7 Hal yang Nyaman Saya Kerjakan dengan Segelas Cappuccino
November 23, 2014Baca Juga
Setiap orang punya minuman (pendamping hidup) masing-masing. Ada kalanya minuman itu dikonsumsi untuk meningkatkan daya konsentrasi maupun sekadar pengisi waktu luang. Selayaknya suplemen, ia juga bisa jadi obat mujarab bagi orang-orang yang sudah merasainya sebagai candu.
“Dalam sehari, ada berapa kali menenggaknya?”
Itu pertanyaan paling dasar yang kerap dilontarkan atas kebiasaan saya berdampingan dengan cappuccino. Tak perlu heran. “Rumah” ini pun dibuat karena proporsi kebiasaan saya yang hampir menyamai kebiasaan para perokok. Tapi, maaf, saya bukan perokok, demi masa depan anak-istri saya kelak. Saya tak bisa memastikan berapa kali dalam sehari menikmati minuman berkafein itu. Saya hanya tahu, ketika saya membutuhkannya, saya akan merasainya. Tegukan demi tegukan.
Saking seringnya menyeduh sachet-an, saya jadi peka membedakan rasa antara merek-merek dagang yang beredar di pasaran. Sebut saja Go****y, Tor****a, Nes***e, atau Ind****e. Saya juga bisa dengan mudah mengetahui, kebanyakan cappuccino di warung-warung kopi (warkop) hanya oplosan yang ditambahi susu kental manis. Sungguh berbeda dengan campuran espresso sebenarnya.
Jangan pernah berpikir bahwa saya mencandui minuman anak-pinak kopi itu seperti halnya “pemakai” mencandui obat-obatan terlarang. Kalau memang tuntutan keadaan tak bisa memenuhinya barang sehari-dua hari, saya takkan mengalami kejang-kejang meradang atau keringat dingin. Saya harus paham dengan kondisi keuangan sebagai seorang mahasiswa-nyaris-selesai. Dikondisikan, meskipun BBM naik tak mempengaruhi harga cappuccino di kafe maupun sachet oplosan.
Untuk beberapa momen, saya baru merasa nyaman ketika berdampingan dan “mengobrol” dengan segelas (atau beberapa gelas) cappuccino. Diantaranya:
#Nongkrong di Coffee Shop
Siapa saja pasti tahu apa yang mesti dipesan di Coffee Shop. Orang-orang mengenalnya kafe. (Bedakan antara kafe dan warkop!). Dari namanya saja, sudah jelas minuman yang disediakan disana dominan berkafein. Minuman lainnya hanyalah pemanis bagi pengunjung yang tidak menyukai kopi namun hendak menghabiskan waktu nongkrong disana.
Sekali-dua kali saya juga doyan nongkrong di kafe. Apalagi kalau biaya secangkir cappuccino-nya ditanggung teman sendiri. Saya punya rekomendasi kafe yang cukup elit namun pas dengan budget mahasiswa.
Ada banyak hal yang bebas saya kerjakan di tengah hiruk-pikuk para pengunjung, yang terkadang tak tahu malu. Yeah, karena tak jarang mereka membawa-bawa pasangannya dan menganggap bahwa dunia ini milik mereka berdua. Ini agak mengesalkan, berlebihan, dan asli membuat iri, kan?
Di kafe, saya bisa mengerjakan apa saja yang memang nyaman saya kerjakan dengan bertemankan cappuccino. Selain mengerjakan tugas kuliah, saya kerap pula menghabiskan waktu seharian di kafe hanya untuk menjelajah dunia maya. Yah, kalau keuangan saya sedang mengalami surplus saja.
#Hujan
Saya bukan tergolong orang yang melankolis, romantis, dan agak puitis ketika hujan. Saya justru agak kedinginan ketika mendung mulai hilir-mudik menandai hujan. Hawanya yang sejuk (mendinginkan) lebih sering mendorong nafsu untuk nge-cappie. Apalagi, bulan ini mengawali musim penghujan di Indonesia. Sebentar lagi, di penghujung bulan November, hujan akan semakin sering menyiram bumi.
Saya senang menikmatinya sembari duduk-duduk menonton hujan di beranda. Kalau perlu, sesekali tempiasnya boleh mengenai wajah. Semakin keren kalau hangatnya cappuccino dinikmati berhadap-hadapan usai kehujanan dengan sang kekasih.
#Pagi Hari
Ini merupakan ritual wajib saya. Setiap pagi, saya memulai hari dengan segelas cappuccino. Ibarat pepatah, tiada pagi tanpa cappuccino. Mengawali hari dengan memacu adrenalin.
Kebiasaan ini agak mirip dengan bapak-bapak-yang-telah-sukses -dan-akan-menjalani-kesibukan-super-padat. Saya menyelinginya dengan membaca koran. Di redaksi yang kerap menjadi tempat bermalam saya, ada dua pilihan koran cetak dan puluhan media online yang siap dilahap sembari menyeruput minuman hangat itu. Selain karena kamar kost saya tidak mendukung fasilitas kelengkapan untuk persediaan air panas tentunya.
#Menulis
Cappuccino juga menjadi pendamping wajib ketika mengerjakan segala kegiatan yang sarat kaitannya dengan menulis. Untuk aktivitas yang satu ini, saya kerap mewajibkannya. Entah menulis cerita, berita, atau postingan tak penting di “rumah” ini. Ia berupa stimulan untuk merangsang sel saraf di kepala saya agar bisa berimajinasi dengan baik. Bagi saya, menjentikkan jari di atas keyboard rasanya menjadi ringan jika diselingi dengan minum cappuccino. Pikiran bebas memahami dan mengolah apa saja. Writter’s block lenyap untuk sesaat.
Tahu tidak, sebagian besar penulis kerap menstimulasi ide, inspirasi, atau imajinasinya lewat kebiasaan-kebiasaan menikmati minuman hangat, termasuk kopi. Ada banyak pemikir dan sastrawan yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan minum kopi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia sendiri, penulis buku Filosofi Kopi yang juga bakal difilmkan, Dewi “Dee” Lestari, mengaku senang menikmati kopi. Ia sering menikmati coffee moment-nya di pagi hari.
Tak apa-apa lah, Mbak Dee, kalau saya masih lebih sering menikmati sachetan. Kelak, kalau sudah punya penghasilan yang menghidupi, saya akan membeli mesin coffee-maker sendiri dan mengolah cappuccino dari kopi tanah kelahiran saya, Kopi Kalosi. ^_^
#Membaca buku
Ini adalah satu alasan saya senang menghabiskan waktu di coffee shop. Meski ramai oleh pengunjung lain, namun tak ada yang menyela kegiatan membaca dan menenggak cappuccino.
Selain di kafe, saya juga menikmati reading time di beranda. Saya bermimpi, kelak membangun rumah yang memiliki beranda yang menghadap ke laut atau pemandangan luas. Setiap pagi istri saya sudah tahu harus membuatkan minuman apa.
Kost saya tidak memiliki beranda yang bagus. Jadinya, beranda kecil dengan bangku panjang di depan redaksi sering menjadi tempat “pelarian” saya sekadar menamatkan bacaan. Selain menghadap ke arah jalanan kompleks, saya juga bisa menunggu momen hujan sembari menghangatkan diri bersama segelas cappuccino. Weuw, so romantic and melancholic…
#Begadang
Kebanyakan mahasiswa senang membolak-balikkan waktu tidurnya. Dalihnya, tugas kuliah. Apalagi kalau sudah menyentuh dunia-dunia organisasi atau lembaga kemahasiswaan. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka tidur pun terasa mubazir kalau di awal waktu. Minuman hangat menjadi “pelarian” untuk menemani waktu mengobrol dengan teman senasib lainnya, cenderung kopi. Saya lebih suka cappuccino. Dan saya, juga, adalah, mahasiswa.
#Mengerjakan Skripsi
Ehmm…emm…tentu saja. Karena saat ini saya sedang berjibaku dengan tahap penyelesaian studi.
#Galau
Go to the hell!
Pagi ini, tepat ketiga matahari sudah mulai meneroboskan sinarnya di bilik jendela, mata saya masih kuat terjaga. Segelas cappuccino di sebelah saya sudah tandas beberapa jam yang lalu. Gelas keempat untuk malam ini.
Selepas mengakhiri tulisan ini, nampaknya saya bersiap merebus air dan menyeduhkannya ke cappuccino pertama untuk hari ini. Sekadar mengawali pagi.
“Dalam sehari, ada berapa kali menenggaknya?”
Itu pertanyaan paling dasar yang kerap dilontarkan atas kebiasaan saya berdampingan dengan cappuccino. Tak perlu heran. “Rumah” ini pun dibuat karena proporsi kebiasaan saya yang hampir menyamai kebiasaan para perokok. Tapi, maaf, saya bukan perokok, demi masa depan anak-istri saya kelak. Saya tak bisa memastikan berapa kali dalam sehari menikmati minuman berkafein itu. Saya hanya tahu, ketika saya membutuhkannya, saya akan merasainya. Tegukan demi tegukan.
Saking seringnya menyeduh sachet-an, saya jadi peka membedakan rasa antara merek-merek dagang yang beredar di pasaran. Sebut saja Go****y, Tor****a, Nes***e, atau Ind****e. Saya juga bisa dengan mudah mengetahui, kebanyakan cappuccino di warung-warung kopi (warkop) hanya oplosan yang ditambahi susu kental manis. Sungguh berbeda dengan campuran espresso sebenarnya.
Jangan pernah berpikir bahwa saya mencandui minuman anak-pinak kopi itu seperti halnya “pemakai” mencandui obat-obatan terlarang. Kalau memang tuntutan keadaan tak bisa memenuhinya barang sehari-dua hari, saya takkan mengalami kejang-kejang meradang atau keringat dingin. Saya harus paham dengan kondisi keuangan sebagai seorang mahasiswa-nyaris-selesai. Dikondisikan, meskipun BBM naik tak mempengaruhi harga cappuccino di kafe maupun sachet oplosan.
Untuk beberapa momen, saya baru merasa nyaman ketika berdampingan dan “mengobrol” dengan segelas (atau beberapa gelas) cappuccino. Diantaranya:
#Nongkrong di Coffee Shop
Siapa saja pasti tahu apa yang mesti dipesan di Coffee Shop. Orang-orang mengenalnya kafe. (Bedakan antara kafe dan warkop!). Dari namanya saja, sudah jelas minuman yang disediakan disana dominan berkafein. Minuman lainnya hanyalah pemanis bagi pengunjung yang tidak menyukai kopi namun hendak menghabiskan waktu nongkrong disana.
Sekali-dua kali saya juga doyan nongkrong di kafe. Apalagi kalau biaya secangkir cappuccino-nya ditanggung teman sendiri. Saya punya rekomendasi kafe yang cukup elit namun pas dengan budget mahasiswa.
Ada banyak hal yang bebas saya kerjakan di tengah hiruk-pikuk para pengunjung, yang terkadang tak tahu malu. Yeah, karena tak jarang mereka membawa-bawa pasangannya dan menganggap bahwa dunia ini milik mereka berdua. Ini agak mengesalkan, berlebihan, dan asli membuat iri, kan?
Di kafe, saya bisa mengerjakan apa saja yang memang nyaman saya kerjakan dengan bertemankan cappuccino. Selain mengerjakan tugas kuliah, saya kerap pula menghabiskan waktu seharian di kafe hanya untuk menjelajah dunia maya. Yah, kalau keuangan saya sedang mengalami surplus saja.
Wah, nongkrong di kafe pinggir jalan seperti ini, di kota Paris, sungguh menggiurkan! (Sumber: googling) |
#Hujan
Saya bukan tergolong orang yang melankolis, romantis, dan agak puitis ketika hujan. Saya justru agak kedinginan ketika mendung mulai hilir-mudik menandai hujan. Hawanya yang sejuk (mendinginkan) lebih sering mendorong nafsu untuk nge-cappie. Apalagi, bulan ini mengawali musim penghujan di Indonesia. Sebentar lagi, di penghujung bulan November, hujan akan semakin sering menyiram bumi.
Saya senang menikmatinya sembari duduk-duduk menonton hujan di beranda. Kalau perlu, sesekali tempiasnya boleh mengenai wajah. Semakin keren kalau hangatnya cappuccino dinikmati berhadap-hadapan usai kehujanan dengan sang kekasih.
Di depan pemandangan terbuka, ketika hujan, bersama segelas minuman hangat. (Sumber: googling) |
#Pagi Hari
Ini merupakan ritual wajib saya. Setiap pagi, saya memulai hari dengan segelas cappuccino. Ibarat pepatah, tiada pagi tanpa cappuccino. Mengawali hari dengan memacu adrenalin.
Kebiasaan ini agak mirip dengan bapak-bapak-yang-telah-sukses -dan-akan-menjalani-kesibukan-super-padat. Saya menyelinginya dengan membaca koran. Di redaksi yang kerap menjadi tempat bermalam saya, ada dua pilihan koran cetak dan puluhan media online yang siap dilahap sembari menyeruput minuman hangat itu. Selain karena kamar kost saya tidak mendukung fasilitas kelengkapan untuk persediaan air panas tentunya.
#Menulis
Cappuccino juga menjadi pendamping wajib ketika mengerjakan segala kegiatan yang sarat kaitannya dengan menulis. Untuk aktivitas yang satu ini, saya kerap mewajibkannya. Entah menulis cerita, berita, atau postingan tak penting di “rumah” ini. Ia berupa stimulan untuk merangsang sel saraf di kepala saya agar bisa berimajinasi dengan baik. Bagi saya, menjentikkan jari di atas keyboard rasanya menjadi ringan jika diselingi dengan minum cappuccino. Pikiran bebas memahami dan mengolah apa saja. Writter’s block lenyap untuk sesaat.
Tahu tidak, sebagian besar penulis kerap menstimulasi ide, inspirasi, atau imajinasinya lewat kebiasaan-kebiasaan menikmati minuman hangat, termasuk kopi. Ada banyak pemikir dan sastrawan yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan minum kopi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia sendiri, penulis buku Filosofi Kopi yang juga bakal difilmkan, Dewi “Dee” Lestari, mengaku senang menikmati kopi. Ia sering menikmati coffee moment-nya di pagi hari.
“It’s not worth it menghabiskan coffee moment dengan minum kopi kualitas abal-abal setara kopi jagung. Padahal Indonesia adalah negara yang kaya akan jenis kopi terbaik,” –Dewi Lestari, dalam wawancara media
Tak apa-apa lah, Mbak Dee, kalau saya masih lebih sering menikmati sachetan. Kelak, kalau sudah punya penghasilan yang menghidupi, saya akan membeli mesin coffee-maker sendiri dan mengolah cappuccino dari kopi tanah kelahiran saya, Kopi Kalosi. ^_^
Cappuccino time. (Sumber: googlingi) |
#Membaca buku
Ini adalah satu alasan saya senang menghabiskan waktu di coffee shop. Meski ramai oleh pengunjung lain, namun tak ada yang menyela kegiatan membaca dan menenggak cappuccino.
Selain di kafe, saya juga menikmati reading time di beranda. Saya bermimpi, kelak membangun rumah yang memiliki beranda yang menghadap ke laut atau pemandangan luas. Setiap pagi istri saya sudah tahu harus membuatkan minuman apa.
Kost saya tidak memiliki beranda yang bagus. Jadinya, beranda kecil dengan bangku panjang di depan redaksi sering menjadi tempat “pelarian” saya sekadar menamatkan bacaan. Selain menghadap ke arah jalanan kompleks, saya juga bisa menunggu momen hujan sembari menghangatkan diri bersama segelas cappuccino. Weuw, so romantic and melancholic…
Tentu saja, saya lebih banyak meminjam buku. #ehh (Sumber: googling) |
#Begadang
Kebanyakan mahasiswa senang membolak-balikkan waktu tidurnya. Dalihnya, tugas kuliah. Apalagi kalau sudah menyentuh dunia-dunia organisasi atau lembaga kemahasiswaan. Karena sudah menjadi kebiasaan, maka tidur pun terasa mubazir kalau di awal waktu. Minuman hangat menjadi “pelarian” untuk menemani waktu mengobrol dengan teman senasib lainnya, cenderung kopi. Saya lebih suka cappuccino. Dan saya, juga, adalah, mahasiswa.
#Mengerjakan Skripsi
Ehmm…emm…tentu saja. Karena saat ini saya sedang berjibaku dengan tahap penyelesaian studi.
Go to the hell!
***
Pagi ini, tepat ketiga matahari sudah mulai meneroboskan sinarnya di bilik jendela, mata saya masih kuat terjaga. Segelas cappuccino di sebelah saya sudah tandas beberapa jam yang lalu. Gelas keempat untuk malam ini.
Selepas mengakhiri tulisan ini, nampaknya saya bersiap merebus air dan menyeduhkannya ke cappuccino pertama untuk hari ini. Sekadar mengawali pagi.
--Imam Rahmanto--
0 comments