Sudahkah Kita Membaca Banyak Buku?
Desember 14, 2014Baca Juga
Alamak, ini sudah penghujung tahun 2014. Menurut Goodreads, target bacaan saya baru mencapai 70 persen, atau 35 dari 50 buku yang hendak saya selesaikan. Masih ada sekitar 15 buku lagi. Lihat, betapa sulitnya sekadar meluangkan waktu untuk membaca buku.
Saya lebih senang membaca buku (cerita) ketimbang membaca diktat kuliah. Maaf. Hal itu sudah berlangsung sejak lama. Namun baru mencapai puncaknya di tahun awal perkuliahan dulu. Apalagi dengan bergabungnya saya di lembaga jurnalistik kampus. Mau tidak mau, sebagaimana tanggung jawab yang diemban, saya harus lebih banyak belajar dari buku. Membaca. Membaca. Dan membaca.
Tugas yang diemban dulu memaksa saya harus lebih banyak belajar. Lebih banyak membaca. Lebih banyak mengamati. Lebih banyak membuka buku-buku jurnalistik. Selain mengasah kepekaan-isu-sosial, tentunya. Di samping saya selalu suka tantangan!
Karena kegandrungan membaca itulah, dan kejemuan menyimak keluhan-keluhan, cacian, curhatan, perasaan-ingin-diperhatikan di ranah facebook hingga twitter, saya mencari tempat jalan-jalan lain. Tempat yang tidak hanya sekadar menjadi “sampah” di dunia maya.
Saya lupa sejak kapan bergabung dengan jejaring sosial Goodreads. Mungkin, setahun yang lalu. Bahkan beberapa hari lalu, saya melihat ada perhelatan akbar di Jakarta oleh Goodreads Indonesia, yakni Festival Pembaca Indonesia, Akh, betapa mupeng-nya saya ingin ikut hadir dalam kegiatan seru itu. Arghh!
Berselancar di jejaring itu benar-benar membawa saya pada bayangan:
tumpukan buku yang berserakan dimana-mana. Rak-rak dengan jejeran buku dari penulis tanah air maupun penulis mancanegara. Orang-orang yang selonjoran membaca buku. Ada pula yang tidur-tiduran. Tulisan-tulisan pada buku banyak ditandai sebagai quote penting. Kotak-kotak trivia yang membahas buku tertentu. Para penulis yang berinteraksi dengan pembacanya. Diskusi-dikusi pembaca mengenai buku yang pantas direkomendasikan.
Semuanya, all about books, beserta ke-keren-an di dalamnya. Meskipun buku-buku di dalamnya tak bisa bebas dibaca, karena hanya sebatas resensi atau review. Namun pada dasarnya, disinilah tempat para pembaca berdiskusi dan berbagi tentang buku-buku yang telah (dan akan) dibaca. Keren!
Lama-lama, saya jadi tersentil melihat orang-orang yang bergabung di jejaring “berbagi-bacaan” ini. Berbagai macam latar-belakang, tua-muda, namun nyatanya mampu menyelesaikan banyak bacaan. Koleksi bukunya juga banyak. Saya tersinggung. Sebagai generasi muda yang masih harus banyak belajar, saya begitu mudahnya membenarkan segala alasan untuk meninggalkan pekerjaan membaca buku.
Dari sanalah target membaca saya bermula. Saya nyinyir pada diri sendiri,
“Sudah berapa buku kah yang saya baca dalam sehari?”
Bukan. Seminggu? Oh, tidak. Sebulan? Hm…atau mungkin setahun? Sungguh memalukan ketika kita hidup dalam dunia akademik dan lingkungannya, sementara dalam setahun kita hanya menamatkan buku yang tidak mencapai jumlah belasan. Kita lebih senang terhipnotis tayangan-tayangan televisi yang cenderung merusak moral generasi muda. Mari berhitung sendiri, ketika kecil (hingga dewasa), ada berapa jam dalam sehari kita bisa menghabiskan waktu di depan layar kaca?
Saya mencoba menantang diri sendiri. Jejaring sosial yang keren itu menjadi tempat “belajar” bagi orang-orang yang senang membaca. Termasuk dengan menyediakan “program-tantangan” bagi para pemilik akunnya.
“2014 Reading Chalenge. Imam has read 35 books toward his goal of 50 books.” Saya dan siapa saja bisa mengatur total buku yang hendak dibaca dalam setahun. Terserah, buku apa saja. Setiap buku yang telah dibaca dalam keseharian, akan ditandai pada jejaring sosial tersebut. Serunya lagi, kita bisa menandai sudah sejauh mana halaman buku yang sementara dibaca. Oiya, ada banyak fasilitas-baca di Goodreads. Termasuk menandai judul-judul buku yang ingin-dibaca.
Meskipun saya tak punya banyak koleksi buku, namun saya punya banyak “koleksi” teman. Biasanya, saya meminjam buku dari mereka. Pun kalau kehabisan stock, di kota Anging Mammiri ini masih punya banyak persediaan buku di beberapa perpustakaannya. Tidak hanya itu. Di kota seribu daeng ini juga punya beberapa perpustakaan keren yang diprakarsai oleh orang-orang maupun komunitas kreatif di Makassar. Sebut saja katakerja, Kedai Buku Jenny, Kampung Buku, dan beberapa kafe yang menyediakan buku sebagai alternatif bacaan. I like it! Lapak-lapak baca semacam itulah yang semestinya diperbanyak di kota yang katanya sedang menggiatkan gerakan gemar membaca ini.
Apa kita pernah sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar membaca?
Mungkin 10 buku dalam setahun sudah menjadi rekor paling banyak bagi sebagian orang. Namun, sadarkah kita bahwa kebiasaan membaca di negara-negara maju jauh lebih tinggi? Di Jepang, orang-orang membaca bahkan sambil berdiri.
Menurut Yoshiko Shimbun, sebuah harian nasional Jepang terbitan Tokyo, kebiasaan membaca di Jepang diawali dari sekolah. Para guru mewajibkan siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini telah berlangsung secara behaviouristik, membentuk perilaku kegemaran membaca pada masyarakat Jepang.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Tengok saja pemberitaan yang lebih banyak menohok bahwa bangsa kita ternyata sangat kurang dalam budaya baca! Dan semakin mengesalkan melihat betapa diri sendiri masih tergolong ke dalamnya. Sebagai generasi muda yang masih punya banyak letupan semangat, sudah seyogyanya membangun budaya baca sedari sekarang. Kapan pun. Dimana pun. Apa pun.
Nah, sekarang, berapa buku kah yang telah kamu baca tahun ini?
Baru-baru ini saya mendapatkan voucher belanja Gramedia senilai 200ribu. Yah, dihadiahkan oleh komunitas Blogger Anging Mammiri karena berhasil menyabet nominasi dalam lomba yang digelar bertepatan dengan hari Blogger Nasional lalu, 27 Oktober. Terima kasih. Lihat postingan disini.
“Tiket” belanja itu kemudian saya pakai untuk membeli buku keesokan harinya. Betapa menggembirakan bisa berbelanja buku lagi. Sebenarnya saya sangat ingin membeli buku “30 Paspor di Kelas Sang Profesor”. Buku yang terinspirasi dari kelas Profesor Rhenald Kasali, Guru besar Universitas Indonesia (UI). Dari beberapa referensi yang saya baca, cara mengajarnya betul-betul nyentrik. Bukunya ada 2 jilid. Coba googling saja untuk melihat review-nya.
Sayang beribu sayang, stock-nya keburu habis. Sebagai “pelarian”, saya membeli saja buku yang telah lama saya endus keberadaannya. Malangnya lagi, stock untuk seri pertamanya juga sudah habis. Jadilah saya dan seorang teman berkeliling tak tentu arah di rak-rak buku lainnya. (*)
Saya lebih senang membaca buku (cerita) ketimbang membaca diktat kuliah. Maaf. Hal itu sudah berlangsung sejak lama. Namun baru mencapai puncaknya di tahun awal perkuliahan dulu. Apalagi dengan bergabungnya saya di lembaga jurnalistik kampus. Mau tidak mau, sebagaimana tanggung jawab yang diemban, saya harus lebih banyak belajar dari buku. Membaca. Membaca. Dan membaca.
Tugas yang diemban dulu memaksa saya harus lebih banyak belajar. Lebih banyak membaca. Lebih banyak mengamati. Lebih banyak membuka buku-buku jurnalistik. Selain mengasah kepekaan-isu-sosial, tentunya. Di samping saya selalu suka tantangan!
Karena kegandrungan membaca itulah, dan kejemuan menyimak keluhan-keluhan, cacian, curhatan, perasaan-ingin-diperhatikan di ranah facebook hingga twitter, saya mencari tempat jalan-jalan lain. Tempat yang tidak hanya sekadar menjadi “sampah” di dunia maya.
Saya lupa sejak kapan bergabung dengan jejaring sosial Goodreads. Mungkin, setahun yang lalu. Bahkan beberapa hari lalu, saya melihat ada perhelatan akbar di Jakarta oleh Goodreads Indonesia, yakni Festival Pembaca Indonesia, Akh, betapa mupeng-nya saya ingin ikut hadir dalam kegiatan seru itu. Arghh!
Berselancar di jejaring itu benar-benar membawa saya pada bayangan:
tumpukan buku yang berserakan dimana-mana. Rak-rak dengan jejeran buku dari penulis tanah air maupun penulis mancanegara. Orang-orang yang selonjoran membaca buku. Ada pula yang tidur-tiduran. Tulisan-tulisan pada buku banyak ditandai sebagai quote penting. Kotak-kotak trivia yang membahas buku tertentu. Para penulis yang berinteraksi dengan pembacanya. Diskusi-dikusi pembaca mengenai buku yang pantas direkomendasikan.
Semuanya, all about books, beserta ke-keren-an di dalamnya. Meskipun buku-buku di dalamnya tak bisa bebas dibaca, karena hanya sebatas resensi atau review. Namun pada dasarnya, disinilah tempat para pembaca berdiskusi dan berbagi tentang buku-buku yang telah (dan akan) dibaca. Keren!
Lama-lama, saya jadi tersentil melihat orang-orang yang bergabung di jejaring “berbagi-bacaan” ini. Berbagai macam latar-belakang, tua-muda, namun nyatanya mampu menyelesaikan banyak bacaan. Koleksi bukunya juga banyak. Saya tersinggung. Sebagai generasi muda yang masih harus banyak belajar, saya begitu mudahnya membenarkan segala alasan untuk meninggalkan pekerjaan membaca buku.
Dari sanalah target membaca saya bermula. Saya nyinyir pada diri sendiri,
“Sudah berapa buku kah yang saya baca dalam sehari?”
Bukan. Seminggu? Oh, tidak. Sebulan? Hm…atau mungkin setahun? Sungguh memalukan ketika kita hidup dalam dunia akademik dan lingkungannya, sementara dalam setahun kita hanya menamatkan buku yang tidak mencapai jumlah belasan. Kita lebih senang terhipnotis tayangan-tayangan televisi yang cenderung merusak moral generasi muda. Mari berhitung sendiri, ketika kecil (hingga dewasa), ada berapa jam dalam sehari kita bisa menghabiskan waktu di depan layar kaca?
Sumber: myquoteshome.com |
“2014 Reading Chalenge. Imam has read 35 books toward his goal of 50 books.” Saya dan siapa saja bisa mengatur total buku yang hendak dibaca dalam setahun. Terserah, buku apa saja. Setiap buku yang telah dibaca dalam keseharian, akan ditandai pada jejaring sosial tersebut. Serunya lagi, kita bisa menandai sudah sejauh mana halaman buku yang sementara dibaca. Oiya, ada banyak fasilitas-baca di Goodreads. Termasuk menandai judul-judul buku yang ingin-dibaca.
Meskipun saya tak punya banyak koleksi buku, namun saya punya banyak “koleksi” teman. Biasanya, saya meminjam buku dari mereka. Pun kalau kehabisan stock, di kota Anging Mammiri ini masih punya banyak persediaan buku di beberapa perpustakaannya. Tidak hanya itu. Di kota seribu daeng ini juga punya beberapa perpustakaan keren yang diprakarsai oleh orang-orang maupun komunitas kreatif di Makassar. Sebut saja katakerja, Kedai Buku Jenny, Kampung Buku, dan beberapa kafe yang menyediakan buku sebagai alternatif bacaan. I like it! Lapak-lapak baca semacam itulah yang semestinya diperbanyak di kota yang katanya sedang menggiatkan gerakan gemar membaca ini.
Apa kita pernah sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar membaca?
“Anda tidak perlu harus membakar buku untuk memusnahkan budaya suatu bangsa. Hanya dengan membuat mereka berhenti membaca tentang sejarah bangsanya saja.” --RayBradbury
Mungkin 10 buku dalam setahun sudah menjadi rekor paling banyak bagi sebagian orang. Namun, sadarkah kita bahwa kebiasaan membaca di negara-negara maju jauh lebih tinggi? Di Jepang, orang-orang membaca bahkan sambil berdiri.
Menurut Yoshiko Shimbun, sebuah harian nasional Jepang terbitan Tokyo, kebiasaan membaca di Jepang diawali dari sekolah. Para guru mewajibkan siswanya untuk membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini telah berlangsung secara behaviouristik, membentuk perilaku kegemaran membaca pada masyarakat Jepang.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Tengok saja pemberitaan yang lebih banyak menohok bahwa bangsa kita ternyata sangat kurang dalam budaya baca! Dan semakin mengesalkan melihat betapa diri sendiri masih tergolong ke dalamnya. Sebagai generasi muda yang masih punya banyak letupan semangat, sudah seyogyanya membangun budaya baca sedari sekarang. Kapan pun. Dimana pun. Apa pun.
Nah, sekarang, berapa buku kah yang telah kamu baca tahun ini?
***
“Tiket” belanja itu kemudian saya pakai untuk membeli buku keesokan harinya. Betapa menggembirakan bisa berbelanja buku lagi. Sebenarnya saya sangat ingin membeli buku “30 Paspor di Kelas Sang Profesor”. Buku yang terinspirasi dari kelas Profesor Rhenald Kasali, Guru besar Universitas Indonesia (UI). Dari beberapa referensi yang saya baca, cara mengajarnya betul-betul nyentrik. Bukunya ada 2 jilid. Coba googling saja untuk melihat review-nya.
Sayang beribu sayang, stock-nya keburu habis. Sebagai “pelarian”, saya membeli saja buku yang telah lama saya endus keberadaannya. Malangnya lagi, stock untuk seri pertamanya juga sudah habis. Jadilah saya dan seorang teman berkeliling tak tentu arah di rak-rak buku lainnya. (*)
4 comments
Kalau kamu tersentil karena Googreads, aku justru tersentil gara-gara tulisanmu ini. Aku jarang banget buka Goodreads. Email notif tentang goodreads di email aja jarang aku buka, hehe.
BalasHapusEh, setelah baca ini, aku langsung menghitung buku yang aku baca tahun ini loh. Ternyata jumlahnya mengecewakan. Cuma ada 12 buku yang sudah dibaca. Sekarang masih ngelarin 2 buku, sementara masih ada 7 buku yang belum tersentuh :(
@Dian KurniatiBaca itu penting, loh... :D
BalasHapusBuku? Mana buku? Ah..
BalasHapus@Jumardan MuhammadHaha...banyak ji bukunya yayangmu, Jumardan... #ehh
BalasHapus