Optimisme (2)

November 04, 2016

Baca Juga

"Kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di tengah2 keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam "durian runtuh" agar bisa membeli benda2 idaman, atau membayangkan hal2 lain yang menggiurkan seperti nasib baik anak2 orang kaya. Tapi, kita juga dapat memilih menjalani hidup dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orang tua sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan." --Sepatu Dahlan, Khrisna Pabichara

Kita harusnya selalu percaya bahwa ada hal-hal baik yang terus berputar di sekeliling kita. Tak terkecuali bagi orang-orang yang memang senantiasa menabur benih kebaikan setiap hari. Sekadar mengembangkan pangkal bibir pun sudah termasuk cara yang paling tulus untuk menebar kebaikan.

Berbicara soal senyum, saya banyak belajar dari bapak tua bernama Dahlan Iskan. Teramat jarang saya menemukan wajah kecut lelaki berusia 65 tahun itu. Lihat saja, kasus yang menjeratnya kini justru jadi bahan senyuman (dan perenungan) buatnya. Jauh hari, barangkali mantan menteri itu telah menduga kebaikan-kebaikan yang selalu ditebarnya bakal mengundang buah simalakama. Akh, saya sendiri tak pernah tahu bagaimana model buah yang selalu jadi metafora hal-hal sial itu.

"Kalau mau tersenyum, jangan bilang 'cheese'. Itu budaya barat. Coba saja bilang 'tempe', kita juga akan tersenyum lebar pas bilang kata itu," salah satu saran Pak Dahlan yang membekas di dalam ingatan saya.

(Foto: Idham Ama - FAJAR)

Sejujurnya, saya belum pernah bertemu beliau. Meski bekerja di bawah payung perusahaan media yang kini dinakhodai anaknya, Azrul Ananda, saya belum pernah merekam senyum beliau dari dekat. Sekali pun. Jangankan berjabat tangan, mendengar suara tawanya dari jarak sepuluh meter, saya belum pernah.

Padahal, Pak Dahlan sudah bolak-balik menikmati Coto dan keindahan panorama senja Losari. Berulang kali mengundang kegaduhan di ruang redaksi lantai 4 Graha Pena. Dalam kesempatan menebar senyumannya itu, teman-teman seangkatan saya malah lebih unggul mengabadikan foto selfie bersama beliau. Saya hanya bisa mengikutinya dari recent update BBM atau timeline Facebook. Mereka ramai memamerkan kebersamaan dengan beliau.

Bisa dibilang, pertemuan saya dengan Pak Dahlan Iskan hanya sebatas temu dimensi paralel. Maksudnya, saya mengenal sosok Dahlan Iskan hanya dari membaca dan mengamati aksinya di berbagai lini media massa. Mulai dari aksi heroiknya membuka pintu tol, nginap di rumah-rumah penduduk, hingga belakangan (dulu) saya tahu beliau mengepalai salah satu perusahaan grup media terbesar di Pulau Jawa.

Saya kagum dengan sosoknya. Jabatannya menjulang ke langit, namun jiwanya tetap membumi. Bolehlah saya berharap, kelak bisa ngobrol di warung kopi sembari menyeruput kopi-susu bersama beliau. (Karena mungkin orang sesederhana Pak Dahlan tak begitu doyan dengan minuman saya, cappuccino)

Bagi saya, mengenal lelaki yang pernah mengganti organ hatinya itu ibarat mengenal Bus Rapid Trans (BRT) di kota Makassar. Saya tahu kemana jalurnya, namun saya belum pernah mencoba bepergian dengannya, sembari duduk terkantuk-kantuk di atas kursi empuknya.

Sebelum namanya kerap dipuji-puji redaktur dan pemimpin redaksi dalam perbincangan rapat mingguan kami, saya sudah mengkhatamkan banyak cerita tentangnya. Beberapa buku yang menceritakan tentang sepak-terjang beliau tak jarang jadi pedoman bagi kami, para wartawan (kampus) untuk belajar sebagai pekerja media.

Sebut saja, biografi, kumpulan esai, hingga kumpulan tulisan ringan Pak Dahlan yang kerap diposting di situs pribadinya. Saya jadi pengunjung setianya, diantara ratusan pengagum yang meninggalkan komentar sapa atau puji.

Dua novel yang ditulis Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan dan Surat Dahlan, juga telah saya tamatkan. Keduanya berbekal dari buku pinjaman teman. Seri terakhirnya, Senyum Dahlan, masih sementara dalam genggaman saya. Seri penutup ini dirangkum oleh penulis yang berbeda, Tasaro GK. Meski fiksi, kisahnya terinspirasi dari perjalanan hidup seorang Dahlan Iskan.

Meski tak pernah duduk di hadapannya, saya merangkum banyak pelajaran dari beliau. Bukan soal pelajaran menulis berita yang baik dan benar. Melainkan soal jadi wartawan yang baik, meski terkadang kita tak selalu benar.

"Apa yang kita yakini benar belum tentu dianggap benar oleh orang lain," --Surat Dahlan, Khrisna Pabichara

Bagi kebanyakan orang tua, jadi kuli tinta itu bukan pekerjaan yang prestisius. Tak terkecuali bagi kedua orang tua saya. Apalagi, saya lahir dan dibesarkan di daerah pelosok pegunungan yang jauh dari asupan informasi. Apalah arti wartawan, yang sebagian besar penduduk pedesaan mencapnya sebagai pekerjaan "tercela". Yah, itu karena beberapa orang memanfaatkan profesi itu demi meraup keuntungan dengan cara mengintimidasi, hingga memeras. Wajar jika orang daerah merekam paradigma buruk terkait profesi itu.

Ah, sudahlah. Toh, kenyataannya, Pak Dahlan bisa menjadi figur yang disegani di Jawa Timur. Dikenal baik masyarakat-masyarakat setempat. Entah saat ia telah menjabat sebagai seorang menteri, atau justru saat masih mengepalai ratusan bawahan wartawan. Beliau memulai semuanya dari profesi wartawan itu.

Sejatinya, bagi masyarakat, seorang Dahlan Iskan selalu menjadi pusat perhatian dengan beberapa "keunikan"nya. Ciri khas - tak pernah jaim - beliau itu selalu memaksa saya langsung mengacungkan jempol.

"Kita hidup dari apa yang kita dapatkan dan kita bahagia dari apa yang kita berikan." --Surat Dahlan, Khrisna Pabichara

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Malangnya, Pak Dahlan mulai menjadi bulan-bulanan di penghujung tahun ini. Sebenarnya, saya tak banyak paham dengan kasus yang biasanya jadi gorengan wartawan kriminal itu. Kalau soal perkembangan liga sepak bola dan perkembangan olahraga lain, saya lebih paham. Saya miris saja mendapati orang-orang baik seperti Pak Dahlan mulai (berusaha) dikikis dari peredaran masyarakat.

Saya tak pernah berniat mementahkan segala perkara yang memojokkan Pak Dahlan. Ilmu saya masih cetek untuk berdebat soal aset dan penggelapan yang dituduhkan para rivalnya sebagai tindak korupsi. Nurani saya justru bertanya berulang-ulang, "Korupsikah orang sebaik Pak Dahlan?" Saya justru harus berputar haluan, dengan tegas dan polos mengatakan, "Pak Dahlan itu tulus kok (dan keren)." Entah darimana, namun saya meyakininya.

Dahlan Iskan adalah guru saya. Meski tak pernah bertemu, saya banyak menimba ilmu dari beliau. Saya tak memandangnya sebagai pemilik salah satu koorporasi media tempat saya mencari sesuap nasi. Seandainya pun saya berkiprah di perusahaan lain, saya telanjur menganggap Pak Dahlan sebagai gurunya wartawan. Tak pula sebagai seorang mantan menteri yang kini menikmati masa tuanya dengan jalan-jalan ke luar negeri. Melainkan sebagai seorang wartawan senior, yang darinya, saya menimba banyak optimisme dalam menjalani hidup.

Cara menulis berita yang benar, sejatinya bisa dipelajari dari kebiasaan mengolah bahan berita. Sementara, cara memperlakukan orang lain, tak pernah dinaskahkan dalam rentetan pelatihan jurnalistik. Kita belajar dari perjalanan sendiri dan pengalaman orang lain.

Sosok yang suka membaur dan blusukan. (Foto: Idham Ama - FAJAR)

Sayangnya, di tengah gonjang-ganjing kasus lama itu, beberapa petinggi media (yang mungkin tak pernah merasakan suka-duka sebagai seorang wartawan), justru memanfaatkan momen itu sebagai kekuatan rival perusahaan medianya. Maklum, jika petinggi perusahaan media tak pernah merasai suka-duka jurnalis di lapangan, ia takkan pernah paham bagaimana menghargai pekerjaan seorang wartawan. Segalanya hanya dinilai dari sisi untung-rugi. Sungguh mengesalkan, memang, dipimpin orang yang tak pernah menjadi apa yang dipimpinnya.

Padahal, saya berharap, gurunya para wartawan seperti Pak Dahlan punya banyak murid yang sigap bahu-membahu meredakan kemalangannya.

Saya percaya, guru para wartawan seperti Pak Dahlan selalu berusaha menebar kebaikan dimana pun. Meski terkesan "asal tabrak", namun itu semata-mata untuk berbuat hal benar. Apalagi untuk kemaslahatan banyak orang.

Terkadang, untuk menegakkan keadilan sejati, kita memang perlu mengiringinya dengan simpati dan empati. Di samping, saya tetap mencoba percaya bahwa di negara ini masih banyak orang baik...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments