15# Euforia Juli

Juli 15, 2014

Baca Juga

Piala Dunia 2014 baru saja berakhir. Nyaris bersamaan dengan suksesi Pemilihan Umum Presiden republik kita tercinta. Yah, beruntung juga kedua momen besar itu segera berakhir. Bagaimana tidak, saban hari di jejaring sosial, terlihat orang-orang saling menghujat, saling mengunggulkan andalan masing-masing, saling lempar perdebatan, baik Piala Dunia maupun "Piala Presiden". Semua orang seakan-akan menjadi "full-mainstream". Ada juga tuh orang-orang yang jadi "komentator dadakan", ujug-ujug punya idola meskipun tak tahu latar belakangnya. Asalkan ikut rame-rame, katanya.

Saya bukanlah orang yang termasuk dalam golongan mainstream itu. Saya justru lebih suka jadi anti--mainstream. Yah, saya kerap kali tidak menyukai hal-hal yang disukai banyak orang. Aneh ya? It's me. Sama halnya dengan perkara "menyukai". Kalau ada seorang perempuan yang banyak ditaksir lelaki, saya cenderung lebih suka menjauh dan memilih untuk "tidak menyukainya". #ehh

Di kala orang-orang ramai berkicau, berganti status terkait Piala Dunia, saya justru tidak menikmatinya. Di kala orang ramai-ramai menonton tivi hanya demi menyaksikan tim andalannya berlaga, saya justru lebih asik menontoninya lewat twitter atau facebook. Kalau Google+ belum seramai itu. Sesekali kalau lagi bosan, saya menjelajah musik-musik keren di soundcloud.

Ditanya terkait tim andalan di piala dunia, maka hanya bisa menjawab seadanya saja. Yang terpikir hanya tim andalan yang biasanya saya pakai di game Play Station. "Inggris, Brasil, atau Argentina?" Dulu mah zaman-zamannya massih ada Crespo. Ditanya klub, pikiran saya juga menerawang hal yang sama. "Chelsea, Arsenal, atau Juventus". Tapi, Juventus nampaknya sudah mulai aus deh. Saya dulu masih semangat-semangatnya dengan Del Piero. Hahaha... sudah lama be-ge-te ya ingatan saya.

Kemarin, pas pertandingan final Piala Dunia, rencananya mau ikut menyaksikan laga terakhir antara Argentina dan Jerman. Kapan lagi coba.

"Ayo, Kak, nonton laga terakhir. Kapan lagi bisa nonton pertandingan piala dunia yang cuma sekali dalam 4 tahun. Lama loh ditunggunya," ajak salah seorang rekan saya. Mendengarnya, saya hanya senyum tak jelas.

Tapi, dorongan menonton itu ternyata tak cukup kuat. Saya justru menikmati browsing-browsing saya. Ya sudahlah. Hasil akhir pertandingan pun saya ketahui dari berita-berita online dan status-status online di dunia maya.


Berakhirnya Piala Dunia dan Pilpres, masih disambut dengan permasalahan saudara muslim kita di Palestina. Di ujung negeri sana, mereka sedang berjuang membebaskan diri dari "penjajahan" Israel. Orang-orang ramai membagikan gambar atau foto yang menyajikan kebiadaban bangsa Israel di jejaring sosial. Gambar-gambar itu.... membuat ngeri, jijik, hingga rasa simpati bercampur sekaligus. Yang saya herankan pula, masih banyak pula yang memberikan "LIKE" atas postingan itu?

Semalang-malangnya nasib bangsa saudara kita di Palestina, tidak seharusnya dikonfrontasikan dengan cara demikian. Menarik simpati dan empati orang lain tidak semestinya dengan membagikan gambar-gambar seperti itu? Saya justru menarik hipotesis, mereka yang membagikan postingan demikian justru orang-orang yang tak mengenal rasa kemanusiaan. Seenaknya saja memperlihatkan foto-foto dengan wajah tertembak, batok kepala pecah, usus terburai, kaki patah dan berdarah, puluhan jejer anak-anak yang mati. Apa mereka sendiri tidak tahu etika ya?? Pun, ini sedang bulan Ramadhan...

Di dunia tempat saya bergelut, jurnalistik, menyebarkan foto atau berita pun ada etikanya. Foto-foto yang mengerikan, yang hanya akan mengundang rasa ngeri (apalagi untuk anak-anak dan wanita) tidak akan ditampilkan. Yah, tidak akan ditampilkan, tidak peduli betapa menggugahnya kengerian itu. Bahkan, bagi kami, berita-berita yang bisa menimbulkan perdebatan dan konflik SARA amat dilarang untuk diterbitkan.

Kita semestinya tahu, semalang dan sesusah apapun bangsa Palestina, mereka tak pernah ingin merasa dikasihani. Orang-orang muslim yang kuat, tak pernah berharap belas kasihan orang lain. Namun kita, sebagai saudara semuslim, memang wajib membantu, meski tanpa diminta, meski tanpa perlu didorong dengan kengerian-kengerian itu.

Saya miris, apa memang bangsa kita memang begitu gemar menyebarkan foto-foto demikian ya? Selain gemar memamerkan foto-foto terbaiknya. Tidak hanya tentang Palestina. Di momen kampanye capres yang lalu, saya juga banyak menemukan foto-foto yang menimbulkan fitnah. Beberapa diantaranya malah terkesan memojokkan. Jauh di dalam hati, saya berpikir tentang konspirasi-konspirasi yang sebenarnya sedang berlangsung menyelubungi kita. Entahlah.

Daripada menyebarkan foto-foto yang terkesan hoax, akan lebih baik jika mereka yang memang berniat membantu, segera turun tangan. Ya, bisa pula dengan turun ke jalan, berorasi, menyerukan kebenaran. Jangan hanya sibuk browsing gambar sana-sini, share, dengan ditambahi kalimat-kalimat menggugah. Tahu tidak, justru tanpa gambar sekalipun, tulisan yang baik dan layak bisa menggugah orang lain, tanpa diminta.

"Ketika kita memang mencintai, kita dengan sukarela memberi, tanpa diminta. Apapun resikonya..."

***

Akh, saya lagi-lagi teringat dengan "tugas akhir" saya sebagai mahasiswa. Sampai saat ini, saya belum mengubeknya. Meskipun judul dan pembimbing telah di-accepted, namun proses untuk mulai menuliskan "latar belakang", "rumusan masalah", "tujuan", "landasan teori", dan semacamnya belum terlaksana. Hm...nampaknya pekerjaan memulai memang pekerjaan yang paling sulit.

"Ada yang bisa saya bantu untuk proposalnya?" beberapa permintaan serupa berulang menyambangi saya. Dorongan lainnya untuk menyegerakan proposal. Ada beberapa teman (baca: adik jurusan) yang selalu men-support untuk menyelesaikan studi. Mungkin saking bosannya melihat muka saya ya? Hahaha...

Saya sangat menghargai beberapa bantuan yang hendak ditawarkan teman-teman saya itu. Akan tetapi, saya tidak bisa menyorongkan begitu saja hal-hhal yang masih bisa saya tangani. Persoalannya hanya karena saya "belum-sempat" atau "tak-punya-waktu" atau "tak-bisa-bagi-waktu". Miris. Terkadang, pekerjaan, sesederhana apapun itu, bisa menyita waktu sebanyak (yang disengaja).

Oke, oke, secepatnya saya akan mengurusi kewajiban (mahasiswa) yang terbengkalai itu. Baiklah.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments