuk memperoleh jaringan internet di daerah perkampungan begini cukup sulit dan agak mahal. Saban hari saya hanya bisa memanfaatkan akses internet untuk Blackberry Messenger a.k.a BBM. Bayangkan saja, kuota 10-20 MB kalau dimanfaatkan untuk mengakses browser akan ludes dalam jangka……. tak-cukup-sejam! Kalau sudah habis, tanpa disadari, ikut raib pula pulsa yang tersisa. Itu hanya untuk penggunaan mobile saja ya. Saya agak ngeri kalau mau menghitung penggunaan internet lewat komputer atau notebook. #Cari modem. Modem, mana modem??!!
Kalau sudah di kampung begini, saya jadi ingat masa-masa sekolah dulu. Masa SD, SMP, SMA, bahkan hingga taman kanak-kanaknya. Kata teman, selagi di kampung, ya dimanfaatkan saja untuk reunian. Jarang-jarang loh ya bisa pulang kampung. Pekerjaan dan kuliah di Makassar begitu menyibukkan. Betapa rutinitas mampu mengambil alih ingatan (dan hati). Obat bius paling mujarab bagi orang yang ingin menghapus ingatan. Sampai-sampai kita tak ingat lagi kapan harus berkirim kabar ke kampung halaman.
Ada banyak tempat yang bisa di-nostalgia-kan. Teman lama. Sahabat lama. Geng lama. Sekolah lama. Warung-warung lama. Bukit-bukit usang dengan pepohonan yang masih sama. Pun, udaranya tak banyak berubah. Kisah lama. Otomatis, semua berlabel “DULU”.
Oh iya, karena pulang kampung jadi trending, maka ramai-ramailah orang di media sosial pasang/ ganti/ update/ upload segala hal yang berbau kampung halaman. Tak perlu heran, biar kesulitan memperoleh sinyal, banyak pula teman-teman saya di jejaring sosial yang ramai-ramai “tanding-status” ataupun “tanding-foto” demi menampakkan bahwa, “Saya sedang bersenang-senang di kampung halaman.” Hahaha…as tradition…
Pun, saya ingin memanfaatkan momen lebaran dan liburan ini untuk mengunjungi the old puzzles in my lifes. Kalau kata teman sih, merasakan “romantisme kampung halaman”.
Kalau yang dimaksud dengan romantismenya itu adalah sehubungan asmara anak-anak ABG dulu, saya perlu mengibarkan bendera putih deh. -_-. Haha...saya tak punya rekam jejak atas hal demikian. Namun, saya menganggap romantisme itu hanya sekadar tolok ukur kedekatan dan kekeluargaan di kampung halaman saja. It’s right!
Seperti saya katakan, ingin merasakan udaranya. Menginjak tanahnya, tempat saya dulu berpijak dan berlarian. Bangunannya, tempat saya biasa melewatkan pandangan. Jalan-jalan beraspalnya, yang masih saja sama lebarnya. Hangatnya persahabatan dan kekonyolan yang dilakukan dengan teman-teman. Biasalah, anak-anak ABG di kampung tidak se”dewasa” ABG di perkotaan. Pasarnya juga, yang sudah banyak mengalami renovasi disana-sini.
Apalagi, kata Pak Bupati kemarin, pasar sentral terbesar di Kebupaten Enrekang ini akan memperoleh gelontoran dana belasan miliar. FYI, Pak bupati yang belum genap tiga bulan menjabat adalah orang asli kampung disini. Bahkan, rumahnya (yang paling besar) tak jauh dari rumah kami. hanya terpaut belasan meter. Eh, eh, anak laki-lakinya juga adalah teman sekelas saya waktu SD dulu. Entah bagaimana kabarnya sekarang.
Selagi di kampung, beruntung, seorang teman dengan senang hati rela ikut-ikutan “menjadi muda” dengan saya. Teman saya satu ini, seperti yang saya duga dari perkembangannya lewat media sosial, aktif dengan kampanye politik sebagai seorang tim sukses. Ckck… Hari-hari setelah lebaran, kami lalui dengan berkunjung kesana-kemari. Mencoba memilah, kisah-kisah mana saja yang pantas untuk dikunjungi satu per satu. Sembari menertawakan kekonyolan-keonyolan masa labil dulu. Tak lupa, tentu saja, dengan membangun dan membagi impian lewat cerita-cerita yang dipertemukan di kampung ini.
“Eh, kayak jadi anak ABG ki lagi? Yang kerjanya habis lebaran pergi mang siara (anjangsana) kemana-mana. Icip-icip sajian lebaran,”
“Hahaha…maumi diapa,”
Rasa-rasanya, ketika menginjak kampung halaman, semua ingatan kembali disentak menuju masa silam. Semua hal pasti dihubungkan dengan kepingan masa silam. Apapun yang ditemui, se-sepele apapun, nampaknya selalu memiliki benang merah untuk menyeberang ke masa lalu. Time Warp. Pernah mengalaminya, bukan? Seperti halnya ketika kita hanya melewati sebuah bangunan, jalan, atau menyaksikan pohon, lantas pikiran akan berlomba-lomba mencari ingatan akan hal itu. Sama pula halnya ketika kita hanya mendengarkan sebuah lagu, dan lagu itu terasa spesial karena memiliki kaitan erat dengan masa-masa silam.
Selagi di kampung, nikmati saja sebanyak apa nostalgia yang dibutuhkan…
Bukannya setiap orang butuh bahan bakar untuk merancang masa depannya ya? Butuh melihat ke belakang untuk menyeberang ke depan. Layaknya pegas yang harus ditarik dulu ke belakang, agar bisa memental jauh ke depan. Pun, untuk melompat jauh ke depan, para atlet juga butuh ancang-ancang dengan mundur beberapa langkah.
“Biar mi lama-lama di kampung. Kapan lagi ki bede bisa makan banyak daging, kalau bukan lebaran? Kapan lagi ki bisa ketemu teman-teman ta dulu, kalau bukan liburan begini? Nikmati mi saja.”
Ps: Untuk sementara, kita abaikan “algoritma” pertanyaan pamungkas setiap kali menginjak kampung, seperti, “Sudah selesai kuliahnya?” Erghh… -_-“
Brrr…dinginnya minta ampun. Pernah mencoba mencelupkan tangan di air berisi bongkahan es pagi-pagi? Nah, begitu “rasa” air di kampung ini, “rumah” saya pulang melepas kerinduan. Brr…saking dinginnya, saya tak bisa tidur tanpa selubung yang menghangatkan badan. Minimal ya sarung atau selimut. Brrr…
Begini saja perbandingan suhunya. Cappuccino panas yang saya seduh di pagi hari, di rumah, hanya butuh waktu 3-4 menit untuk menghangat hingga menjadi suhu normal. Sementara kalau di Makassar, cappuccino panas bisa bertahan temperaturnya 7-10 menit lamanya. Makanya, menyeruput Cappie di rumah rasanya tak cukup jika hanya segelas. Tapi, kenikmatannya sungguh terasa loh. Apalagi berhadapan dengan udara pagi yang dinginnya..brrrr...membuat badan menggigil. Hahaha…. Apasih? Ini kok jadi kagak nyambung ya analoginya? -_-
Ini penampakan pegunungan ketika melakukan perjalanan ke Enrekang "Duri". Kalau punya waktu, berliburlah ke kampung yang telah membesarkan saya. (Sumber: detik.com) |
“Jadi, kita’ asli Enrekang ya?” tanya seorang teman lewat pesan singkatnya.
“Jadi, lebarannya di Makassar atau Surabaya, Mam?” pesan yang lain menyusul dari orang yang berbeda.
Akh, terkadang saya sendiri bingung mau menyebut saya aslinya berasal dari mana. Karena kenyataannya, kedua orang tua saya adalah orang Jawa tulen. Bahkan, semua anak famili ada di Jawa. Sementara, saya lahir dan dibesarkan di lingkungan orang-orang “Duri” di pegunungan Kabupaten Enrekang.
Jadi, kampung halaman saya ada dimana? Hm…entahlah. Bagi saya, kampung halaman bukan soal dimana kita pertama kali dilahirkan ke bumi. Bukan pula soal darimana orang tua kita berasal. Melainkan, kampung halaman adalah tempat dimana kita bisa melepas kerinduan dengan kedua orang tua hingga sanak famili.
Sejujurnya, di Jawa pun saya tak banyak mengenal sanak keluarga. Bapak dan ibu yang merantau hingga tempat kami bernaung sekarang, agak sulit untuk menjadwalkan “pulang kampung” setiap tahun. Biasalah, masalah finansial. Hingga kini, saya bahkan bisa menghitung jari berapa kali kami mengunjungi kerabat di Jawa. Terakhir kali, ketika saya menginjak tahun ketiga kuliah di Makassar. Gara-gara itu, saya menargetkan kelak akan mengunjungi kakek dan nenek di Jawa dengan modal sendiri, pengalaman sendiri, nge-backpacking ria. Seru sih nampaknya..
Brr…pagi-pagi mengetik postingan begini, jari-jari tangan rasanya tak mau bersahabat. Pagi hari, udara masih dingin. Udara biasanya baru mulai menghangat di atas jam 10-an.
Saya sendiri bingung mau mengepos tulisan ini kapan dan bagaimana. Perkaranya, untuk memperoleh jaringan internet di daerah perkampungan begini cukup sulit dan agak mahal. Saban hari saya hanya bisa memanfaatkan akses internet untuk Blackberry Messenger a.k.a BBM. Bayangkan saja, kuota 10-20 MB kalau dimanfaatkan untuk mengakses browser akan ludes dalam jangka……. tak-cukup-sejam! Kalau sudah habis, tanpa disadari, ikut raib pula pulsa yang tersisa. Itu hanya untuk penggunaan mobile saja ya. Saya agak ngeri kalau mau menghitung penggunaan internet lewat komputer atau notebook. #Cari modem. Modem, mana modem??!!
Kalau sudah di kampung begini, saya jadi ingat masa-masa sekolah dulu. Masa SD, SMP, SMA, bahkan hingga taman kanak-kanaknya. Kata teman, selagi di kampung, ya dimanfaatkan saja untuk reunian. Jarang-jarang loh ya bisa pulang kampung. Pekerjaan dan kuliah di Makassar begitu menyibukkan. Betapa rutinitas mampu mengambil alih ingatan (dan hati). Obat bius paling mujarab bagi orang yang ingin menghapus ingatan. Sampai-sampai kita tak ingat lagi kapan harus berkirim kabar ke kampung halaman.
Ada banyak tempat yang bisa di-nostalgia-kan. Teman lama. Sahabat lama. Geng lama. Sekolah lama. Warung-warung lama. Bukit-bukit usang dengan pepohonan yang masih sama. Pun, udaranya tak banyak berubah. Kisah lama. Otomatis, semua berlabel “DULU”.
Oh iya, karena pulang kampung jadi trending, maka ramai-ramailah orang di media sosial pasang/ ganti/ update/ upload segala hal yang berbau kampung halaman. Tak perlu heran, biar kesulitan memperoleh sinyal, banyak pula teman-teman saya di jejaring sosial yang ramai-ramai “tanding-status” ataupun “tanding-foto” demi menampakkan bahwa, “Saya sedang bersenang-senang di kampung halaman.” Hahaha…as tradition…
Pun, saya ingin memanfaatkan momen lebaran dan liburan ini untuk mengunjungi the old puzzles in my lifes. Kalau kata teman sih, merasakan “romantisme kampung halaman”.
Kalau yang dimaksud dengan romantismenya itu adalah sehubungan asmara anak-anak ABG dulu, saya perlu mengibarkan bendera putih deh. -_-. Haha...saya tak punya rekam jejak atas hal demikian. Namun, saya menganggap romantisme itu hanya sekadar tolok ukur kedekatan dan kekeluargaan di kampung halaman saja. It’s right!
Seperti saya katakan, ingin merasakan udaranya. Menginjak tanahnya, tempat saya dulu berpijak dan berlarian. Bangunannya, tempat saya biasa melewatkan pandangan. Jalan-jalan beraspalnya, yang masih saja sama lebarnya. Hangatnya persahabatan dan kekonyolan yang dilakukan dengan teman-teman. Biasalah, anak-anak ABG di kampung tidak se”dewasa” ABG di perkotaan. Pasarnya juga, yang sudah banyak mengalami renovasi disana-sini.
Apalagi, kata Pak Bupati kemarin, pasar sentral terbesar di Kebupaten Enrekang ini akan memperoleh gelontoran dana belasan miliar. FYI, Pak bupati yang belum genap tiga bulan menjabat adalah orang asli kampung disini. Bahkan, rumahnya (yang paling besar) tak jauh dari rumah kami. hanya terpaut belasan meter. Eh, eh, anak laki-lakinya juga adalah teman sekelas saya waktu SD dulu. Entah bagaimana kabarnya sekarang.
Selagi di kampung, beruntung, seorang teman dengan senang hati rela ikut-ikutan “menjadi muda” dengan saya. Teman saya satu ini, seperti yang saya duga dari perkembangannya lewat media sosial, aktif dengan kampanye politik sebagai seorang tim sukses. Ckck… Hari-hari setelah lebaran, kami lalui dengan berkunjung kesana-kemari. Mencoba memilah, kisah-kisah mana saja yang pantas untuk dikunjungi satu per satu. Sembari menertawakan kekonyolan-keonyolan masa labil dulu. Tak lupa, tentu saja, dengan membangun dan membagi impian lewat cerita-cerita yang dipertemukan di kampung ini.
“Eh, kayak jadi anak ABG ki lagi? Yang kerjanya habis lebaran pergi mang siara (anjangsana) kemana-mana. Icip-icip sajian lebaran,”
“Hahaha…maumi diapa,”
Rasa-rasanya, ketika menginjak kampung halaman, semua ingatan kembali disentak menuju masa silam. Semua hal pasti dihubungkan dengan kepingan masa silam. Apapun yang ditemui, se-sepele apapun, nampaknya selalu memiliki benang merah untuk menyeberang ke masa lalu. Time Warp. Pernah mengalaminya, bukan? Seperti halnya ketika kita hanya melewati sebuah bangunan, jalan, atau menyaksikan pohon, lantas pikiran akan berlomba-lomba mencari ingatan akan hal itu. Sama pula halnya ketika kita hanya mendengarkan sebuah lagu, dan lagu itu terasa spesial karena memiliki kaitan erat dengan masa-masa silam.
Selagi di kampung, nikmati saja sebanyak apa nostalgia yang dibutuhkan…
Bukannya setiap orang butuh bahan bakar untuk merancang masa depannya ya? Butuh melihat ke belakang untuk menyeberang ke depan. Layaknya pegas yang harus ditarik dulu ke belakang, agar bisa memental jauh ke depan. Pun, untuk melompat jauh ke depan, para atlet juga butuh ancang-ancang dengan mundur beberapa langkah.
“Biar mi lama-lama di kampung. Kapan lagi ki bede bisa makan banyak daging, kalau bukan lebaran? Kapan lagi ki bisa ketemu teman-teman ta dulu, kalau bukan liburan begini? Nikmati mi saja.”
Ps: Untuk sementara, kita abaikan “algoritma” pertanyaan pamungkas setiap kali menginjak kampung, seperti, “Sudah selesai kuliahnya?” Erghh… -_-“
--Imam Rahmanto--
- Juli 31, 2014
- 4 Comments