Dari Nol Kilometer

November 03, 2016

Baca Juga

Kedatangan saya di Jogja langsung disambut cukup hangat oleh kedua teman tersebut. Padahal Jogja membukakan pintunya sedemikian lembapnya. Hujan baru saja berhenti. Tersisa genangan air di beberapa ruas jalan. Hawa dingin tentu masih enggan melepas pelukannya.

"Jadi, akan kemanakah kita?" pertanyaan wajib dari siapapun pengembara yang ingin menjajal banyak tempat baru.

Kami masih berada di atas motor yang melaju saat saya sudah tak sabaran ingin merasai aroma kota ini. Sebagai teman yang lama tak berjumpa, saya juga berbincang banyak. Bertanya kabar. Bertanya waktu. Bertanya aktivitas terakhir. Tak lupa menuntaskan rindu yang telah lama dipendam. Tsaahhh...padahal kami bukan pasangan yang sedang memadu kasih. Teman perempuan saya itu, Anti, juga sudah punya pasangan, dari mantan junior saya di lembaga pers kampus yang sama.

Kami berdua membelah malam dengan mengendarai matic miliknya. Sementara teman satunya, Fathir, berkendara sendirian diantara remang-remang Jogja.

"Entahlah. Saya juga baru berapa hari disini, tidak banyak tahu tempat bagus. Tunggu Kak Fathir saja, mungkin dia punya rekomendasi," jawab Anti yang berada tepat di belakang boncengan.

Saya agak kesulitan mengejar laju kendaraan Fathir. Sebagai orang baru, saya mesti berhati-hati membelah malam di jalan-jalan protokol kota ini. Penglihatan saya juga sudah lama dikategorikan miopi. Hanya saya yang masih keras kepala tak ingin mengenakan kaca mata.

"Oh ya, nanti Kak Imam tinggal di kostnya Kak Aprisal saja nah? Karena Kak Fathir belum dapat kost-kostan juga. Masa tidak kenal dengan Aprisal?" lanjut Anti.

Agenda perjalanan saya di kota Gudeg sebenarnya sudah terencana lewat komunikasi dengannya. Urusan tempat tinggal sebenarnya bukan prioritas bagi saya. Tekad sudah bulat, tinggal dimanapun tak masalah. Malah, ketika tak ada alternatif untuk menghabiskan waktu istirahat, saya masih punya cukup persedian untuk membayar penginapan. Maklum, penginapan di Jogja tergolong bersahabat, seperti hasil browsing di internet.

Meski begitu, tak ada salahnya menumpang di salah satu kamar teman saya. Nama yang dimaksudkan Anti juga cukup familiar. Karena lama tak bersua, saya agak lupa-lupa-ingat seperti apa wajahnya. Saya memang banyak mengenal teman (junior) di kampus meski tak hafal betul namanya.

"Tapi, katanya Kak Aprisal, dia kenal sekali. Sering ketemu waktu di jurusan, apalagi di masa-masa Kak Imam pernah mengulang di kelasnya," jelas Anti lewat pesan chatting beberapa hari sebelum saya menginjakkan kaki di Jogja. Duh, bagian "mengulang"nya tidak perlu dipertegas.

Kami menyusul Fathir yang sengaja memelankan laju motor. "Bagaimana kalau kita ke Nol Kilometer-nya Jogja?" tanya Fathir di sela-sela fokus kamu yang teralih pada keramaian lalu lintas.

"Terserah kalian lah. Pokoknya saya mau menikmati kesempatan yang ada," saya menegaskan kepada mereka. Tujuan saya memang untuk menikmati keindahan kota ini.

Setahu saya, Jogja juga dikenal dengan keramaian pada malam hari. Suasananya juga kondusif. Sebagain besar tempat nongkrong justru sesak jelang tengah malam. Teramat berbeda dengan Makassar, yang berubah mengerikan jika jarum jam sudah menunjuk dia atas angka 10. Begal dimana-mana.

*** 
Dua kawan yang berbaik hati jadi guide di waktu mereka seharusnya beristirahat. (Imam Rahmanto)

Kota ini justru menggeliat di kala malam menyapa. Anak-anak muda berjalan rombongan di beberapa ruas jalan. Sebagian lagi berkendara sesukanya. Meski begitu, tak sampai ugal-ugalan. Barangkali, bagi mereka, persahabatan justru lebih rekat dari malam yang pekat.

Di tengah perjalanan, Fathir berhenti di sebuah lokasi yang cukup ramai anak-anak muda. Tugu Jogja. Lokasi tugu ini berada sebagai bundaran dari jalan protokol. Beruntung, kami tiba disana pada malam hari. Belakangan, saya baru tahu jika siang hari kendaraan jauh lebih padat melalui bundaran perempatan jalan itu. Tentu, tak ada kesempatan bisa sekadar berfoto di bawah tugu setinggi 15 meter itu.

"Kata orang Jogja, tidak afdol kalau ke kota ini dan tidak berfoto disini," ucap Fathir, yang juga baru sekali ke tempat itu. Ia baru saja menyelesaikan segala persiapannya untuk lanjut studi S2 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Keberadaannya di Jogja juga belum genap sebulan.

Tugu itu merupakan ikon simbolis kota Jogja. Menurut cerita, Tugu Jogja dulunya menjulang setinggi 25 meter dan didirikan setahun setelah Keraton. Sayangnya, monumen yang telah berusia 3 abad itu runtuh saat gempa mengguncang Yogyakarta di tahun 1867. Kaum penjajah Belanda membangunnya kembali, namun tak lagi setinggi muasalnya.

Di tugu ini ada banyak orang yang menghabiskan waktu, sekadar duduk-duduk atau mencari penghidupan. Meski sesekali masih ditingkahi kendaraan yang lewat jalur perempatan itu, namun tak sepadat siang hari.

Keramaian di tengah malam Nol Kilometer. (Imam Rahmanto)

Komunitas tertentu ikut unjuk gigi. Ini saat masa-masa Valak sedang berjaya. (Imam Rahmanto)

Tak perlu beranjak terlalu jauh, pencarian kami sampai ke titik Nol Kilometer. Di kawasan ini, lebih ramai lagi dengan anak muda. Bahkan, di sela-selanya ramai dengan berbagai dagangan barang kesenian. Selain itu, beberapa anak muda nampaknya memilih berkumpul dengan komunitasnya. Tak jarang, mereka menampilkan performance art. Kalau di Makassar, suasana semacam ini bisa ditemui di sekitar Gedung Kesenian.

Perihal dagangan, tentu saja ada banyak karya kerajinan tangan yang terpampang di hadapan kami. Bahkan, jika sudah kebelet ingin membawa pulang oleh-oleh khas Jogja, di kawasan Nol Kilometer bisa jadi alternatifnya. Kaos-kaos "mainstream" sebagai buah tangan juga banyak bertebaran di sepanjang kawasan ini.

Saya selalu tergiur dengan karya kerajinan tangan gelang. Di beberapa tempat yang saya kunjungi, tak lupa saya akan berburu gelang-gelang unik dan kreatif. Sekadar koleksi, sekaligus menambah estetika. Kalau tak mampu mengoleksi sepatu atau barang mewah lainnya, gelang juga tak mengapa.


Jangan hadapkan saya pada dagangan semacam ini. Saya bingung memilih. (Imam Rahmanto)

Hal itu yang membuat saya agak lama disana. Tak enak hati juga dengan kedua teman yang sedang menunggui penjelajahan saya. Tak lupa, saya tetap melepaskan tembakan kamera ke beberapa pengunjung. Saya lebih suka memotret ketimbang harus narsis di tempat yang saya kunjungi. Oleh karena itu, saya tak berlama-lama disana. Suasananya memang cukup keren, namun saya tak sekadar mencari keramaian seperti itu.

Bagi saya, berkunjung ke suatu tempat harus mendapatkan sesuatu yang menjadi ciri khasnya. Biasanya condong pada wisata budaya atau kultural. Kalau soal keramaian, belanja, atau mal, tak perlu jauh-jauh dari kota Makassar.

"Pulang yuk," ajak saya. "Sepertinya sudah capek." Tak enak juga melihat keduanya hanya menonton saya berjalan kiri-kanan di sepanjang Kawasan Nol Kilometer. Beberapa gelang juga sudah sempat saya amankan.

"Besok mau kemana lagi?" tanya Fathir.

"Entahlah. Nanti saya tanyakan Google dulu, baru susun jadwal sepagi-paginya," canda saya.

"Tapi, kami berdua besok pagi harus masuk kuliah perdana," lanjut Fathir.

Tak mengapa, kata saya. Tak ada yang bisa menjegal tekad saya menjelajahi kota Jogja meski hanya berbekal Google Map di tangan. Di zaman secanggih ini, masih takut kesasar? Kalau pun tanpa teman, saya tak perlu khawatir merepotkan mereka. Toh, perjalanan saya telah dimulai dari nol kilometer kota ini.

Nah, kemana lagi? (Imam Rahmanto)

...to be continued

--------

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments