Disconnect!
Juli 04, 2014Baca Juga
Saya baru saja kembali dari menikmati pagi lepas Subuh. Usai melaksanakan shalat Subuh, di bulan Ramadhan, nampaknya menjadi waktu yang sunyi senyap untuk beraktivitas. Orang-orang lebih memilih untuk kembali ke pembaringannya selepas melaksanakan shalat Subuh. Ah, tidak, bahkan ada yang langsung tertidur usai sahur. Godaan untuk tidur memang semakin melenakan di kala Ramadhan tiba.
Subuh tadi, saya menemukan video yang sangat keren. Yah, keren karena isinya benar-benar "ngena" dengan kehidupan zaman sekarang.. Salah satu hal yang juga mendorong saya untuk "go out" pagi ini adalah video ini. Kehidupan kita yang lebih banyak memanfaatkan teknologi masa kini, khususnya gadget. Lewat gadget itu mereka bersosialisasi yang bukan sebenarnya sosialisasi. It's called Social Media
Zaman berlimpah teknologi ini, siapa lagi yang tak mengenal jejaring sosial di dunia maya? Facebook? Twitter? Youtube? Path? BBM? Whatsapp? Baik tua, maupun muda, semua berbondong-bondong tak ingin ketinggalan memiliki akun jejaringg sosial. Memperbanyak teman, yang maya.
Kehidupan kita tak jauh dari dunia maya. Bangun tidur, cek notifikasi. Beraktivitas, update status. Hendak makan, mengabadikan foto. Mengalami hari yang buruk, update status, lagi. Bahkan segala aktivitas yang terkait dengan dunia maya itu, kita bawa-bawa ke ranah sosial dengan orang lain. Lihat saja ketika orang-orang bertemu satu sama lain, duduk berhadapan, kepala mereka justru lebih banyak tertunduk mengamati "kehidupan lain" di balik gadget.
Berkumpul di kafe, kita justru lebih banyak berharap menikmati dunia maya lewat laptop maupun gadget yang dibawa. Saya merasa beruntung, ketika suatu kali bertemu dengan teman-teman seangkatan jurusan, dan memutuskan "ngopi" di suatu kafe. Kami menerapkan aturan; tak boleh ada yang sibuk dengan hape ataupun laptopnya. Karena pertemuan kami adalah perihal yang langka, maka kami ingin berbuat banyak dengan menciptakan quality time. Dan, betapa menyenangkannya bisa tertawa-tawa, berinteraksi, tanpa diganggu "dunia lain" di balik layar kami.
Dan...ternyata langit begitu indah jika dipandangi langsung di pagi hari. Jalan-jalan di perkotaan begitu lengang di bulan Ramadhan. Di beberapa masjid, anak-anak kecil ribut melantunkan ayat-ayat suci Quran. Di tempat lainnya, anak-anak sibuk saling melemparkan petasan sebesar kayu korek api. Di jalan-jalan juga, anak-anak berkeliaran mengendarai motor, hanya dengan berpakaian sarung dan peci. Menandakan, mereka baru saja pulang dari masjid.
Dulu, di bulan Ramadhan, kami anak-anak kecil paling suka berkumpul-kumpul lepas Subuh. usai melaksanakan Shalat Subuh, kami berdiskusi, hendak-kemana-kita atau mana-si-A-mana-si-B. Anak-anak perempuan, masih dengan mengenakan mukena-nya, berjalan bergerombol di sisian jalan menuju arah yang sama dengan kebanyakan anak lainnya. Anak-anak yang sedikit beruntung kehidupannya, menggunakan motor, berboncengan, sambil ugal-ugalan menyela anak lainnya.
Siang hari, kami juga tak hanya berdiam diri di rumah. Zaman hape belum bertebaran. Lagi, kami berencana. Di bulan Ramadhan, layangan dan mercon (kalau di daerah, namanya baraccungi) adalah permainan yang paling banyak digandrungi. Saban sore kami berlarian di pematang sawah menerbangkan layangan hingga membumbung ke angkasa. Kalau bosan, kami memutuskan benangnya, dan mengejarnya hingga tak bisa dicapai lagi.
Tentu, hal semacam itu sudah jarang kita temukan dewasa ini. Apalagi di daerah hiruk-pikuk perkotaan, yang hanya mengenal siapa-kamu-siapa-saya. Setiap rumah dibatasi pagar yang nyaris tak bisa memperlihatkan siapa pemilik rumah. Tetangga belum tentu saling mengenal satu sama lain. Akh, kata orang Makassar, "kehidupang nga".
Karena tak ingin hanya tinggal di rumah, memandangi layar laptop, saya memutuskan untuk keluar pagi ini. Sudah lama, beberapa bulan, saya tidak pernah menikmati pagi seperti ini. Padahal, saya begitu menyukai aroma udara pagi. Hawa yang tak begitu menusuk, tapi menenangkan. Kendaraan-kendaraan yang masih kosong, belum sesak penumpang yang bergelut dengan rutinitas. Kampus yang sepi. Toko-toko di depannya yang masih tutup. Halte yang masih kosong. Matahari yang masih hangat.
Bersama seorang teman, yang ingin pulang ke kost-nya, saya berjalan pagi ini. Sembari mengantarkan, saya mengamati kiri-kanan satu per satu. Bercerita. Mengobrol sepanjang jalan. Bukankah interaksi seperti itu yang benar-benar nyata?
The problem I have sits in the spaces between, looking into their eyes, or at a name on a screen. I took a step back and opened my eyes, I looked around and realised that this media we call social is anything but when we open our computers and it's our doors we shut.
Zaman berlimpah teknologi ini, siapa lagi yang tak mengenal jejaring sosial di dunia maya? Facebook? Twitter? Youtube? Path? BBM? Whatsapp? Baik tua, maupun muda, semua berbondong-bondong tak ingin ketinggalan memiliki akun jejaringg sosial. Memperbanyak teman, yang maya.
Kehidupan kita tak jauh dari dunia maya. Bangun tidur, cek notifikasi. Beraktivitas, update status. Hendak makan, mengabadikan foto. Mengalami hari yang buruk, update status, lagi. Bahkan segala aktivitas yang terkait dengan dunia maya itu, kita bawa-bawa ke ranah sosial dengan orang lain. Lihat saja ketika orang-orang bertemu satu sama lain, duduk berhadapan, kepala mereka justru lebih banyak tertunduk mengamati "kehidupan lain" di balik gadget.
Berkumpul di kafe, kita justru lebih banyak berharap menikmati dunia maya lewat laptop maupun gadget yang dibawa. Saya merasa beruntung, ketika suatu kali bertemu dengan teman-teman seangkatan jurusan, dan memutuskan "ngopi" di suatu kafe. Kami menerapkan aturan; tak boleh ada yang sibuk dengan hape ataupun laptopnya. Karena pertemuan kami adalah perihal yang langka, maka kami ingin berbuat banyak dengan menciptakan quality time. Dan, betapa menyenangkannya bisa tertawa-tawa, berinteraksi, tanpa diganggu "dunia lain" di balik layar kami.
A world self-interest, self-image, self-promotion, where we all share our best bits but leave out the emotion.
We're at our most happy with an experience we share, but is it the same if no one is there? Be there for your friends and they'll be there too, but no one will be if a group message will do.
Dan...ternyata langit begitu indah jika dipandangi langsung di pagi hari. Jalan-jalan di perkotaan begitu lengang di bulan Ramadhan. Di beberapa masjid, anak-anak kecil ribut melantunkan ayat-ayat suci Quran. Di tempat lainnya, anak-anak sibuk saling melemparkan petasan sebesar kayu korek api. Di jalan-jalan juga, anak-anak berkeliaran mengendarai motor, hanya dengan berpakaian sarung dan peci. Menandakan, mereka baru saja pulang dari masjid.
When I was child, I'd never be home. I'd be out with my friends on our bikes we would roam. I'd wear holes in my trainers and grazes up my knees. We'd build our own clubhouse, high up in the trees.
Dulu, di bulan Ramadhan, kami anak-anak kecil paling suka berkumpul-kumpul lepas Subuh. usai melaksanakan Shalat Subuh, kami berdiskusi, hendak-kemana-kita atau mana-si-A-mana-si-B. Anak-anak perempuan, masih dengan mengenakan mukena-nya, berjalan bergerombol di sisian jalan menuju arah yang sama dengan kebanyakan anak lainnya. Anak-anak yang sedikit beruntung kehidupannya, menggunakan motor, berboncengan, sambil ugal-ugalan menyela anak lainnya.
Siang hari, kami juga tak hanya berdiam diri di rumah. Zaman hape belum bertebaran. Lagi, kami berencana. Di bulan Ramadhan, layangan dan mercon (kalau di daerah, namanya baraccungi) adalah permainan yang paling banyak digandrungi. Saban sore kami berlarian di pematang sawah menerbangkan layangan hingga membumbung ke angkasa. Kalau bosan, kami memutuskan benangnya, dan mengejarnya hingga tak bisa dicapai lagi.
Tentu, hal semacam itu sudah jarang kita temukan dewasa ini. Apalagi di daerah hiruk-pikuk perkotaan, yang hanya mengenal siapa-kamu-siapa-saya. Setiap rumah dibatasi pagar yang nyaris tak bisa memperlihatkan siapa pemilik rumah. Tetangga belum tentu saling mengenal satu sama lain. Akh, kata orang Makassar, "kehidupang nga".
Karena tak ingin hanya tinggal di rumah, memandangi layar laptop, saya memutuskan untuk keluar pagi ini. Sudah lama, beberapa bulan, saya tidak pernah menikmati pagi seperti ini. Padahal, saya begitu menyukai aroma udara pagi. Hawa yang tak begitu menusuk, tapi menenangkan. Kendaraan-kendaraan yang masih kosong, belum sesak penumpang yang bergelut dengan rutinitas. Kampus yang sepi. Toko-toko di depannya yang masih tutup. Halte yang masih kosong. Matahari yang masih hangat.
Bersama seorang teman, yang ingin pulang ke kost-nya, saya berjalan pagi ini. Sembari mengantarkan, saya mengamati kiri-kanan satu per satu. Bercerita. Mengobrol sepanjang jalan. Bukankah interaksi seperti itu yang benar-benar nyata?
The time you take in all you're made just by giving life attention and how you're glad you didn't waste it by looking down at some invention.
Seperti yang dikatakan di akhir video itu, "Give people your love don't give them your "like". Disconnect from the need to be heard and defined. Go out into the world, leave distractions behind!"
Nah, saatnya untuk benar-benar menikmati hidup yang sebenarnya. Luangkan waktu bersama teman, keluarga, di luar sana,bukan di "dunia maya". Seberapa banyaknya teman di dunia maya, sungguh, betapa menyenangkannya berteman di dunia nyata.
Sedikitnya, saya akan menargetkan di bulan Ramadhan ini, semoga bisa selalu menikmati pagi seperti ini. Jalan kemana pun, menatap apapun. (*)
Nah, saatnya untuk benar-benar menikmati hidup yang sebenarnya. Luangkan waktu bersama teman, keluarga, di luar sana,
Sedikitnya, saya akan menargetkan di bulan Ramadhan ini, semoga bisa selalu menikmati pagi seperti ini. Jalan kemana pun, menatap apapun. (*)
--Imam Rahmanto--
0 comments