Mari Pulang
Juli 25, 2014Baca Juga
*beberapa jam sebelum mulai meninggalkan kota menuju kampung halaman domisili kedua orang tua saya.
Sepi. Redaksi yang menjadi tempat saya bernaung telah ditinggalkan para penghuninya. Satu per satu, sejak kemarin, mereka pamit pulang ke kampung halamannya masing-masing. Sebentar lagi lebaran. Tak nyaman rasanya bila di hari raya yang sekali setahun itu tidak berkumpul bersama keluarga tercinta.
Saya pun demikian…
Saya akhirnya merindukan rumah. Merindukan keluarga. Merindukan semuanya. Setiap kali menyaksikan iklan-iklan lebaran di televisi, entah kenapa saya terbawa auranya. Betapa membahagiakannya bisa berkumpul dengan keluarga besar; ayah, ibu, saudara, paman, tante, kakek, nenek sembari mencicip sajian hari raya. Tapi itu mustahil. Kami tak punya kemampuan untuk pulang ke kampung halaman ayah dan ibu di Jawa.
Tahun kemarin, saya justru melewatkan dua perayaan lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha) di kampung. Saya tak pulang. Saya menyengajainya. Bahkan untuk menelepon keluarga pun tidak. Beberapa sms dan panggilan telepon menghiasi waktu-waktu lebaran saya di kota. Ada sms makian, telepon dari nomor-nomor tak dikenal (yang saya abaikan saja), hingga permintaan untuk “kembali” pulang.
Beberapa hal yang dilalui memang patut dijadikan pelajaran, tidak sekadar kenangan indah atau pahit.
Tiga hari lagi jelang lebaran, esok lusa, saya akan pulang…
Saya tak ingin melewatkan perayaan Idul Fitri kali ini. Saya pulang demi menepikan ego. Saya pulang menepis segala ketakpercayaan ayah. Adik saya, selalu menanti kepulangan kakaknya, meski tak menghadiahkannya apa-apa. Ia hanya mengharap seulas senyum dan sdikit perkataan menyebalkan dari kakaknya. Ibu pula yang selalu memiliki segudang harapan untuk anaknya tercinta. Seorang ibu yang tak mempelajari ilmu di sekolah, tapi ia tahu menyekolahkan anaknya lewat sekolah kehidupan.
Menjadi seorang ibu, bukan tentang seberapa banyak pendidikan atau ilmu yang didalaminya. Perasaan dan jiwa anaknya, secara tak langsung, khatam dipelajarinya lewat kandungan yang memberat 9 bulan lamanya. Menjadi seorang ibu, adalah tentang menyayangi dan mengerti anaknya hingga tulang sumsum terakhir.
Ego apapun tentang “aku” yang ada pada diri saya, kini, harus diruntuhkan untuk sementara waktu. Entah sampai kapan. Ayah masih belum bisa berlaku apa-apa. Penyakit yang telah menggerogoti saraf dan pergerakannya setahun lalu tak kunjung mereda. Biarlah, saya mengikuti arus keinginan ayah dan ibu, sembari tetap menyelipkan selembar doa dan harapan di dalamnya.
Namun, kalau saya mengingat-ingat, di Ramadan yang nyaris berlalu ini, satu Al Quran pun luput untuk saya tamatkan. Semangat saya mandek hanya pada juz 11. Padahal, saya betapa berharapnya kembali mengulas masa sekolah saya dengan mengkhatamkannya. Dan lagi, shalat tarawih pun masih cenderung bolong-bolong. Apa, seperti ini, Tuhan akan menamatkan permintaan saya? Semoga...
Saya tetap pulang.
Saya tak peduli lagi dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang akan menimpa saya disana. Saya tak perlu malu lagi bertemu dengan teman-teman lama yang kini sudah “menganggur”. Toh, sekarang saya memang belum menyelesaikan studi, tapi setidaknya saya telah bekerja pula. Atau saya juga tak perlu malu bertemu dengan teman-teman yang sudah berpasangan hingga berkeluarga. Saya pernah bertemu dengan orang yang saya anggap tepat, namun yang justru tak menganggap saya tepat.
Apa kerinduan ini mencekam?
Tidak. Saya hanya ingin berkumpul dengan keluarga di hari yang fitri. Sungkem dengan orang tua yang pernah saya tinggalkan. Menghapus titik hitam yang pernah saya torehkan. Apa yang diharapkannya masih belum bisa tercapai hingga kini. Setidaknya, saya telah berusaha dan tak lagi ingin memberatkannya. Karena kerinduan yang mencekam, adalah kerinduan yang tak terbatas dan tak berbalas.
*Maafkanlah diri di hari yang fitri…
Sepi. Redaksi yang menjadi tempat saya bernaung telah ditinggalkan para penghuninya. Satu per satu, sejak kemarin, mereka pamit pulang ke kampung halamannya masing-masing. Sebentar lagi lebaran. Tak nyaman rasanya bila di hari raya yang sekali setahun itu tidak berkumpul bersama keluarga tercinta.
Saya pun demikian…
Saya akhirnya merindukan rumah. Merindukan keluarga. Merindukan semuanya. Setiap kali menyaksikan iklan-iklan lebaran di televisi, entah kenapa saya terbawa auranya. Betapa membahagiakannya bisa berkumpul dengan keluarga besar; ayah, ibu, saudara, paman, tante, kakek, nenek sembari mencicip sajian hari raya. Tapi itu mustahil. Kami tak punya kemampuan untuk pulang ke kampung halaman ayah dan ibu di Jawa.
Tahun kemarin, saya justru melewatkan dua perayaan lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha) di kampung. Saya tak pulang. Saya menyengajainya. Bahkan untuk menelepon keluarga pun tidak. Beberapa sms dan panggilan telepon menghiasi waktu-waktu lebaran saya di kota. Ada sms makian, telepon dari nomor-nomor tak dikenal (yang saya abaikan saja), hingga permintaan untuk “kembali” pulang.
Beberapa hal yang dilalui memang patut dijadikan pelajaran, tidak sekadar kenangan indah atau pahit.
Sumber: google.com |
Tiga hari lagi jelang lebaran, esok lusa, saya akan pulang…
Saya tak ingin melewatkan perayaan Idul Fitri kali ini. Saya pulang demi menepikan ego. Saya pulang menepis segala ketakpercayaan ayah. Adik saya, selalu menanti kepulangan kakaknya, meski tak menghadiahkannya apa-apa. Ia hanya mengharap seulas senyum dan sdikit perkataan menyebalkan dari kakaknya. Ibu pula yang selalu memiliki segudang harapan untuk anaknya tercinta. Seorang ibu yang tak mempelajari ilmu di sekolah, tapi ia tahu menyekolahkan anaknya lewat sekolah kehidupan.
Menjadi seorang ibu, bukan tentang seberapa banyak pendidikan atau ilmu yang didalaminya. Perasaan dan jiwa anaknya, secara tak langsung, khatam dipelajarinya lewat kandungan yang memberat 9 bulan lamanya. Menjadi seorang ibu, adalah tentang menyayangi dan mengerti anaknya hingga tulang sumsum terakhir.
Ego apapun tentang “aku” yang ada pada diri saya, kini, harus diruntuhkan untuk sementara waktu. Entah sampai kapan. Ayah masih belum bisa berlaku apa-apa. Penyakit yang telah menggerogoti saraf dan pergerakannya setahun lalu tak kunjung mereda. Biarlah, saya mengikuti arus keinginan ayah dan ibu, sembari tetap menyelipkan selembar doa dan harapan di dalamnya.
Namun, kalau saya mengingat-ingat, di Ramadan yang nyaris berlalu ini, satu Al Quran pun luput untuk saya tamatkan. Semangat saya mandek hanya pada juz 11. Padahal, saya betapa berharapnya kembali mengulas masa sekolah saya dengan mengkhatamkannya. Dan lagi, shalat tarawih pun masih cenderung bolong-bolong. Apa, seperti ini, Tuhan akan menamatkan permintaan saya? Semoga...
Saya tetap pulang.
Saya tak peduli lagi dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang akan menimpa saya disana. Saya tak perlu malu lagi bertemu dengan teman-teman lama yang kini sudah “menganggur”. Toh, sekarang saya memang belum menyelesaikan studi, tapi setidaknya saya telah bekerja pula. Atau saya juga tak perlu malu bertemu dengan teman-teman yang sudah berpasangan hingga berkeluarga. Saya pernah bertemu dengan orang yang saya anggap tepat, namun yang justru tak menganggap saya tepat.
Apa kerinduan ini mencekam?
Tidak. Saya hanya ingin berkumpul dengan keluarga di hari yang fitri. Sungkem dengan orang tua yang pernah saya tinggalkan. Menghapus titik hitam yang pernah saya torehkan. Apa yang diharapkannya masih belum bisa tercapai hingga kini. Setidaknya, saya telah berusaha dan tak lagi ingin memberatkannya. Karena kerinduan yang mencekam, adalah kerinduan yang tak terbatas dan tak berbalas.
*Maafkanlah diri di hari yang fitri…
--Imam Rahmanto--
0 comments