Sebelumnya, perkenalkan aku adalah Roni. Seorang remaja usia 17 tahun. Semua orang di sekolahku sangat suka berteman denganku. Apapun yang kuinginkan, bisa kudapatkan langsung dari ayahku. Jangankan hanya sebuah laptop, mobil pun bisa langsung kumiliki. Namun, terlalu dini bagiku untuk memiliki mobil tersebut.
Maklum, ayahku adalah salah seorang anggota DPR usungan salah satu parpol ternama. Berbagai tunjangan dari pemerintah sering didapatkannya secara cuma-cuma. Junlahnya pun bisa membelalakkan mata orang-orang di kolong jembatan sana. Masa bodoh bagiku, apakah ia korupsi atau tidak. Terpenting bagiku, aku puas dengan materiku.
Tidak lengkap rasanya jika gaji yang luar biasa dari ayahku tidak dicitrakan dengan rumah yang mewah pula. Tiap kamar di rumahku akan ditemui televisi layar datar yang dipasang di dinding rumah. Entah, apalah namanya. Bahkan di kamar Bik Inah, pembantu kami pun disediakan televisi. Jaringan internet tak pernah terputus di rumahku. Tiap kamar, aku dan dua orang adikku, dilengkapi dengan fasilitas internetan unlimited.
Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin kuceritakan, namun bukanlah hal yang penting untuk saat ini. Kini, aku bukan lagi Roni yang dulu...
Aku sudah biasa mengajak teman-teman segengku untuk jalan-jalan. Itu karena aku menghargai mereka. Sangat penting buatku bisa membuat mereka bahagia. Mereka senang, aku senang.
Namun, di antara teman sekelasku, ada satu orang yang sama sekali tidak tertarik dengan kebiasaanku, Irfan.
Jika diajak, ia menolak dengan halus. Sikapnya agak dingin, mungkin karena ia pendiam. Namun, ia adalah salah satu bintang di kelasku. Tidak pernah sekalipun dia keluar dari jajaran tiga besar peringkat kelas kami. Sayangnya, dia begitu dingin padaku. Padahal jikalau ia mau baik padaku, maka akan kuturuti smeua permintaannya.
Hingga suatu hari, sepulang sekolah, aku dipaksa ayahku menemani Pak Kus, supir ayahku untuk mencari sesuatu di pasar. Baru kali ini aku harus “terpaksa” menemani Pak Kus mnejelajahi pasar.
“Duh, ayah. Kenapa tidak cari di Mall atau Supermarket saja sih?” gerutuku di telepon.
“Di tempat seperti itu tidak akan ada. Lagipula, tidak ada salahnya kan kamu sekali-kali rasakan suasana pasar.” ujar ayahku santai dari seberang teleponnya.
Tidak ada enaknya bagiku suasana kumuh seperti ini. Sudah panas, biasanya kaki pun harus melangkah berhati-hati untuk menghindari genangan air. Ditambah lagi bau anyir macam-macam dagangan yang berbaur jadi satu. Ampun!
Namun, tak disangka-sangka aku melihat sesosok yang sangat kukenal. Irfan. Dia tampak sedang sibuk melayani seseorang. Itu kan Irfan. Kok, dia kayak jualan sesuatu?
Aha! Aku punya alasan untuk tidak ikut lebih jauh dengan Pak Kus.
“Pak Kus, aku tunggu disana saja, ya? Tuh, aku mau bareng sama temanku,” tunjukku ke arah Irfan.
“Ya, sudah. Kalau begitu kamu tunggu disana saja,” ujarnya sesaat mengedarkan pandangan ke arah telunjukku. Ia pun akhirnya seorang diri masuk ke dalam pasar.
“Hai, Irfan!” sapaku.
Irfan agak terkejut melihatku. Mungkin baru kali ini ia melihatku ada di pasar. Namun tanpa rasa canggung sedikitpun ia tetap melayani pembeli yang sedari tadi menunggu es campur buatannya. Tampak pula wanita tua di sampingnya adalah ibunya.
“Tumben, kamu ke pasar, biasanya juga ke Mall,” ucap Irfan usai melayani pembeli. Ia menawarkan segelas minumannya padaku.
“Terima kasih,” balasku menerimanya sembari duduk di sebuah bangku bersamanya.
Aku pun menceritakan alasanku hingga harus “terpaksa” ke pasar. Ia sempat menertawakanku. Disinilah aku baru merasakan perbedaan pada dirinya. Atmosfernya, tidak sedingin yang selama ini kurasakan. Mungkin saja ia selama ini lebih banyak menutup diri dari kami.
Dari sini pula aku tahu bahwa setiap harinya, Irfan harus membantu ibunya berjualan es di pasar. Ia tidak pernah merasa malu dengan pekerjaannya itu, selama masih bisa menghidupi keluarganya yang ditinggal oleh ayahnya.
Mulailah aku akrab dengan Irfan. Aku sering mengunjunginya di pasar untuk sekedar ngobrol dengannya, atau bahkan untuk mengerjakan PR bersamanya. Sejak itu, pola pikirku sedikit demi sedikit berubah. Bahkan mengenai kebanggaanku terhadap uang untuk menyenangkan teman-temanku pun berubah drastis. Ia telah mengubahnya.
“Aku ini bukanlah siapa-siapa. Namun dengan ketiadaanku ini, aku ingin berusaha untuk mewujudkan mimpiku. Mimpi tak bisa selamanya dibeli dengan uang. Mimpi yang dibayar dengan kerja keras adalah sebaik-baik impian. Kalau aku punya banyak uang dari hasil kerja kerasku, akan kuhabiskan untuk membahagiakan ibuku dan adik-adikku,” tuturnya seraya tersenyum memandang langit.
Di hari itu, aku merasakan hal yang berbeda. Ia sangat berbeda dengan teman-temanku selama ini yang selalu bisa kutawar dengan uang. Melihat sahabatku tersenyum tulus tanpa dinilai oleh uang, rasanya sangat membahagiakan. Membuatku menjadi orang yang sangat berarti dan diterima apa adanya. Aku disadarkan, ternyata selama ini uang yang kuhabiskan hanyalah untuk kesenangan, bukanlah kebahagiaan. Dan senyuman temanku kemarin bukanlah senyuman tulus sebagai seorang sahabat.
Darinya, kutemukan arti sahabat yang tak ternilai harganya. Bukan lewat uang berpuluh-puluh ribu. Namun, lewat senyumannya bisa menenteramkan hatiku.[end]
Maklum, ayahku adalah salah seorang anggota DPR usungan salah satu parpol ternama. Berbagai tunjangan dari pemerintah sering didapatkannya secara cuma-cuma. Junlahnya pun bisa membelalakkan mata orang-orang di kolong jembatan sana. Masa bodoh bagiku, apakah ia korupsi atau tidak. Terpenting bagiku, aku puas dengan materiku.
Tidak lengkap rasanya jika gaji yang luar biasa dari ayahku tidak dicitrakan dengan rumah yang mewah pula. Tiap kamar di rumahku akan ditemui televisi layar datar yang dipasang di dinding rumah. Entah, apalah namanya. Bahkan di kamar Bik Inah, pembantu kami pun disediakan televisi. Jaringan internet tak pernah terputus di rumahku. Tiap kamar, aku dan dua orang adikku, dilengkapi dengan fasilitas internetan unlimited.
Sebenarnya, masih banyak hal yang ingin kuceritakan, namun bukanlah hal yang penting untuk saat ini. Kini, aku bukan lagi Roni yang dulu...
*******
Aku sudah biasa mengajak teman-teman segengku untuk jalan-jalan. Itu karena aku menghargai mereka. Sangat penting buatku bisa membuat mereka bahagia. Mereka senang, aku senang.
Namun, di antara teman sekelasku, ada satu orang yang sama sekali tidak tertarik dengan kebiasaanku, Irfan.
Jika diajak, ia menolak dengan halus. Sikapnya agak dingin, mungkin karena ia pendiam. Namun, ia adalah salah satu bintang di kelasku. Tidak pernah sekalipun dia keluar dari jajaran tiga besar peringkat kelas kami. Sayangnya, dia begitu dingin padaku. Padahal jikalau ia mau baik padaku, maka akan kuturuti smeua permintaannya.
Hingga suatu hari, sepulang sekolah, aku dipaksa ayahku menemani Pak Kus, supir ayahku untuk mencari sesuatu di pasar. Baru kali ini aku harus “terpaksa” menemani Pak Kus mnejelajahi pasar.
“Duh, ayah. Kenapa tidak cari di Mall atau Supermarket saja sih?” gerutuku di telepon.
“Di tempat seperti itu tidak akan ada. Lagipula, tidak ada salahnya kan kamu sekali-kali rasakan suasana pasar.” ujar ayahku santai dari seberang teleponnya.
Tidak ada enaknya bagiku suasana kumuh seperti ini. Sudah panas, biasanya kaki pun harus melangkah berhati-hati untuk menghindari genangan air. Ditambah lagi bau anyir macam-macam dagangan yang berbaur jadi satu. Ampun!
Namun, tak disangka-sangka aku melihat sesosok yang sangat kukenal. Irfan. Dia tampak sedang sibuk melayani seseorang. Itu kan Irfan. Kok, dia kayak jualan sesuatu?
Aha! Aku punya alasan untuk tidak ikut lebih jauh dengan Pak Kus.
“Pak Kus, aku tunggu disana saja, ya? Tuh, aku mau bareng sama temanku,” tunjukku ke arah Irfan.
“Ya, sudah. Kalau begitu kamu tunggu disana saja,” ujarnya sesaat mengedarkan pandangan ke arah telunjukku. Ia pun akhirnya seorang diri masuk ke dalam pasar.
“Hai, Irfan!” sapaku.
Irfan agak terkejut melihatku. Mungkin baru kali ini ia melihatku ada di pasar. Namun tanpa rasa canggung sedikitpun ia tetap melayani pembeli yang sedari tadi menunggu es campur buatannya. Tampak pula wanita tua di sampingnya adalah ibunya.
“Tumben, kamu ke pasar, biasanya juga ke Mall,” ucap Irfan usai melayani pembeli. Ia menawarkan segelas minumannya padaku.
“Terima kasih,” balasku menerimanya sembari duduk di sebuah bangku bersamanya.
Aku pun menceritakan alasanku hingga harus “terpaksa” ke pasar. Ia sempat menertawakanku. Disinilah aku baru merasakan perbedaan pada dirinya. Atmosfernya, tidak sedingin yang selama ini kurasakan. Mungkin saja ia selama ini lebih banyak menutup diri dari kami.
Dari sini pula aku tahu bahwa setiap harinya, Irfan harus membantu ibunya berjualan es di pasar. Ia tidak pernah merasa malu dengan pekerjaannya itu, selama masih bisa menghidupi keluarganya yang ditinggal oleh ayahnya.
Mulailah aku akrab dengan Irfan. Aku sering mengunjunginya di pasar untuk sekedar ngobrol dengannya, atau bahkan untuk mengerjakan PR bersamanya. Sejak itu, pola pikirku sedikit demi sedikit berubah. Bahkan mengenai kebanggaanku terhadap uang untuk menyenangkan teman-temanku pun berubah drastis. Ia telah mengubahnya.
“Aku ini bukanlah siapa-siapa. Namun dengan ketiadaanku ini, aku ingin berusaha untuk mewujudkan mimpiku. Mimpi tak bisa selamanya dibeli dengan uang. Mimpi yang dibayar dengan kerja keras adalah sebaik-baik impian. Kalau aku punya banyak uang dari hasil kerja kerasku, akan kuhabiskan untuk membahagiakan ibuku dan adik-adikku,” tuturnya seraya tersenyum memandang langit.
Di hari itu, aku merasakan hal yang berbeda. Ia sangat berbeda dengan teman-temanku selama ini yang selalu bisa kutawar dengan uang. Melihat sahabatku tersenyum tulus tanpa dinilai oleh uang, rasanya sangat membahagiakan. Membuatku menjadi orang yang sangat berarti dan diterima apa adanya. Aku disadarkan, ternyata selama ini uang yang kuhabiskan hanyalah untuk kesenangan, bukanlah kebahagiaan. Dan senyuman temanku kemarin bukanlah senyuman tulus sebagai seorang sahabat.
Darinya, kutemukan arti sahabat yang tak ternilai harganya. Bukan lewat uang berpuluh-puluh ribu. Namun, lewat senyumannya bisa menenteramkan hatiku.[end]
- Oktober 28, 2011
- 0 Comments