(Imam Rahmanto) |
Maaf, ini bukan kelanjutan perjalanan #OnedaytripJogja saya tempo hari. Saya justru belum punya kesempatan lagi melanjutkan cerita itu. Sementara, tangan Tuhan kembali mendorong saya untuk menyambangi kota cagar budaya itu, beberapa hari lalu. Tepat ketika petualangan offroad saya baru saja berakhir. Akh, entahlah, Tuhan selalu punya cara untuk membuat hati saya takjub dan terkejut secara bersamaan.
Itu semacam kejutan bagi saya. Saat menutup perjalanan di Jogja, dua bulan lalu, saya pernah bertekad bakal menghirup udara di kota tersebut. Bahkan, itu bukan sekadar tekad. Melainkan keyakinan bahwa saya tidak hanya sekali menginjakkan kaki di kota istimewa tersebut. Dan…. Lumos! Hal itu terwujud tanpa terduga.
“Kamu kan orang Jawa,” tutur salah seorang redaktur dari desk bersangkutan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan penugasan "menjelajah". Padahal saya sebenarnya lebih mendalami peliputan olahraga, sebagaimana keseharian tugas saya di Makassar.
Sayangnya, kali ini, saya tak bisa menikmati keindahan Jogja secara mendetail. Nuansa Jogja hanya lamat-lamat saya rasakan lewat perjalanan “asal lewat”. Tak ada acara duduk-duduk, santai, jepret-jepret demi memenuhi memory di dalam kamera DSLR.
Satu-satunya hal yang membuat saya mendalami Jogja adalah perihal sejarah masa lalunya. Saya dipaksa belajar sejarah untuk mengungkap salah satu puzzle yang seharusnya saya temukan dalam rentang empat hari tersebut. Satu kepingan sejarah, menyebar menjadi sejarah lainnya. Cerita yang bercabang-cabang itu saya jumpai dari beberapa orang yang saya temui. Ck…padahal masa lalu untuk diikhlaskan ya? Tidak untuk dirangkai-rangkai kembali. Seharusnya kan kita move on. #ehh
Bagi saya, ini seperti skripsi dengan penelitian yang teramat mendalam. Apa yang saya lakukan selama rentang empat hari demi menguak sejarah masa lalu itu seperti seorang mahasiswa yang memecahkan hipotesis. Saya ingat, pernah juga menjadi mahasiswa berbekal penelitian untuk skripsi. Hanya saja, tidak sesulit mencari jarum di atas tumpukan jerami (milik orang lain) seperti ini.
Di kota orang, segalanya teramat terbatas. Pengetahuan terbatas. Kenalan dan jaringan yang terbatas. Pergerakan yang terbatas. Dana yang terbatas. Bahasa Jawa yang juga ikut terbata-bata. Ehem…
Kesemuanya itu jadi berbeda jika saya mengunjungi Jogja semata-mata untuk liburan. Tak ada yang mesti dikhawatirkan dari segala keterbatasan itu. Kata teman saya, "Let’s get lost!" Keterbatasan justru membuat saya semakin bersemangat menjelajahi banyak tempat.
Sayangnya, dari sisi liputan, saya dipaksa menerapkan deadline. Yah, sebut saja efisiensi waktu. Beberapa keterbatasan itu memaksa saya untuk berpikir keras dan membuatnya lebih terang. Di balik semua tuntutan wajib dari kawalan redaktur.
Jogja itu termasuk tempat yang istimewa. Dibanding kampung kami, nun jauh di seberang Bengawan Solo, mereka punya adat yang agak berbeda. Hal semacam itu pula yang membuat saya agak kikuk berinteraksi dengan para petinggi keraton. Ada kromo (tata krama) khusus dalam menghadapi orang-orang yang masih lekat dengan keturunan pemerintahan monarki atau kerajaan. Untuk bisa menembus sisi istana, tak bisa asal njeplak sebagaimana penugasan umumnya. *garuk-garuk kepala
Terlepas dari semua itu, saya masih tetap menikmati segala pengalaman baru. Perjalanan kali ini membuat saya menyadari, menyusun kepingan sejarah tidaklah semudah satu halaman di buku-buku pelajaran sekolah menengah. Bahkan, semakin saya tenggelam dan memahami kenangan-sejarah, kesimpulan dari arahan guru sekolah kian berujung bias.
Saya semakin kagum dengan beberapa penulis novel, yang memperkaya ceritanya dengan nuansa alur sejarah dan budaya. Meski fiktif, sebagian alur cerita hingga backgroundnya dibuat menyerupai hasil observasinya terhadap kebudayaan atau kepingan sejarah tertentu. Setidaknya, mereka membaca banyak referensi sebelum menentukan kisah tokoh-tokoh di dalam novel panjangnya.
Jangankan novel, para komikus Jepang pun sering kali melakukan observasi terhadap cerita-cerita yang akan dituangkannya. Mulai dari tokoh, nama, tempat, hingga jalan cerita.
Tentu saja, usaha itu bakal berbeda dengan para penulis yang sekadar menuangkan kisah fiksi berdasarkan pengalaman semata. Tak jarang, lebih mudah membuat cerita yang termehek-mehek dari hasil curhatan pribadi atau orang lain. Pun saya, sebenarnya punya ketertarikan dengan segala jenis cerita orang lain. Kepingan sejarah (berupa fakta) punya garis yang lebih tegas.
Duh. Saya harus berhenti sebentar.
Saya masih harus mengumpulkan kepingan “kenangan” Jogja yang terserak. Dua cappuccino di depan saya sudah ludes mala mini. Tak bersisa hanya untuk menemani mata saya tetap terjaga di antara keramaian mahasiswa di kafe pinggir jalan ini. Angka digital di pergelangan tangan menampilkan angka 22: 15. Dan sebenarnya masih ingin memesan segelas lagi, sayangnya….. ini masih tanggal tua.
Wajar saya semakin sulit untuk menggemukkan diri. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
- November 27, 2016
- 0 Comments