22# Redup yang Berkobar
November 05, 2014Baca Juga
Atas apa yang telah terjadi hari ini, ada dorongan membuncah melemaskan tangan saya. Ada perasaan di kepala saya yang ingin terbebaskan. Apa saja, tak acuh. Sesederhana saya hanya ingin menulis. Itu saja.
Saya menantikan senja, yang amat manis dalam kenyataan di awang-awang pikiran. Tak peduli ketika lapisan awan putih menutupi hampir semua permukaan langit. Masa bodoh dengan matahari yang telah menggelap jelang setengah jam lagi di batas cakrawala. Lebih cepat dari lazimnya. Pun, rumah yang berjajar dan berimpit di kompleks perumahan ini menghalangi sekadar memperoleh satu garis cahaya sore.
Saya membayangkannya. Sendirian, saya duduk di beranda redaksi yang sudah berteman empat tahun lamanya lamanya. Dalam banyak hal, kesunyian di petang beranda membawa saya pada alur yang mendamaikan. Udara sepoi-sepoi memilin lembut di perantara jemari ini. Kelak, saya memimpikan rumah dengan beranda yang menghadap matahari terbit dan halaman belakang yang menantang matahari tenggelam. Di setiap sesi penghubung waktu itu, saya akan menyisipkan waktu bersantai meracuni diri dengan beberapa mili kafein cappuccino dan latte.
Entah mengapa senja di petang ini tak secerah biasanya. Orang-orang akan berharap hujan meluncur dari atas langit sana. Gerimis pelan atau lebat sekaligus. Dikarenakan, kabar hujan datang dari teman-teman yang berdomisili di pinggiran kota. Hujan, katanya. Meski disini pertanda hujan belum menemukan pangkalnya sama sekali.
Bukan main, kemarau terlampau lama. Orang-orang serasa terpanggang di siang bolong. Para pedagang minuman dingin dan es-es di luar sana tertawa kegirangan. Keuntungan mereka sebanding dengan tingkat kecerahan matahari. Semakin cerah, semakin gerah, semakin laris.
Namanya kerja keras, tak pernah berakhir sia-sia. Bukankah manusia terlahir untuk memenuhi hasrat hidupnya? Manusia harus bekerja atas keinginan-keinginan yang ingin diwujudkannya. Tanpa itu, hidup takkan berputar lama.
Ah, tentang kerja sungguh-sungguh itu... Saya nyaris kehilangannya.
Kenyataan senja yang manis itu hanya betul-betul bersumber dari kepala saya. Pikiran saya terlampau girang hari ini. Senja itu merefleksikan kesungguhan yang manis. Bagaimana saya nyaris lumpuh dan tak berbuat apa-apa lagi karena dihentikan pencarian tanda tangan yang tak berujung. Satu tanda tangan terakhir itu, nyaris tertunda karena si empunya sedang berada di luar kota. Ketua jurusan saya itu, baru kembali Jumat, lusa. Sementara, saya punya deadline pada diri sendiri menyelesaikan proposal dalam tempo seminggu ini.
Nyaris, nyaris saja saya, lagi-lagi, harus menunda keinginan mengejar deadline tugas akhir. Kalau saja saya tidak berbagi dengan seorang teman, maka saya akan benar-benar menganggap bahwa usaha maksimal saya sudah berujung disini. Segitu saja.
Nyatanya tidak. Di tengah-tengah saya melarikan kesal ke secangkir besar es tongtong, chat singkat dari teman saya itu membuka jalan lain. Usaha yang seolah-olah sudah saya kerjakan secara maksimal, ternyata masih bisa dimaksimalkan lagi. Di balik belukar itu, ada jalan pintas!
“Di balik rencana A, masih ada rencana B, rencana C, rencana D, hingga abjadnya benar-benar habis dikombinasikan. Tidak boleh terpaku pada satu rencana yang gagal saja.”
Sejujurnya, saya selalu terharu mendengar pesan itu diulang-ulang oleh salah seorang teman redaksi. Seorang perekam yang baik. Ia mengingatkan atas apa yang pernah saya ajarkan padanya, dan teman-temannya.
“Tanda tangannya bisa kok diwakili oleh sekretarisnya. Saya dulu begitu,” secercah petunjuk dimunculkan teman kampus saya, lewat pesan singkat di BBM.
Atas petunjuknya, saya ingin bertaruh lagi. Saya mengenyahkan segala “alasan-pembenaran” yang menghadang di kepala. Just move and try it!
Nyatanya benar. Saya menyelesaikan remeh-temeh tanda tangan itu. Kesungguhan yang berlanjut. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang berpangkal mula itu, saya melanjutkannya ke jenjang tahap berikutnya. Saya lantas menutupnya dengan manis. Puas dan menang telak terhadap ego malas yang merongrong saban hari. Malas butuh ditentang hingga ditendang.
Sungguh. Saya senantiasa mengembangkan senyum jikalau mengingat-ingat kejadian hari ini.
Bagaimana saya semenjak pagi harus duduk sendirian di lorong jurusan, memprediksikan si empunya tanda tangan bakal mengajar sesuai jadwal pagi itu. Bagaimana saya kemudian pulang karena tak menjumpainya sejam-dua jam ke depan. Bagaimana saya datang lagi, berharap lazimnya menemukan ia beristirahat di kantornya. Bagaimana usaha itu nihil dan mendorong saya mengirimkan pesan singkat yang dibalas dengan pemberitahuan bahwa dirinya sedang berada di luar kota. Kesal? Tentu saja. Bagaimana saya kesal dan melampiaskannya dengan pulang dan menahan pedagang es tongtong yang lewat, memborongnya segelas besar, segelas kecil, beberapa roti. Terakhir, bagaikan oase di padang gurun, petuah dari teman saya itu muncul begitu saja usai mengomentari gambar es tontong yang saya unggah di media android.
Lantas, segaris senyum itu menularkan semangat untuk terus bekerja dan bersungguh-sungguh. Partikel senyum merupakan hal paling mendasar untuk menularkan semangat kepada siapa saja. Kesungguhan selalu menemukan jalannya. Di samping saya mempercayai pula betapa keajaiban selalu hadir nyata di kehidupan kita. Racikannya sedernana; percaya dan bersungguh-sungguh.
Saya teringat dengan pepatah masa kecil dulu, “Where is the will, there is a way.” – Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Sejak dulu, saya ingin menambahkannya, “Kalau sudah ada jalan, maka harus mau!”
Betapa menguatkannya harapan itu ketika dituntaskan di tengah-tengah momen nyaris kehilangan harapan. Dan itulah sebenar-benar semangat. Di kala nyaris terjatuh, masih ada kekuatan untuk terus bangkit dan membuahkan hasil. Manis. Teramat manis. Dan karenanya, saya siap menantang seminar proposal skripsi pekan depan… ^_^
Dan kenyataan paling membuat saya terharu adalah; saya belum mandi sejak pagi “menunggu” tersebut hingga jelang petang bolak-balik memenuhi pertaruhan tanda tangan itu. Hahaha…apalah arti mandi. Yang terpenting itu…ada disini. *nunjuk dada.
Saya menantikan senja, yang amat manis dalam kenyataan di awang-awang pikiran. Tak peduli ketika lapisan awan putih menutupi hampir semua permukaan langit. Masa bodoh dengan matahari yang telah menggelap jelang setengah jam lagi di batas cakrawala. Lebih cepat dari lazimnya. Pun, rumah yang berjajar dan berimpit di kompleks perumahan ini menghalangi sekadar memperoleh satu garis cahaya sore.
Saya membayangkannya. Sendirian, saya duduk di beranda redaksi yang sudah berteman empat tahun lamanya lamanya. Dalam banyak hal, kesunyian di petang beranda membawa saya pada alur yang mendamaikan. Udara sepoi-sepoi memilin lembut di perantara jemari ini. Kelak, saya memimpikan rumah dengan beranda yang menghadap matahari terbit dan halaman belakang yang menantang matahari tenggelam. Di setiap sesi penghubung waktu itu, saya akan menyisipkan waktu bersantai meracuni diri dengan beberapa mili kafein cappuccino dan latte.
Entah mengapa senja di petang ini tak secerah biasanya. Orang-orang akan berharap hujan meluncur dari atas langit sana. Gerimis pelan atau lebat sekaligus. Dikarenakan, kabar hujan datang dari teman-teman yang berdomisili di pinggiran kota. Hujan, katanya. Meski disini pertanda hujan belum menemukan pangkalnya sama sekali.
Bukan main, kemarau terlampau lama. Orang-orang serasa terpanggang di siang bolong. Para pedagang minuman dingin dan es-es di luar sana tertawa kegirangan. Keuntungan mereka sebanding dengan tingkat kecerahan matahari. Semakin cerah, semakin gerah, semakin laris.
Namanya kerja keras, tak pernah berakhir sia-sia. Bukankah manusia terlahir untuk memenuhi hasrat hidupnya? Manusia harus bekerja atas keinginan-keinginan yang ingin diwujudkannya. Tanpa itu, hidup takkan berputar lama.
Ah, tentang kerja sungguh-sungguh itu... Saya nyaris kehilangannya.
Kenyataan senja yang manis itu hanya betul-betul bersumber dari kepala saya. Pikiran saya terlampau girang hari ini. Senja itu merefleksikan kesungguhan yang manis. Bagaimana saya nyaris lumpuh dan tak berbuat apa-apa lagi karena dihentikan pencarian tanda tangan yang tak berujung. Satu tanda tangan terakhir itu, nyaris tertunda karena si empunya sedang berada di luar kota. Ketua jurusan saya itu, baru kembali Jumat, lusa. Sementara, saya punya deadline pada diri sendiri menyelesaikan proposal dalam tempo seminggu ini.
Nyaris, nyaris saja saya, lagi-lagi, harus menunda keinginan mengejar deadline tugas akhir. Kalau saja saya tidak berbagi dengan seorang teman, maka saya akan benar-benar menganggap bahwa usaha maksimal saya sudah berujung disini. Segitu saja.
Nyatanya tidak. Di tengah-tengah saya melarikan kesal ke secangkir besar es tongtong, chat singkat dari teman saya itu membuka jalan lain. Usaha yang seolah-olah sudah saya kerjakan secara maksimal, ternyata masih bisa dimaksimalkan lagi. Di balik belukar itu, ada jalan pintas!
“Di balik rencana A, masih ada rencana B, rencana C, rencana D, hingga abjadnya benar-benar habis dikombinasikan. Tidak boleh terpaku pada satu rencana yang gagal saja.”
Sejujurnya, saya selalu terharu mendengar pesan itu diulang-ulang oleh salah seorang teman redaksi. Seorang perekam yang baik. Ia mengingatkan atas apa yang pernah saya ajarkan padanya, dan teman-temannya.
“Tanda tangannya bisa kok diwakili oleh sekretarisnya. Saya dulu begitu,” secercah petunjuk dimunculkan teman kampus saya, lewat pesan singkat di BBM.
Atas petunjuknya, saya ingin bertaruh lagi. Saya mengenyahkan segala “alasan-pembenaran” yang menghadang di kepala. Just move and try it!
Nyatanya benar. Saya menyelesaikan remeh-temeh tanda tangan itu. Kesungguhan yang berlanjut. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang berpangkal mula itu, saya melanjutkannya ke jenjang tahap berikutnya. Saya lantas menutupnya dengan manis. Puas dan menang telak terhadap ego malas yang merongrong saban hari. Malas butuh ditentang hingga ditendang.
Sungguh. Saya senantiasa mengembangkan senyum jikalau mengingat-ingat kejadian hari ini.
Bagaimana saya semenjak pagi harus duduk sendirian di lorong jurusan, memprediksikan si empunya tanda tangan bakal mengajar sesuai jadwal pagi itu. Bagaimana saya kemudian pulang karena tak menjumpainya sejam-dua jam ke depan. Bagaimana saya datang lagi, berharap lazimnya menemukan ia beristirahat di kantornya. Bagaimana usaha itu nihil dan mendorong saya mengirimkan pesan singkat yang dibalas dengan pemberitahuan bahwa dirinya sedang berada di luar kota. Kesal? Tentu saja. Bagaimana saya kesal dan melampiaskannya dengan pulang dan menahan pedagang es tongtong yang lewat, memborongnya segelas besar, segelas kecil, beberapa roti. Terakhir, bagaikan oase di padang gurun, petuah dari teman saya itu muncul begitu saja usai mengomentari gambar es tontong yang saya unggah di media android.
Lantas, segaris senyum itu menularkan semangat untuk terus bekerja dan bersungguh-sungguh. Partikel senyum merupakan hal paling mendasar untuk menularkan semangat kepada siapa saja. Kesungguhan selalu menemukan jalannya. Di samping saya mempercayai pula betapa keajaiban selalu hadir nyata di kehidupan kita. Racikannya sedernana; percaya dan bersungguh-sungguh.
Saya teringat dengan pepatah masa kecil dulu, “Where is the will, there is a way.” – Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Sejak dulu, saya ingin menambahkannya, “Kalau sudah ada jalan, maka harus mau!”
Betapa menguatkannya harapan itu ketika dituntaskan di tengah-tengah momen nyaris kehilangan harapan. Dan itulah sebenar-benar semangat. Di kala nyaris terjatuh, masih ada kekuatan untuk terus bangkit dan membuahkan hasil. Manis. Teramat manis. Dan karenanya, saya siap menantang seminar proposal skripsi pekan depan… ^_^
Ini juga dikerjakan di sela-sela menunggu. (Doodle by ImR) |
Dan kenyataan paling membuat saya terharu adalah; saya belum mandi sejak pagi “menunggu” tersebut hingga jelang petang bolak-balik memenuhi pertaruhan tanda tangan itu. Hahaha…apalah arti mandi. Yang terpenting itu…ada disini. *nunjuk dada.
--Imam Rahmanto--
4 comments
saya suka tulisan2 para mahasiswa yang sedang sibuk dengan skripsi dan cerita2 dibaliknya..hahahaahah yakinka masih ada cerita yang lebih haru yang bakalan kau tulis setelah ini dan kabarika haruska jadi pembaca pertama..haahahahahah
BalasHapus@o hara kireina Hahahaha...selayaknya saya memang ingin berbagi cerita kok. :)
BalasHapusKatanya, kalau udah sempro, ritme garap skripsinya bakal mulai muncul, mam.. Sukses yeessss... \m/
BalasHapus@Dian KurniatiDih, "sempro" itu apaan sih?? -_-?
BalasHapus