Usai melangsungkan ujian seminar proposal, ada jeda yang berlangsung dalam proses studi akhir. Pikiran dan perasaan menyatu mendorong kata: rehat. Saya jadi terlalu pongah hanya gara-gara baru menyelesaikan tahap pertama itu. Sementara abai terhadap tahap berikutnya, yang katanya, jauh lebih sulit dan kerap membuat ingin “berhenti” cukup lama.
Ck…saya harus mencerabut lagi kebiasaan lama saya yang mulai tumbuh perlahan: menunda-nunda.
Masa-masa rehat saya juga didukung dengan “kebetulan” luar biasa. Mengingat kota kami sedang berada dalam taraf ricuh luar biasa akibat kenaikan harga BBM. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Mahasiswa bergerak demi rakyat, katanya. Tak pelak, saking seringnya berakhir onar, maka pengamanan besar-besaran dikerahkan. Polisi dan TNI. Begitulah rupa kota kami, yang mendapat julukan kota demontrasi, pelopor gerakan-gerakan mahasiswa.
Hampir semua kampus diliburkan dalam rentang dua minggu belakangan, tak terkecuali kampus saya. Karena libur, saya makin terlena tak melakukan apa-apa. Bagaimana tidak, kampus begitu ketat ditutup untuk kehidupan-kehidupan sebagaimana biasanya. Pagar dan aparat berdampingan. Setiap mahasiswa yang hendak melintas masuk, harus berakhir dengan tanya ini-itu. Apa pula?
Tak perlu saya ceritakan bagaimana kronologis aksi-aksi demonstrasi yang senantiasa merentang di kota kami. Silakan ketikkan saja kata kunci kota kami di kolom pencarian dunia maya, maka banyak ditemukan referensi dari media-media lokal hingga nasional. Pagi ini, bahkan, media massa lokal menerbitkan hadline tentang kerusuhan (demonstrasi) di kampus swasta kota kami. Benar-benar rusuh. Parahnya, untuk kedua kalinya, setelah kampus kami, aparat main nyelonong saja masuk ke kampus sana. Menyisir. Membekap. Memukuli. Duh, ini bukan lagi aparat, tapi keparat! Bayangkan saja, masjid pun dilempari gas air mata!
Aduh, saya terbawa emosi. Saya tak bermaksud membahas kerusuhan di kota kami. Tapi, khusus di kampus saya, aktivitas perkuliahan telah dimulai kembali hari ini.
Dua hari yang lalu, berturut-turut, kampus kami menghelat seremonial penamatan mahasiswa. Entah mengapa, kepala saya kok suka berdenyut-denyut ya melihat teman-teman lain di-wi-su-da? Ini hanya majas metafora saja sih. Meskipun pada kenyataannya, saya benar-benar diburu waktu agar bisa menyelesaikan studi tepat waktu. Ada banyak hal yang ingin saya capai setamat kuliah ini. Harus!
Perihal tenggat pribadi, saya sendiri merumuskannya di akhir tahun nanti. Jadi, di bulan Desember mendatang, saya telah memperoleh gelar “di atas kertas” yang diidam-idamkan banyak orang itu. Tak peduli jika saya mesti menantikan seremoni penamatannya (baca: wisuda) di bulan tiga atau empat mendatang. Di sela-sela saya menunggu itu, saya akan mempunyai pekerjaan selayaknya. Hingga kelak melalui seremoni penamatan itu, saya tak punya waktu sekadar menyematkan diri pada kata “pengangguran”.
Saya (memaksa) yakin pada diri sendiri. Segala target yang ditetapkan harus ditepatkan. Kalaupun tak, setidaknya saya telah meniatkan berbuat baik dengan rencana-rencana itu. Sebagaimana prinsip, apa yang telah saya mulai harus saya selesaikan.
NB: Di tengah berondongan teman-teman “pembimbing” yang menanyakan kabar-kabar perkembangan skripsi, saya baru memulainya lagi malam ini. Asli, baru mengacak-acak proposal penelitian beserta instrumennya. Padahal besok hari libur kampus, ya? Sudahlah, setidaknya saya hanya ingin membuang perasaan “menunda-nunda” saya.
Ck…saya harus mencerabut lagi kebiasaan lama saya yang mulai tumbuh perlahan: menunda-nunda.
Masa-masa rehat saya juga didukung dengan “kebetulan” luar biasa. Mengingat kota kami sedang berada dalam taraf ricuh luar biasa akibat kenaikan harga BBM. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Mahasiswa bergerak demi rakyat, katanya. Tak pelak, saking seringnya berakhir onar, maka pengamanan besar-besaran dikerahkan. Polisi dan TNI. Begitulah rupa kota kami, yang mendapat julukan kota demontrasi, pelopor gerakan-gerakan mahasiswa.
Hampir semua kampus diliburkan dalam rentang dua minggu belakangan, tak terkecuali kampus saya. Karena libur, saya makin terlena tak melakukan apa-apa. Bagaimana tidak, kampus begitu ketat ditutup untuk kehidupan-kehidupan sebagaimana biasanya. Pagar dan aparat berdampingan. Setiap mahasiswa yang hendak melintas masuk, harus berakhir dengan tanya ini-itu. Apa pula?
Tak perlu saya ceritakan bagaimana kronologis aksi-aksi demonstrasi yang senantiasa merentang di kota kami. Silakan ketikkan saja kata kunci kota kami di kolom pencarian dunia maya, maka banyak ditemukan referensi dari media-media lokal hingga nasional. Pagi ini, bahkan, media massa lokal menerbitkan hadline tentang kerusuhan (demonstrasi) di kampus swasta kota kami. Benar-benar rusuh. Parahnya, untuk kedua kalinya, setelah kampus kami, aparat main nyelonong saja masuk ke kampus sana. Menyisir. Membekap. Memukuli. Duh, ini bukan lagi aparat, tapi keparat! Bayangkan saja, masjid pun dilempari gas air mata!
Aduh, saya terbawa emosi. Saya tak bermaksud membahas kerusuhan di kota kami. Tapi, khusus di kampus saya, aktivitas perkuliahan telah dimulai kembali hari ini.
Dua hari yang lalu, berturut-turut, kampus kami menghelat seremonial penamatan mahasiswa. Entah mengapa, kepala saya kok suka berdenyut-denyut ya melihat teman-teman lain di-wi-su-da? Ini hanya majas metafora saja sih. Meskipun pada kenyataannya, saya benar-benar diburu waktu agar bisa menyelesaikan studi tepat waktu. Ada banyak hal yang ingin saya capai setamat kuliah ini. Harus!
Perihal tenggat pribadi, saya sendiri merumuskannya di akhir tahun nanti. Jadi, di bulan Desember mendatang, saya telah memperoleh gelar “di atas kertas” yang diidam-idamkan banyak orang itu. Tak peduli jika saya mesti menantikan seremoni penamatannya (baca: wisuda) di bulan tiga atau empat mendatang. Di sela-sela saya menunggu itu, saya akan mempunyai pekerjaan selayaknya. Hingga kelak melalui seremoni penamatan itu, saya tak punya waktu sekadar menyematkan diri pada kata “pengangguran”.
“Seperti halnya pindah rumah. Sebelum memindahkan barang dan perabotan, terlebih dahulu kita harus menemukan rumah baru. Kalau sudah dapat, barulah barangnya dipindahkan semua. Kalau belum dapat,, ya disimpan saja dulu di rumah, sembari mencari-cari rumah yang dianggap tepat.”
Saya (memaksa) yakin pada diri sendiri. Segala target yang ditetapkan harus ditepatkan. Kalaupun tak, setidaknya saya telah meniatkan berbuat baik dengan rencana-rencana itu. Sebagaimana prinsip, apa yang telah saya mulai harus saya selesaikan.
--Imam Rahmanto--
NB: Di tengah berondongan teman-teman “pembimbing” yang menanyakan kabar-kabar perkembangan skripsi, saya baru memulainya lagi malam ini. Asli, baru mengacak-acak proposal penelitian beserta instrumennya. Padahal besok hari libur kampus, ya? Sudahlah, setidaknya saya hanya ingin membuang perasaan “menunda-nunda” saya.
- November 29, 2014
- 0 Comments