(Duh) Dulu, KKN itu…
Juli 21, 2014Baca Juga
Pagi…
Akhirnya, bisa bertahan juga hingga matahari terbit, yang serupa menawarkan kerinduannya. Hm, sudah beberapa kali saya kecolongan tidur di waktu seperti ini, dan melalaikan “pagi”. Ck…saban puasa ini, pengaruh tidur selepas Subuh selalu saja menyerang. Tak pandang bulu. Tua muda. Laki-laki perempuan. Benar loh. Bahkan perempuan yang biasanya bangun lebih pagi (dan lebih mudah) dari para lelaki, ikut terbuai dengan pesona lelap pagi. #tepok jidat
Padahal, saya merindukan pagi-pagi di bulan Ramadhan seperti ini. Saya rindu dengan jalan-jalannya. Saya rindu menghirup udaranya. Saya rindu dengan suasananya. Saya rindu mendapati anak-anak kecil, di depan rumah Pak Haji (sekaligus anak-anak tetangganya), yang sudah menunggu pagi-pagi hendak diajak jalan-jalan. Saya rindu dengan duduk-duduk, menanti pagi di loteng rumah Pak Haji, di atas menara penampungan airnya. Menyaksikan cakrawala di pelupuk atap rumah penduduk, yang gelap-menjingga-memerah-memudar-menerang hingga mencercah benderang. Sesekali mencuri pandang ke arah rumah di sebelah selatan yang hanya berjarak sepelemparan batu. Saya. Merindu…
Bagaimanapun, kisah-kisah di masa pengabdian saya itu sudah berakhir, nyaris setahun yang lalu. Kini, berganti dengan generasi-generasi baru. Teman-teman saya (baca: adik junior), lebih banyak bercerita tentang persiapannya menjalani kisah baru di lokasinya masing-masing. Antusias. Mereke bertanya sana-sini tentang tetek-bengek KKN. Dengan detail, dan sengaja merampas kembali “kotak hitam” saya dari ingatan. Serupa "Adam Air" yang hilang, saya telah lama menenggelamkannya. Bukan karena tak suka, tapi saya harus menerima bahwa tak semuanya harus diingat rapat-rapat. #apasih
“Apa yang dikerja kalau KKN?” seorang teman pernah bertanya. Antusias sekali.
Banyak.
Versi Ramadhan:
- Menanti berbuka puasa, ngabuburit ke tempat-tempat baru. Semakin jauh, semakin menarik
- Berbuka puasa rame-rame
- Main kartu
- Shalat Isya berjamaah dan tarawih di masjid lokal
- Main kartu, atau ngumpul sama teman-teman posko
- Tidur
- Sahur rame-rame
- *back to: 1
- *Bonus: Rapat seadanya - Kegiatan Ramadhan (seadanya) untuk warga sekitar; lomba dan sejenisnya – Pesantren Kilat di sekolah
Versi non-Ramadhan:
- Makan
- Tidur
- Hang-out di tempat-tempat baru. Semakin jauh, semakin menarik
- *back to: 1
- Bonus: Rapat seadanya – Menjalankan program kerja KKN (seadanya)
Bahkan ada anekdot yang berkembang bahwa KKN itu sejatinya ajang mencari jodoh. Banyak pasangan-pasangan hidup yang berumah tangga awalnya dari petualangannya di masa-masa KKN. Hm…bagi saya, antara percaya dan tidak. Antara ada dan tiada. Itu saja.
Banyak hal yang telah saya lalui dalam menjalani masa pengabdian di tanah orang. Termasuk bagi orang-orang yang selalu ingin belajar. Sejatinya, tempat-tempat baru memang menawarkan banyak pengalaman baru. Saya takkan pernah menepisnya, jikalau di tanah orang itu saya pernah mendapatkan banyak pengalaman berharga. Bahkan, hingga kini, satu bagian dari saya masih tetap menengok ke tanah pengabdian itu.
Saya ingat…
Betapa “bandel”nya saya di KKN dulu, Pangkep. Bayangkan, saya baru tiba di lokasi KKN lepas seminggu pemberangkatan awal. Pun, setibanya disana, tidak berselang seminggu, saya kembali lagi ke Makassar. Tidak berselang seminggu, saya tiba lagi di Pangkep. Tidak sampai seminggu lagi, saya ke Makassar. Bolak-balik itu, menjadi agenda mingguan saya hingga KKN usai. Padahal, jabatan saya kala itu adalah sekretaris Kabupaten. Ckck..
Akh, se”bandel-bandel”nya saya, Tuhan masih tahu bagaimana menciptakan keajaiban bagi manusia yang mau bekerja keras. Dikarenakan seminggu awal kehadiran di posko saya belum menampakkan batang hidung, teman¬-teman nyaris mencoret nama “Imam Rahmanto” dari daftar peserta KKN. Katanya sih, di waktu kunjungan (survei) ke sekolah tempat mengajar kami, SMAN 2, yang kelak selalu menjadi tempat saya “kembali”. Beruntung, teman lainnya mencegah dengan persetujuan dari dosen pembimbing pula.
Oh iya, dua kali dosen pembimbing hadir memantau di lokasi KKN, saya juga tak pernah hadir. Dosen saya itu, salah seorang dosen di jurusan Matematika dan cukup mengenal saya, (dengan aktivitas pers kampus yang saya geluti). Duh, betapa sialnya.
Karena begitu “bandel”nya, saya pernah menerima pesan singkat dari teman posko, koodinator, yang cukup membuat saya terperanjat dan agak dongkol. Pada dasarnya mereka larut dalam ketidaktahuannya tentang apa yang saya lakoni, di luar KKN.
“Pilih Profesi atau KKN?”
Betapa menyakitkannya ketika orang-orang hanya mengadili kita dari sudut mata apa yang nampak saja. Mereka tak pernah tahu apa yang terjadi di belakang layar. Mungkin, karena ketidaktahuan itu, mereka tak ingin turut merasakannya. Sungguh. Orang-orang takut, karena tidak tahu.
“Saya memilih keduanya. Namun, jika saya benar-benar diharuskan memilih keduanya, saya akan memilih Profesi, ketimbang memilih sesuatu yang belum jelas bagi saya. Sesuatu yang bahkan untuk mengenal saya pun, enggan. Disini, saya justru dekat, dan kalau boleh dibilang, lebih menjanjikan.”
“Tapi, ketika saya benar-benar harus memilih, saya akan tetap menjalani kuliah saya itu. Terserah apa penilaian kalian. Tak peduli seberapa banyak kalian akan mengucilkan saya. Tak peduli seberapa sinis pandangan kalian terhadap saya. Saya tak peduli. Saya akan tetap menjalankannya, sebisa mungkin, hingga berakhir.”
Entah seperti apa perasaan teman saya ketika menerima pesan "menantang" demikian. Saya benar-benar “memuncak” kala itu, dan tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Usai menjalankan kewajiban (pers kampus) di Makassar, saya kembali dengan perasaan “masa bodoh”, dan tentu saja tetap “tangan terbuka” berusaha menarik persahabatan dengan mereka, yang tidak percaya. Segala hal yang paling saya butuhkan, trust. #just believe me.
Tentang kesibukan di luar KKN, saya sudah menceritakannya kepada teman-teman. Beberapa dari mereka, harap maklum. Namun, lainnya lagi, tentu masih belum sepenuhnya percaya kepada saya. Perihal menjalani aktivitas di dua tempat berbeda, teramat sulit. Kalau saja saya bisa meminjam jurus Naruto, “Kage Bunshin No Jutsu!”
Saya memakluminya sebagai sesuatu yang memang akan berjalan seadanya. Di beberapa kesempatan program kerja, saya tak bisa turut hadir membantu. Di beberapa hang-out bersama, saya tak bisa ikut meramaikan. Di beberapa pertemuan atau rapat, saya tak bisa menimpali. Hh, kebencian itu, mungkin sebentuk transformasi wujud “kerinduan” mereka terhadap salah satu teman KKN di posko. Cara menyampaikannya saja yang salah, kepada saya.
Wajar ketika “hidup” disana, saya lebih banyak bergaul dengan anak-anak tetangga. Mereka anak kecil, lebih menerima orang lain apa adanya. Lebih banyak bercengkerama di depan rumah bersama Pak Haji, ngobrol ngalor-ngidul. Lebih banyak jalan-jalan (sore dan pagi) sendirian. Sekali-kali, saya ditemani anak-anak disana. Berkeliling kompleks, menyaksikan warga bermain volley. Jikalau hendak ke Makassar, saya hanya pamit kepada diri sendiri. Pun, secara tersirat, saya tak lagi (sekaligus enggan) menganggap diri sebagai sekretaris kabupaten. Saya cukup sadar diri.
Betapa saya paham betul rasanya canggung dikucilkan. Ditatapi mata-mata yang penuh keheranan, seolah-olah bertanya,
“Ini siapa? Kok baru muncul?”
Saya seakan teralih dari dunia KKN yang sebenarnya. Obrolan-obrolan ringan yang saya ciptakan, terkadang tersapu angin yang berhembus begitu saja.
Orang lain menganggap, saya tak benar-benar merasakan “nikmat”nya KKN. Namun saya menganggap, saya dibelajarkan untuk dewasa disana.
Mengatasi semua itu, saya melakukan segala hal yang dibutuhkan untuk betul-betul mengabdikan diri disana. Apapun pekerjaan yang diberikan, saya menerimanya dengan legowo. Asalkan tak bertabrakan satu waktu dengan kehidupan dunia pers saya. Segala tugas, dari menjadi ketua panitia, hingga pembicara di depan umum, saya lakoni. Haha…bahkan ketika rombongan Pak Rektor berkunjung ke Pangkep, supervisi KKN, tanpa meminta, saya didaulat menggantikan Koordinator Kabupaten untuk melaporkan KKN di kabupaten kami. Kesempatan yang luar biasa.
"Berjalan di luar zona nyaman lah yang membawa banyak pembelajaran. Perubahan. Kita akan paham arti kata kerja keras. Kita paham bagaimana keajaiban diciptakan. Kita akan paham bahwa dari masalah, harus dijamakkan dengan ‘menyelesaikan’ dan ‘memecahkan’”
Satu-satunya penghiburan adalah di saat saya mengajar di kelas. Entah bagaimana caranya, murid-murid di kelas Aljabar dan Einstein bisa menjadi pengubung rasionalitas dan emosi saya kembali. Saya senang berbagi dengan mereka. Berbagi cerita. Berbagi ilmu. Berbagi kekonyolan. Berbagi tawa. Berbagi olok-olok. Berbagi gosip. Hingga berbagi rindu.
Untuk pertama kalinya pula, saya disadarkan tentang arti menyayangi oleh mereka. Saya dicerabut dari rasionalitas saya. Meskipun sekadar olok-olok, namun hal itulah yang menjadi benih sesuatu berlabel perasaan yang tumbuh hingga kini. Bahkan menjadi sedikit pemantik untuk tetap berjuang di garis batas “sinisme” saya di lokasi. Haha… :D. Sudahlah. -_-"
Saya pikir, KKN bukan lagi soal kita menikmatinya atau tidak. Sepenuhnya menikmati waktu-waktu santai disana. Tidak. Tapi, KKN justru tentang belajar mandiri, jauh dari keluarga, dan paham tentang masalah. Setiap mahasiswa diterjunkan sebaiknya tidak hanya sekadar KKN = Kuliah Kerja Nyangkul. Sejatinya, mereka harus menemukan sendiri, sesuatu yang tersirat akan pengalaman mereka di tanah orang. Kalau bisa, menjadi orang yang selalu dinantikan kehadirannya.
Rentang dua-tiga bulan menjalani masa pengabdian itu, saya melebur dengan teman-teman lainnya. Masing-masing sudah mengenal satu sama lain. Dan ketika perkenalan itu tidak hanya sebatas pandangan mata saja, pengertian yang lebih dalam akan terjalin, hingga merupa menjadi sosok perhatian. Akh, sejujurnya, saya pernah merasakannya.
Nah, seberat-beratnya SKS tanggungan mata kuliah KKN, ada prioritas yang mesti dijalani. Sebahagia-bahagianya anak-anak KKN zaman sekarang, saya hanya bisa melakukan perjalanan ke masa lampau dengan memory di kepala. Menyusuri lorong ingatan itu, sudah cukup memberikan seulas senyum di bibir saya. Untungnya, pipi tak ikut bersemu merah…
Ps: pagi masih terasa ketika saya melihat status unduhan “99 Cahaya di Langit Eropa” di layar laptop; Completed. Satunya lagi masih dalam proses mengunduh. Ready to watching!
Akhirnya, bisa bertahan juga hingga matahari terbit, yang serupa menawarkan kerinduannya. Hm, sudah beberapa kali saya kecolongan tidur di waktu seperti ini, dan melalaikan “pagi”. Ck…saban puasa ini, pengaruh tidur selepas Subuh selalu saja menyerang. Tak pandang bulu. Tua muda. Laki-laki perempuan. Benar loh. Bahkan perempuan yang biasanya bangun lebih pagi (dan lebih mudah) dari para lelaki, ikut terbuai dengan pesona lelap pagi. #tepok jidat
Padahal, saya merindukan pagi-pagi di bulan Ramadhan seperti ini. Saya rindu dengan jalan-jalannya. Saya rindu menghirup udaranya. Saya rindu dengan suasananya. Saya rindu mendapati anak-anak kecil, di depan rumah Pak Haji (sekaligus anak-anak tetangganya), yang sudah menunggu pagi-pagi hendak diajak jalan-jalan. Saya rindu dengan duduk-duduk, menanti pagi di loteng rumah Pak Haji, di atas menara penampungan airnya. Menyaksikan cakrawala di pelupuk atap rumah penduduk, yang gelap-menjingga-memerah-memudar-menerang hingga mencercah benderang. Sesekali mencuri pandang ke arah rumah di sebelah selatan yang hanya berjarak sepelemparan batu. Saya. Merindu…
Inilah keisengan kami lepas KKN. Entah siapa yang memulainya, tapi semuanya kena. Dan itu... awesome! *Satu- satunya posko yang almamaternya dijadikan ladang tanda tangan. :D |
“Apa yang dikerja kalau KKN?” seorang teman pernah bertanya. Antusias sekali.
Banyak.
Versi Ramadhan:
- Menanti berbuka puasa, ngabuburit ke tempat-tempat baru. Semakin jauh, semakin menarik
- Berbuka puasa rame-rame
- Main kartu
- Shalat Isya berjamaah dan tarawih di masjid lokal
- Main kartu, atau ngumpul sama teman-teman posko
- Tidur
- Sahur rame-rame
- *back to: 1
- *Bonus: Rapat seadanya - Kegiatan Ramadhan (seadanya) untuk warga sekitar; lomba dan sejenisnya – Pesantren Kilat di sekolah
Versi non-Ramadhan:
- Makan
- Tidur
- Hang-out di tempat-tempat baru. Semakin jauh, semakin menarik
- *back to: 1
- Bonus: Rapat seadanya – Menjalankan program kerja KKN (seadanya)
Bahkan ada anekdot yang berkembang bahwa KKN itu sejatinya ajang mencari jodoh. Banyak pasangan-pasangan hidup yang berumah tangga awalnya dari petualangannya di masa-masa KKN. Hm…bagi saya, antara percaya dan tidak. Antara ada dan tiada. Itu saja.
Banyak hal yang telah saya lalui dalam menjalani masa pengabdian di tanah orang. Termasuk bagi orang-orang yang selalu ingin belajar. Sejatinya, tempat-tempat baru memang menawarkan banyak pengalaman baru. Saya takkan pernah menepisnya, jikalau di tanah orang itu saya pernah mendapatkan banyak pengalaman berharga. Bahkan, hingga kini, satu bagian dari saya masih tetap menengok ke tanah pengabdian itu.
Saya ingat…
Betapa “bandel”nya saya di KKN dulu, Pangkep. Bayangkan, saya baru tiba di lokasi KKN lepas seminggu pemberangkatan awal. Pun, setibanya disana, tidak berselang seminggu, saya kembali lagi ke Makassar. Tidak berselang seminggu, saya tiba lagi di Pangkep. Tidak sampai seminggu lagi, saya ke Makassar. Bolak-balik itu, menjadi agenda mingguan saya hingga KKN usai. Padahal, jabatan saya kala itu adalah sekretaris Kabupaten. Ckck..
Akh, se”bandel-bandel”nya saya, Tuhan masih tahu bagaimana menciptakan keajaiban bagi manusia yang mau bekerja keras. Dikarenakan seminggu awal kehadiran di posko saya belum menampakkan batang hidung, teman¬-teman nyaris mencoret nama “Imam Rahmanto” dari daftar peserta KKN. Katanya sih, di waktu kunjungan (survei) ke sekolah tempat mengajar kami, SMAN 2, yang kelak selalu menjadi tempat saya “kembali”. Beruntung, teman lainnya mencegah dengan persetujuan dari dosen pembimbing pula.
Oh iya, dua kali dosen pembimbing hadir memantau di lokasi KKN, saya juga tak pernah hadir. Dosen saya itu, salah seorang dosen di jurusan Matematika dan cukup mengenal saya, (dengan aktivitas pers kampus yang saya geluti). Duh, betapa sialnya.
Karena begitu “bandel”nya, saya pernah menerima pesan singkat dari teman posko, koodinator, yang cukup membuat saya terperanjat dan agak dongkol. Pada dasarnya mereka larut dalam ketidaktahuannya tentang apa yang saya lakoni, di luar KKN.
“Pilih Profesi atau KKN?”
Betapa menyakitkannya ketika orang-orang hanya mengadili kita dari sudut mata apa yang nampak saja. Mereka tak pernah tahu apa yang terjadi di belakang layar. Mungkin, karena ketidaktahuan itu, mereka tak ingin turut merasakannya. Sungguh. Orang-orang takut, karena tidak tahu.
“Saya memilih keduanya. Namun, jika saya benar-benar diharuskan memilih keduanya, saya akan memilih Profesi, ketimbang memilih sesuatu yang belum jelas bagi saya. Sesuatu yang bahkan untuk mengenal saya pun, enggan. Disini, saya justru dekat, dan kalau boleh dibilang, lebih menjanjikan.”
“Tapi, ketika saya benar-benar harus memilih, saya akan tetap menjalani kuliah saya itu. Terserah apa penilaian kalian. Tak peduli seberapa banyak kalian akan mengucilkan saya. Tak peduli seberapa sinis pandangan kalian terhadap saya. Saya tak peduli. Saya akan tetap menjalankannya, sebisa mungkin, hingga berakhir.”
Entah seperti apa perasaan teman saya ketika menerima pesan "menantang" demikian. Saya benar-benar “memuncak” kala itu, dan tak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Usai menjalankan kewajiban (pers kampus) di Makassar, saya kembali dengan perasaan “masa bodoh”, dan tentu saja tetap “tangan terbuka” berusaha menarik persahabatan dengan mereka, yang tidak percaya. Segala hal yang paling saya butuhkan, trust. #just believe me.
Tentang kesibukan di luar KKN, saya sudah menceritakannya kepada teman-teman. Beberapa dari mereka, harap maklum. Namun, lainnya lagi, tentu masih belum sepenuhnya percaya kepada saya. Perihal menjalani aktivitas di dua tempat berbeda, teramat sulit. Kalau saja saya bisa meminjam jurus Naruto, “Kage Bunshin No Jutsu!”
Saya memakluminya sebagai sesuatu yang memang akan berjalan seadanya. Di beberapa kesempatan program kerja, saya tak bisa turut hadir membantu. Di beberapa hang-out bersama, saya tak bisa ikut meramaikan. Di beberapa pertemuan atau rapat, saya tak bisa menimpali. Hh, kebencian itu, mungkin sebentuk transformasi wujud “kerinduan” mereka terhadap salah satu teman KKN di posko. Cara menyampaikannya saja yang salah, kepada saya.
Wajar ketika “hidup” disana, saya lebih banyak bergaul dengan anak-anak tetangga. Mereka anak kecil, lebih menerima orang lain apa adanya. Lebih banyak bercengkerama di depan rumah bersama Pak Haji, ngobrol ngalor-ngidul. Lebih banyak jalan-jalan (sore dan pagi) sendirian. Sekali-kali, saya ditemani anak-anak disana. Berkeliling kompleks, menyaksikan warga bermain volley. Jikalau hendak ke Makassar, saya hanya pamit kepada diri sendiri. Pun, secara tersirat, saya tak lagi (sekaligus enggan) menganggap diri sebagai sekretaris kabupaten. Saya cukup sadar diri.
Betapa saya paham betul rasanya canggung dikucilkan. Ditatapi mata-mata yang penuh keheranan, seolah-olah bertanya,
“Ini siapa? Kok baru muncul?”
Selamat datang rombongan rektor. :) (dok.) |
Orang lain menganggap, saya tak benar-benar merasakan “nikmat”nya KKN. Namun saya menganggap, saya dibelajarkan untuk dewasa disana.
"Berjalan di luar zona nyaman lah yang membawa banyak pembelajaran. Perubahan. Kita akan paham arti kata kerja keras. Kita paham bagaimana keajaiban diciptakan. Kita akan paham bahwa dari masalah, harus dijamakkan dengan ‘menyelesaikan’ dan ‘memecahkan’”
Tempat saya tertawa lepas. Lihat saja, sandalnya keren. #ehh. Patut dicontoh. -__-". (dok.) |
Satu-satunya penghiburan adalah di saat saya mengajar di kelas. Entah bagaimana caranya, murid-murid di kelas Aljabar dan Einstein bisa menjadi pengubung rasionalitas dan emosi saya kembali. Saya senang berbagi dengan mereka. Berbagi cerita. Berbagi ilmu. Berbagi kekonyolan. Berbagi tawa. Berbagi olok-olok. Berbagi gosip. Hingga berbagi rindu.
Untuk pertama kalinya pula, saya disadarkan tentang arti menyayangi oleh mereka. Saya dicerabut dari rasionalitas saya. Meskipun sekadar olok-olok, namun hal itulah yang menjadi benih sesuatu berlabel perasaan yang tumbuh hingga kini. Bahkan menjadi sedikit pemantik untuk tetap berjuang di garis batas “sinisme” saya di lokasi. Haha… :D. Sudahlah. -_-"
Saya pikir, KKN bukan lagi soal kita menikmatinya atau tidak. Sepenuhnya menikmati waktu-waktu santai disana. Tidak. Tapi, KKN justru tentang belajar mandiri, jauh dari keluarga, dan paham tentang masalah. Setiap mahasiswa diterjunkan sebaiknya tidak hanya sekadar KKN = Kuliah Kerja Nyangkul. Sejatinya, mereka harus menemukan sendiri, sesuatu yang tersirat akan pengalaman mereka di tanah orang. Kalau bisa, menjadi orang yang selalu dinantikan kehadirannya.
Rentang dua-tiga bulan menjalani masa pengabdian itu, saya melebur dengan teman-teman lainnya. Masing-masing sudah mengenal satu sama lain. Dan ketika perkenalan itu tidak hanya sebatas pandangan mata saja, pengertian yang lebih dalam akan terjalin, hingga merupa menjadi sosok perhatian. Akh, sejujurnya, saya pernah merasakannya.
Nah, seberat-beratnya SKS tanggungan mata kuliah KKN, ada prioritas yang mesti dijalani. Sebahagia-bahagianya anak-anak KKN zaman sekarang, saya hanya bisa melakukan perjalanan ke masa lampau dengan memory di kepala. Menyusuri lorong ingatan itu, sudah cukup memberikan seulas senyum di bibir saya. Untungnya, pipi tak ikut bersemu merah…
Inilah kami. Menyebut diri dengan label "Doank". Apa adanya, di tahun kemarin. Just to remember it... (dok.) |
--Imam Rahmanto--
Ps: pagi masih terasa ketika saya melihat status unduhan “99 Cahaya di Langit Eropa” di layar laptop; Completed. Satunya lagi masih dalam proses mengunduh. Ready to watching!
0 comments