Selamat Hari Ibu, Mak...

Desember 23, 2014

Baca Juga

Sumber: anneahira.com
Kata orang, tanggal 22 adalah momen yang paling penting buat Ibu. Dikenal sebagai Hari Ibu. Maka perkenankanlah saya bercerita, sedikit saja, perihal ibu saya…

***

Ibu saya bukan siapa-siapa. Ia tidak seperti Ibu Negara yang dikenal seantero nusantara. Bahkan bukan pula Ibu Lurah yang punya jabatan strategis dalam pemerintahan daerah.

Ibu saya justru biasa-biasa saja, seperti kebanyakan ibu lainnya di pelosok negeri ini. Pun, seberapa besar saya mengistimewakannya atau melebih-lebihkannya di hari istimewa kemarin, ia tetap seorang wanita tua lazimnya yang telah melahirkan dan merawat dua orang anaknya, dari kecil hingga dewasa. Ibu memang taat aturan pemerintah saat itu yang mewajibkan program Keluarga berencana: Dua anak sudah cukup!

Akh, sebenarnya usia ibu juga belum tergolong tua. Tengoklah, ia lahir tahun 1971, di masa Pak Soeharto masih berkuasa. Ia lebih muda 4 tahun dari bapak. Kehidupan yang pas-pasan di masa itu memaksa ibu memupus harapannya mengenyam pendidikan lebih tinggi selepas SD.

Ibu saya tak begitu ayu. Badannya juga setinggi wanita pada umumnya. Mungkin, kecilnya tubuh saya di masa sekolah menurun dari ibu. Ia tak pandai bersolek. Kalau ke acara kondangan, berdandan seadanya. Bapak kadang dibuat kesal karena dandanannya yang apa-adanya.

Namun entah bagaimana caranya bapak di masa muda bisa kesemsem oleh Ibu. Setahu saya, sebagian besar perempuan muda Jawa di itu memang kemayu dan kalem. Dijodohkan sekalipun, mereka biasanya akan berbesar hati. Embel-embel uang panai’ seadanya.

Jikalau berkunjung ke kampung halamannya di Jawa, kami sekeluarga akan bermukim di rumah salah seorang Simbah (baca: nenek) di desa Keting. Simbah di desa ini sebenarnya bukan orang tua kandung ibu saya, melainkan orang tua angkatnya.

Ibu pernah bercerita, di masa mudanya ia memang “diambil” anak oleh pasangan di desa Keting itu. Pasangan yang biasa-biasa saja. Bukan orang berada. Bukan pula orang terpandang. Bahkan, menurut bapak, perangai simbah cenderung menjengkelkan.

“Simbahmu itu ndak punya anak. Dulu karena Ma’e sering dolan ke Keting, jadinya diangkat anak sama Simbahmu,”

Jembatan Kendal. (Sumber: googling)
Ibu dan orang tua kandungnya sebenarnya bertempat tinggal di desa seberang, Duri Kulon, yang dipisahkan Kali Bengawan Solo. Ibu punya dua orang saudara perempuan. Di desa itu pula pusat keramaian desa yang terpisah beberapa dusun berlangsung, termasuk pasar pagi.

Dulu, jika warga desa hendak menyeberangi sungai, mereka hanya memanfaatkan rakit atau perahu yang beroperasi di pinggiran sungai. Biasanya hanya bermodalkan galah bambu.

Sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Terakhir kali saya pulang ke kampung halaman, perahu-perahu sudah menggunakan mesin. Kalau mau lebih praktis, orang-orang biasanya memutar arah tak begitu jauh melewati jembatan Kendal, bendungan Bengawan Solo. Saya jadi kangen pulang kampung..…

Karena ibu bukan orang berpendidikan, wajar jika kebiasaannya ceplas-ceplos terbawa-bawa sampai sekarang. Ngomong biasa, Ibu seakan-akan sedang jengkel. Tekanan nada suaranya memang berbeda dibanding cara orang lain berbicara. Bapak sering marah gegara sifat buruk Ibu itu. Tak ketinggalan, sifat yang satu ini nampaknya menurun pula pada anaknya yang lelaki. #fiuhh

Ibu tak pandai pula memasak. Saban hari, masakannya hampir sama. Dulu, setiap pagi, jelang anak-anaknya berangkat sekolah, Ibu hanya menyiapkan nasi goreng atau mie instan yang divariasi sedemikian rupa dengan sayur-mayur. Ala kadarnya. Serius! Ibu saya bukan orang yang pandai memasak. Justru bapak yang terkadang mengajarkan ibu caranya memasak beberapa jenis masakan dengan benar.

Saya juga terkadang kesal dengan perangai ibu yang cenderung pelit kepada kedua anaknya. Di rumah, semasa kecil, saya tak bisa makan sesuka hati. Ibu selalu menyuruh makan secukupnya. Menyisakan untuk bapak dan adik saya.

Ini ibu saya. (Foto: ImamR)
Tapi, lebih dari itu semua...

Ibu selalu memperhatikan penampilan kedua anaknya. Ibu sering kali kesal jika melihat saya memakai baju yang itu-itu-saja. Demi memakaikan baju baru, ia rela berutang di tetangga sebelah rumah yang kebetulan berdagang pakaian.

Tiap lebaran di ujung mata, ibu selalu mengajak saya ke tetangga sebelah dan memilihkan baju yang pas. Beruntung, tetangga kami orang yang ramah, dan mengerti akan kondisi keluarga kami. Ia sudah paham di luar kepala jika tiba saatnya ibu berujar, “Bayarnya belakangan ya, Haji.”

Di saat sekarang pun, kalau pulang ke rumah, ibu selalu berharap bisa membelikan sesuatu untuk saya. Baju, buah-buahan, makanan, dan segala hal yang dirasanya bisa membuat saya “hidup”. Beranjak dewasa, saya cenderung menolaknya.

Namun, berjalannya waktu. saya disadarkan bahwa orang tua memang selalu menyayangi anaknya dengan rupa-rupa pemberian. Ia selalu berharap bisa memberikan sesuatu yang memang dibutuhkan anaknya. Karena kasih sayang, selalu tak pernah pamrih. Maka terimalah semampunya apa yang diberikan orang tuamu…

Meski tak bertitel tinggi, ibu pandai menjaga shalatnya. Tak luput ia mengingatkan saya untuk shalat 5 waktu. Pun di waktu Subuh, ibu sering membangunkan. Tak ayal meski berbalas gerutuan dari saya.

“Mau sebejat apa pun kehidupan kamu, nak, jangan pernah ninggali shalatmu,” pesannya.

Dan, ketika saya berpisah dengannya, hal lain yang membuat saya merasa kehilangan, “Siapa lagi yang akan membangunkan saya jelang Subuh?”

Saya tak pernah membayangkan memiliki ibu yang lebih dari sekarang. Ibu saya tak cocok menjadi tempat mencurahkan segala perasaan dan masalah yang saya miliki. Kami tak sedekat itu. Hanya saja, ibu saya tahu bagaimana cara untuk lebih dekat pada anaknya. Ia berdoa pada Tuhan, dan Tuhan mendekatkan anaknya padanya. Bukankah segala keberhasilan yang dilalui dalam hidup ini atas doa-doanya?

Ibu juga orang yang kuat. Tegar. Ia lebih kuat dari kelihatannya. Ia tak pernah mengeluh apalagi lari dari kenyataan hidup keluarga kami. Meskipun selalu mengelami perdebatan yang tak nyaman dengan bapak. Saya tahu bagaimana kerasnya bapak. Saya terlalu sering sakit hati melihat perlakuannya pada ibu. Tapi lebih sakit lagi, ketika kanak-kanak saya tak bisa melakukan apa-apa.

Saya bangga dengan kesetiaan ibu. Ia selalu menjadi orang yang selalu ada untuk pasangannya. Seburuk apa pun bapak memperlakukannya, ia melupakannya. Ia hanya orang biasa yang berusaha menjagai bapak di luar kebiasaannya. Semenjak bapak mengidap Paraplegia, ibu menjadi orang nomor satu yang selalu ada mendampingi dan merawat keseharian bapak. Tak lepas dari peran baru ibu menjadi tulang punggung keluarga kami.

Masakan ibu selalu yang saya rindukan. Pulang ke rumah, ibu selalu bertanya, mau dimasakkan apa. Ibu selalu tahu masakan apa yang saya sukai. Masakan ibu, bukan perkara lezat atau tidaknya. Melainkan kasih sayangnya selalu dijadikan resep utama agar mengikat kerinduan anaknya untuk pulang ke rumah.

Dan…

Dulu, kepergian saya selalu menggelayuti pikirannya. Ketika saya hendak pergi, ibu lah orang yang pertama kali menangisi saya. Ia tak rela. Dari matanya, saya masih ingat, bagaimana kilau air mata yang siap menderas menyaksikan tekad bodoh anaknya. Menatap matanya itu, saya hanya bisa melelehi pipi dengan air mata. Saya memang tak berniat membendungnya. Sebagaimana semua kelelakian luruh di hadapan air mata setiap ibu.

Akan tetapi, balik keraguannya itu, ia tak hendak menghalangi. Ia membesarkan hatinya sendiri. Ia berpesan agar baik-baik saja di kehidupan yang akan saya jalani tanpanya. Saya melangkah, tanpa menoleh kepadanya lagi. Bodoh sekali. Meninggalkan sisa air matanya di bayang-bayang bapak yang sedang tertidur.

Ketika saya kembali dalam rentang waktu yang lama, ia pula orang pertama yang menyambut dengan ledak tangisannya. Ikut pula tangannya yang melayang keras di pipi saya. Saya tak peduli, karena tangisnya. Menyusul adik, dan bapak. Lagi-lagi saya tak berniat membendung air mata yang tumpah. Saya biarkan air mata setumpah-tumpahnya. Karena hari itu saya sadar, kalau kau tak bisa kembali karena bapak, maka kembalilah untuk ibu dan adikmu. Bukankah kau menyayangi ibu dan adikmu?

Yah, saya tak ingin pergi lagi. Terlalu bodoh rasanya mengabaikan kehadiran seorang ibu yang selalu melap ingus kanak-kanak saya. Karena saya telah membuatnya menangis. Membuatnya selalu bertanya-tanya kepada bapak tentang keberadaan saya. Mencemaskan anaknya yang tak pernah ingin ditemukan. Diam-diam mempelajari handphone milik bapak demi bisa memijit nomor telepon saya.

Untuk segala hal bodoh yang telah saya perbuat, maaf, Mak.

***

Saya membuka telepon di malam itu. Bertepatan hari Ibu kemarin, saya memutuskan menelepon bapak dan mendengarkan suara ibu lewatnya. Saya ingin mengucapkan, “Selamat Hari Ibu, Mak!” namun terlalu dipenuhi gengsi.

Lagipula, ibu tak pernah tahu ada perayaan semacam itu. Mungkin ia hanya akan terbengong-bengong mendengarnya. Oleh sebab itu, saya hanya bertanya kabar,

“Mak, piye kabare? Mak, lahir tahun piro?”

dan sedikit berlama-lama membicarakan apa saja dengan bapak malam itu…


--Imam Rahmanto--

Ps: Ternyata bapak lahir di hari yang sama dengan Hari Ibu. Saya juga sudah mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, meskipun ditanggapinya biasa-biasa saja. Hahaha…

You Might Also Like

6 comments

  1. Dulu, waktu saya pertama kali benar-benar akan merantau kuliah, di malam terakhir, saya mulai memasukkan beberapa barang pribadi ke dalam koper. Saya ingat ditemani dengan ibu, berselang beberapa saat, tanpa sebelumnya bertutur lewat lisan, saya tahu ibu diam-diam sedang menangis. Saya tidak berani bilang apa-apa, justru saya tersedu-sedu pula tanpa suara. Saya ingat sekali, tahu bagaimana ibu tidak pernah tidak bisa melihat anaknya pergi. :')

    BalasHapus
  2. @Awal HidayatDan yang kau alami adlah "pergi" yang sementara. :')
    Saya nyaris pergi tak ingin kembali... :'(

    BalasHapus
  3. *menyimak*

    Maka carilah sosok perempuan pendamping hidup yang menyerupai kasih sayang ibumu :)

    BalasHapus
  4. Aku selalu suka saat mendengar cerita atau membaca tulisan seseorang tentang keluarganya. Menarik banget. Baca tulisan ini juga aku langsung merinding.. Eh, kenapa musti gengsi buat ngucapin selamat Hari Ibu? Nggak ada salahnya kok..
    Mam, ibumu masih muda banget yak. Ibuku aja seusia ayahmu. Sementara ayahku lebih tua delapan tahun dari ibuku loh.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak gengsi, Dian. Cuma yang mau dikasih ucapan juga gak peduli2 amat. _ _"
      Ibuku memang masih muda. Makanya anaknya juga awet muda. :3

      Hapus