24# Bersiap!
November 11, 2014Baca Juga
Saya lagi-lagi harus berterima kasih pada keajaiban yang tiba hari ini. Keajaiban yang membawa saya pada bidang-bidang semu merupa nyata. Di kala saya nyaris kehabisan napas karena terlalu lama menunggu, mengosongkan harapan untuk hari ini, kesempatan itu datang. Tepat ketika saya nyaris tak acuh padanya.
Siang kemarin, saya banyak menghabiskan waktu di kampus. Jadwal seminar proposal yang tertunda harus diurusi kelangkapannya hari itu. Sebenarnya bukan kelangkapan sesuatu-bagaimana. Hanya saja, saya butuh mengecek secara berkala apakah-jadwal-dan-undangannya-sudah-keluar? Jadi, saya cuma menunggu. Yah, hanya menunggu.
Saya hanya butuh memastikan siapa dosen yang akan bertanggung jawab menjadi penguji. Adalah momok mendapati dosen yang disegani dan ditakuti banyak mahasiswa akan menguji kajian proposal penelitian saya.
Di kampus, seperti biasa, saya banyak bertemu dengan teman-teman yang merupakan adik angkatan saya. Mencari teman-teman seangkatan yang masih berdiam di kampus itu bak mencari jarum di tumpukan paku. #ehh. Berbincang dan berbagi dengan mereka setidaknya memberikan saya banyak wawasan baru dan semangat untuk memperjuangkan calon-skripsi saya. Bahkan untuk penantian keputusan seminar proposal, saya harus bolak-balik dari lantai 2 gedung jurusan sampai 4 kali.
Bagi sebagian orang, menjalani seminar proposal masih jauh panggang api dari kata “selesai”. Anggapannya, seminar proposal itu tidak begitu sulit. Mudah.
“Baru ki seminar proposal?”
“Iya.” Sepolos-polosnya saya menjawab. Selugu-lugu mungkin.
Ditanggapi saja dengan “O” yang panjang oleh mereka yang sudah menyelesaikan kuliahnya dari berbulan-bulan lalu. Namun masih saja mereka betah mondar-mandir di kampus saya. Iya, kampus saya dong! Mereka yang sudah lulus kuliah seharusnya sadar akan kampus “kehidupan” yang lebih besar lagi. Maaf saja kalau nganggur. :P
Saya sungguh bahagia bisa menjalani seminar proposal beberapa hari kelak. Betapa menggembirakannya usaha yang berbuah hasil. Kalau dipikir-pikir, saya sudah lama teralih dari dunia “penyelesaian” seperti ini. Saya tidak banyak mengurusinya. Namun, dalam tempo dua bulan ini, saya sudah bisa mencicipi sulitnya berurusan dengan skripsi. Sebenarnya tak sulit juga sih. Asal ada kemauan saja.
Wajar kalau saya berusaha mengapresiasi diri sendiri. Sedikit memberikan penghargaan atas usaha keras yang saban hari dipraktekkan. Seberapa sepele jalan yang disusuri, setidaknya “terima kasih” bukan barang langka untuk diucapkan. “Terima kasih” paling sederhana, ya dengan mengembangkan senyum. Saya tersneyum lebar malah sepanjang hari. :D Tak ada kata terlambat untuk menghargai diri sendiri.
Bagi orang lain, seminar mungkin hal sepele. Tidak bagi saya. Sungguh prestasi luar biasa setelah lama teralihkan dari dunia kampus. Beberapa minggu kesana-kemari mengorbankan (membuang) waktu membuahkan hasil yang sungguh manis. #prokprokprok
Apalagi saya juga pernah bersepakat dengan seseorang tentang penyelesaian kuliah di jadwal wisuda bulan ini. Meskipun saya tak mungkin mengejarnya lagi. Saya hanya butuh bulan terakhir di tahun ini. Saya ingin menuntaskan, dan mulai mengisi resolusi baru di tahun berikutnya.
Bosan menunggu (nyaris) seharian, saya hendak pulang. Niat mundur demi menyusun strategi esok hari. Eh, di tengah jalan persimpangan fakultas, saya yang mengendarai motor melintasi dosen pembimbing yang sedari lama saya tunggui. “Akh, ini dia!” teriak saya dalam hati.
Tanpa perlu diolah otak dan rasa lebih lama, masih sempat mengabaikannya juga sih, saya menghentikan kendaraan di tepi jalan. Memarkirnya di sembarang tempat. Saya hanya meniru motor lainnya yang terparkir serampangan di pinggir jalan, tepat di belakang gedung sekretariat BEM fakultas.
Bayangkan saja adegan di film-film…
Saya mengejar dosen tempat ia tadi berhenti sebentar karena mengobrol dengan mahasiswa. Akan tetapi saya tak menemukannya.
“Kemana Ibu dosen tadi?” saya random saja bertanya kepada adik angkatan, yang saya sama sekali tidak mengenal mukanya. Masih botak. Lagipula, statistik peluang matematis untuk mendapatkan jawaban dari mereka adalah 99,999... persen.
“Oh, kesana, Kak. Ke jurusan!” beberapa dari mereka yang saya temui nyaris berbarengan menunjukkannya.
Selang beberapa menit, saya menunggunya di jurusan. Menit berlalu seiring dengan pesta kecil-kecilan salah satu program studi baru di jurusan saya atas dikukuhkannya status prodi tersebut oleh Dikti. Di tengah-tengah kerumunan anak prodi tersebut, saya duduk-kalem-manis menunggu sambil mengikutkan mata pada sosok dosen pembimbing yang saya tuju.
Di tangan saya hanya terselip bacaan lama untuk menemani, yang belum pernah saya tuntaskan; buku karangan Raditya Dika. Wajar ketika orang-orang di samping kiri-kanan saya melongo melihat saya terkadang tertawa-tawa hah-hihi sendiri.
Karena bosan menunggu, hingga waktu beranjak selepas Ashar, saya mengusulkan kepada dosen pembimbing untuk menitipkan saja instrumen yang niatnya mau dikonsultasikan langsung. Ia nampak sibuk berbenah sajian pesta. Saya sungkan mengganggunya (dan menunggu terlalu lamai). Pada sela-sela waktunya itu, ia menemui saya. Alhasil, ia mengiyakan dan jadilah saya “memanjat-lagi” ke lantai 3 gedung jurusan sekadar menyimpan instrumen itu di meja kerjanya. Lagi-lagi jiwa jurnalisme saya bisa dimanfaatkan. Hahaha…
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Saya memutuskan untuk mengecek lagi jadwal di ruang administrasi lantai 2 sebelum benar-benar pulang. Biarpun sudah empat kali mencoba sepanjang hari dan hasilnya nihil, tak ada salahnya mencoba lagi. Keep trying! Dan taraa!! Staf tata administrasinya mengenali dan memperlihatkan undangan yang usai dicetak. #bernapas lega
Tertera: Jumat, di waktu pagi, saya harus siap menantang para penguji. Oleh karena itu, siapa pun, dari dekat, dari jauh, teman, kenalan, keluarga, mari berbagi dukungan. Tak perlu voting: Aku YES, Aku NO! Karena kata Tuhan, partikel doa di langit tak pernah ada batasnya.
Siang kemarin, saya banyak menghabiskan waktu di kampus. Jadwal seminar proposal yang tertunda harus diurusi kelangkapannya hari itu. Sebenarnya bukan kelangkapan sesuatu-bagaimana. Hanya saja, saya butuh mengecek secara berkala apakah-jadwal-dan-undangannya-sudah-keluar? Jadi, saya cuma menunggu. Yah, hanya menunggu.
Saya hanya butuh memastikan siapa dosen yang akan bertanggung jawab menjadi penguji. Adalah momok mendapati dosen yang disegani dan ditakuti banyak mahasiswa akan menguji kajian proposal penelitian saya.
Di kampus, seperti biasa, saya banyak bertemu dengan teman-teman yang merupakan adik angkatan saya. Mencari teman-teman seangkatan yang masih berdiam di kampus itu bak mencari jarum di tumpukan paku. #ehh. Berbincang dan berbagi dengan mereka setidaknya memberikan saya banyak wawasan baru dan semangat untuk memperjuangkan calon-skripsi saya. Bahkan untuk penantian keputusan seminar proposal, saya harus bolak-balik dari lantai 2 gedung jurusan sampai 4 kali.
Bagi sebagian orang, menjalani seminar proposal masih jauh panggang api dari kata “selesai”. Anggapannya, seminar proposal itu tidak begitu sulit. Mudah.
“Baru ki seminar proposal?”
“Iya.” Sepolos-polosnya saya menjawab. Selugu-lugu mungkin.
Ditanggapi saja dengan “O” yang panjang oleh mereka yang sudah menyelesaikan kuliahnya dari berbulan-bulan lalu. Namun masih saja mereka betah mondar-mandir di kampus saya. Iya, kampus saya dong! Mereka yang sudah lulus kuliah seharusnya sadar akan kampus “kehidupan” yang lebih besar lagi. Maaf saja kalau nganggur. :P
Saya sungguh bahagia bisa menjalani seminar proposal beberapa hari kelak. Betapa menggembirakannya usaha yang berbuah hasil. Kalau dipikir-pikir, saya sudah lama teralih dari dunia “penyelesaian” seperti ini. Saya tidak banyak mengurusinya. Namun, dalam tempo dua bulan ini, saya sudah bisa mencicipi sulitnya berurusan dengan skripsi. Sebenarnya tak sulit juga sih. Asal ada kemauan saja.
Wajar kalau saya berusaha mengapresiasi diri sendiri. Sedikit memberikan penghargaan atas usaha keras yang saban hari dipraktekkan. Seberapa sepele jalan yang disusuri, setidaknya “terima kasih” bukan barang langka untuk diucapkan. “Terima kasih” paling sederhana, ya dengan mengembangkan senyum. Saya tersneyum lebar malah sepanjang hari. :D Tak ada kata terlambat untuk menghargai diri sendiri.
Bagi orang lain, seminar mungkin hal sepele. Tidak bagi saya. Sungguh prestasi luar biasa setelah lama teralihkan dari dunia kampus. Beberapa minggu kesana-kemari mengorbankan (membuang) waktu membuahkan hasil yang sungguh manis. #prokprokprok
Apalagi saya juga pernah bersepakat dengan seseorang tentang penyelesaian kuliah di jadwal wisuda bulan ini. Meskipun saya tak mungkin mengejarnya lagi. Saya hanya butuh bulan terakhir di tahun ini. Saya ingin menuntaskan, dan mulai mengisi resolusi baru di tahun berikutnya.
Bosan menunggu (nyaris) seharian, saya hendak pulang. Niat mundur demi menyusun strategi esok hari. Eh, di tengah jalan persimpangan fakultas, saya yang mengendarai motor melintasi dosen pembimbing yang sedari lama saya tunggui. “Akh, ini dia!” teriak saya dalam hati.
Tanpa perlu diolah otak dan rasa lebih lama, masih sempat mengabaikannya juga sih, saya menghentikan kendaraan di tepi jalan. Memarkirnya di sembarang tempat. Saya hanya meniru motor lainnya yang terparkir serampangan di pinggir jalan, tepat di belakang gedung sekretariat BEM fakultas.
Bayangkan saja adegan di film-film…
Saya mengejar dosen tempat ia tadi berhenti sebentar karena mengobrol dengan mahasiswa. Akan tetapi saya tak menemukannya.
“Kemana Ibu dosen tadi?” saya random saja bertanya kepada adik angkatan, yang saya sama sekali tidak mengenal mukanya. Masih botak. Lagipula, statistik peluang matematis untuk mendapatkan jawaban dari mereka adalah 99,999... persen.
“Oh, kesana, Kak. Ke jurusan!” beberapa dari mereka yang saya temui nyaris berbarengan menunjukkannya.
Selang beberapa menit, saya menunggunya di jurusan. Menit berlalu seiring dengan pesta kecil-kecilan salah satu program studi baru di jurusan saya atas dikukuhkannya status prodi tersebut oleh Dikti. Di tengah-tengah kerumunan anak prodi tersebut, saya duduk-kalem-manis menunggu sambil mengikutkan mata pada sosok dosen pembimbing yang saya tuju.
Di tangan saya hanya terselip bacaan lama untuk menemani, yang belum pernah saya tuntaskan; buku karangan Raditya Dika. Wajar ketika orang-orang di samping kiri-kanan saya melongo melihat saya terkadang tertawa-tawa hah-hihi sendiri.
Karena bosan menunggu, hingga waktu beranjak selepas Ashar, saya mengusulkan kepada dosen pembimbing untuk menitipkan saja instrumen yang niatnya mau dikonsultasikan langsung. Ia nampak sibuk berbenah sajian pesta. Saya sungkan mengganggunya (dan menunggu terlalu lamai). Pada sela-sela waktunya itu, ia menemui saya. Alhasil, ia mengiyakan dan jadilah saya “memanjat-lagi” ke lantai 3 gedung jurusan sekadar menyimpan instrumen itu di meja kerjanya. Lagi-lagi jiwa jurnalisme saya bisa dimanfaatkan. Hahaha…
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Saya memutuskan untuk mengecek lagi jadwal di ruang administrasi lantai 2 sebelum benar-benar pulang. Biarpun sudah empat kali mencoba sepanjang hari dan hasilnya nihil, tak ada salahnya mencoba lagi. Keep trying! Dan taraa!! Staf tata administrasinya mengenali dan memperlihatkan undangan yang usai dicetak. #bernapas lega
Tertera: Jumat, di waktu pagi, saya harus siap menantang para penguji. Oleh karena itu, siapa pun, dari dekat, dari jauh, teman, kenalan, keluarga, mari berbagi dukungan. Tak perlu voting: Aku YES, Aku NO! Karena kata Tuhan, partikel doa di langit tak pernah ada batasnya.
--Imam Rahmanto--
0 comments