Hujan baru saja mengguyur kota ini tiada henti. Sambung-menyambung. Di momen tertentu hujan itu menderas dan tak memperbolehkan siapa pun melintas di bawahnya. Di momen lainnya, hujan itu menderai menjadi rinai, namun tak mereda.
Hujan nampaknya sedang melampiaskan kerinduannya pada bumi. Seingat saya, dua-tiga hari ini teriknya mentari memang mengambil alih posisinya di bumi. Sedikit memberikan waktu bagi hujan untuk menabung rindu, lantas menumpahkannya kemarin.
Saya sedang berada di kampus ketika hujan berderai. Ada banyak hal yang kemudian harus dilanjutkan, mengingat status sebagai mahasiswa tingkat akhir. Terlalu lama saya berdiam, dan berperang sendiri dengan pikiran-pikiran bodoh lainnya. Bukankah rentang satu bulan selepas ujian proposal itu lama sekali ya?
Seperti inilah yang dinamakan rehat. Akh, beruntungnya lagi, saya cepat tersadar. Ada banyak wake up call. Teman-teman seangkatan, yang pernah mengenyam bangku sekolah yang sama, bergiliran menyelesaikan studinya. Lainnya lagi, sudah berumah tangga. Saya? Masih disibukkan pikiran sendiri akan kemana selepas ujian proposal ini. Hah!
Mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, mungkin sepertinya menjadi pilihan untuk mempercepat jam terbang saya di kampus. Target bulan ini tak terkejar, seharusnya bisa bergeser ke bulan berikutnya. Paling tidak, saya sudah merencanakan. Katanya, kalau gagal merencanakan berarti gagal pula mengerjakannya. Yeah, kita, manusia, memang hanya bisa merencanakan tanpa tahu bahwa Tuhan lah yang selalu menentukan. Plus, orang lain yang mengomentari.
Saya masih berada di kampus sesaat bentrokan mahasiswa nyaris dimulai lagi. Entahlah. Saya juga heran melihat kebiasaan kampus saya, yang saban minggu (nyaris) bentrok. Hujan mungkin saja berhasil melerai kedua fakultas yang sudah siap saling lempar itu. Sebagaimana hujan pula yang menahan saya berjam-jam di beranda masjid. Di dalam masjid sedang berlangsung kajian, sementara saya hanya berdiri memandangi hujan dengan telinga yang terpasang earphone bervolume maksimal.
Saya memandangi orang-orang yang mempercepat langkahnya menghindari hujan. Ada yang berjalan di bawah naungan payung. Sepayung boleh berdua. Di atas motor, orang-orang mengenakan mantel tak tertebus air. Laju motor dipercepat demi menghindari hujan yang nampaknya tak ingin berhenti barang sebentar. Di pinggir bangunan-bangunan yang menjanjikan keteduhan, orang menunggui hujan. Hujan, kapan kau mereda? Ada banyak urusan hari ini? Begitu kata hati masing-masing, mungkin.
Lewat pukul lima, hujan mulai merinai dan membolehkan saya beranjak dari masjid. Saya harus berjalan pulang. Hujan, tak apalah. Hujan seperti ini tak akan pernah menyakiti saya. Sejatinya, manusialah yang membuat-buat sakitnya dan menyalahkan hujan. Hm…hujan sedramatis dan seromantis ini dikatakan membawa penyakit?
Apa guna kesempatan jika tak digunakan. Saya sudah cukup lama beristirahat dari pekatnya kepala. Ini sudah sampai pada akhir tahun. Meski kampus bakal diliburkan lagi (pastinya), sudah saatnya saya berjalan lagi. Mengerjakan apa yang memang bisa dikerjakan. Berjalan lebih jauh, kata Banda Neira, karena hujan hanya di mimpi…
Now playing: Banda Neira - Berjalan Lebih Jauh
Hujan nampaknya sedang melampiaskan kerinduannya pada bumi. Seingat saya, dua-tiga hari ini teriknya mentari memang mengambil alih posisinya di bumi. Sedikit memberikan waktu bagi hujan untuk menabung rindu, lantas menumpahkannya kemarin.
Saya sedang berada di kampus ketika hujan berderai. Ada banyak hal yang kemudian harus dilanjutkan, mengingat status sebagai mahasiswa tingkat akhir. Terlalu lama saya berdiam, dan berperang sendiri dengan pikiran-pikiran bodoh lainnya. Bukankah rentang satu bulan selepas ujian proposal itu lama sekali ya?
Seperti inilah yang dinamakan rehat. Akh, beruntungnya lagi, saya cepat tersadar. Ada banyak wake up call. Teman-teman seangkatan, yang pernah mengenyam bangku sekolah yang sama, bergiliran menyelesaikan studinya. Lainnya lagi, sudah berumah tangga. Saya? Masih disibukkan pikiran sendiri akan kemana selepas ujian proposal ini. Hah!
Mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, mungkin sepertinya menjadi pilihan untuk mempercepat jam terbang saya di kampus. Target bulan ini tak terkejar, seharusnya bisa bergeser ke bulan berikutnya. Paling tidak, saya sudah merencanakan. Katanya, kalau gagal merencanakan berarti gagal pula mengerjakannya. Yeah, kita, manusia, memang hanya bisa merencanakan tanpa tahu bahwa Tuhan lah yang selalu menentukan. Plus, orang lain yang mengomentari.
Saya masih berada di kampus sesaat bentrokan mahasiswa nyaris dimulai lagi. Entahlah. Saya juga heran melihat kebiasaan kampus saya, yang saban minggu (nyaris) bentrok. Hujan mungkin saja berhasil melerai kedua fakultas yang sudah siap saling lempar itu. Sebagaimana hujan pula yang menahan saya berjam-jam di beranda masjid. Di dalam masjid sedang berlangsung kajian, sementara saya hanya berdiri memandangi hujan dengan telinga yang terpasang earphone bervolume maksimal.
Saya memandangi orang-orang yang mempercepat langkahnya menghindari hujan. Ada yang berjalan di bawah naungan payung. Sepayung boleh berdua. Di atas motor, orang-orang mengenakan mantel tak tertebus air. Laju motor dipercepat demi menghindari hujan yang nampaknya tak ingin berhenti barang sebentar. Di pinggir bangunan-bangunan yang menjanjikan keteduhan, orang menunggui hujan. Hujan, kapan kau mereda? Ada banyak urusan hari ini? Begitu kata hati masing-masing, mungkin.
Lewat pukul lima, hujan mulai merinai dan membolehkan saya beranjak dari masjid. Saya harus berjalan pulang. Hujan, tak apalah. Hujan seperti ini tak akan pernah menyakiti saya. Sejatinya, manusialah yang membuat-buat sakitnya dan menyalahkan hujan. Hm…hujan sedramatis dan seromantis ini dikatakan membawa penyakit?
Apa guna kesempatan jika tak digunakan. Saya sudah cukup lama beristirahat dari pekatnya kepala. Ini sudah sampai pada akhir tahun. Meski kampus bakal diliburkan lagi (pastinya), sudah saatnya saya berjalan lagi. Mengerjakan apa yang memang bisa dikerjakan. Berjalan lebih jauh, kata Banda Neira, karena hujan hanya di mimpi…
Now playing: Banda Neira - Berjalan Lebih Jauh
--Imam Rahmanto--
- Desember 30, 2014
- 2 Comments