Berteman dengan Tantangan

November 21, 2016

Baca Juga

(Foto: Imam Rahmanto)

Sumpek dengan suasana perkotaan, saya akhirnya bisa menemukan hiburan baru. Sedikit liburan meski kenyataannya masih dalam lingkaran pekerjaan sebagai wartawan. Saya mendapatkan tugas untuk mengikuti agenda kegiatan Indonesia Offroad Expedition (IOX). Rutenya tak begitu jauh, lantaran hanya menyusuri kawasan Makassar, Gowa, hingga Maros.

Setidaknya, saya tetap menikmatinya sebagai liburan karena menjauh dari perkotaan selama tiga hari. Dari hutan beton ke hutan yang sesungguhnya. Lagipula, yang namanya offroad selalu memberikan debar kesenangan tersendiri. Meski sudah sering membuat naskah terkait salah satu olahraga hobi ratusan juta itu, saya baru pertama berjibaku dengan lumpur, pedalaman hutan, dan suasana nge-trek asli ala-ala para offroader profesional. #aseek.

"Jangan telat bangun lagi ya," pesan redaktur. Saya menyisakan "dosa" karena lalai dari penugasan keluar kota lainnya, seminggusebelumya.

Saya terpaksa masih menahan kantuk di pagi hari. Demi tak telat lagi, saya memaksa diri untuk tetap terjaga hingga pagi. Tak ada cara lain. Selain itu, saya juga kadung bersemangat ingin menjajal perjalanan menembus hutan itu dengan bayang-bayang berkemah diantara gelapnya rimba. Ingin menjajal perjalanan ekstrem. Saya juga kan orangnya anti-mainstream.

Ada 33 kendaraan peserta offroader dalam ajang IOX tersebut. Mereka terbagi dalam tujuh tim, yang diberi nama binatang. Ada Anoa, Kancil, Anaconda, Belibis, Kijang, Lebah, dan sebagainya. Sementara, beberapa kendaraan milik panitia atau official yang jumlahnya tak sampai 10 jip menjadi tumpangan saya (bersama media lain) untuk menuntaskan misi liputan.

Percaya atau tidak, saya seperti kembali ke masa kanak-kanak dengan susuran jalan offroad tersebut.

Sesuai agenda, kami dibawa untuk meliput berbagai rintangan dan tantangan buat peserta. Selama perjalanan, kami hanya melewati jalan-jalan kecil, yang kelihatan hanya bisa dilalui jalan setapak. Jalan beraspal hanya sebagai pembuka perjalanan ekstrem sebenarnya. Bentangan itu mengingatkan saya dengan nuansa perkampungan saat masih kecil.

Hijau persawahan dan ladang di kiri kanan menyambut proses penaklukkan kecil-kecilan kami. Yah, tentu saja tak se-ekstrem trek para peserta sesungguhnya.

"Kalau kita ikut 'main' juga, bisa-bisa kita yang diurus. Bukan kita (panitia) yang mengurus mereka," ujar Rio, panitia yang mengemudikan Land Cruiser dan mengantarkan kami ke setiap titik atau trek peserta.

Akan tetapi, perjalanan mendaki gunung bukan hal yang mudah. Di atas mobil, kami tak pernah bisa tenang. Goncangan seolah jadi teman yang mesti kami rangkul selama perjalanan. Tetapi, justru hal semacam itu yang membuat kami tertawa-tawa sepanjang perjalanan. Apalagi saat kami baru saja menyeduh cappuccino sachet, yang tumpah-tumpah dari dalam bekas gelas aqua sepanjang perjalanan.

Hal begini sudah biasa. (Foto: Imam Rahmanto)
Menyenangkan pula merasakan kendaraan "monster" itu menembus medan berat. Saya sampai harus bermandikan lumpur karena nekat ikut bersama panitia yang ingin melintasi jalur berlumpur. Tetapi, tetap seru. Mana pernah lagi kita yang sudah se-gede begini pernah bermain lumpur di tengah sawah? #alibi

Saya harus akui, para penunggang mobil monster ini merupakan orang-orang yang nekat dan punya nyali. Bayangkan saja, permukaan tanah becek, berlumpur, pasir, berbatu cadas, hingga landai mampu diterobos tanpa pandang bulu.

Bagi orang awam, kondisi medan itu teramat mustahil bisa dilalui. Akan tetapi, para pengemudi offroad ini membuktikan bahwa batu-batu cadas di hadapan mobil tak mampu menghentikan kekuatan empat rodanya terus berputar. Mesin tak henti bergerung. Berbekal kerja sama para navigator maupun kru, kendaraan tetap melaju perlahan.

Mobil-mobil ban besar itu dipaksa menembus medan berat. Bahkan lintasan berlumpur juga dengan mudah diterobos. Tak jarang mobil dibuat kehilangan keseimbangan dan harus bertumpu pada salah satu sisinya. Kami, sebenarnya malah menyukai momen seperti itu. Pun, jika terbalik karena mendaki bukit terjal dengan kemiringan yang hampir mencapai 80 derajat, ada harapan di hati kecil kami agar melihatnya secara langsung. #ehh

"Kalau terbalik begitu, sudah biasa. Karena setiap mobil kan sudah dilengkapi safety memadai. Orangnya malah ketawa-ketawa dan tidak kapok mencoba lagi," cerita Rio, salah satu panitia yang selalu mengantarkan kami dengan Land Cruiser cokelatnya.

Oh ya, ada yang khas dari mobil semacam ini. Pernah dengar whinch? Semacam tali penarik bermotor yang dipasang pada setiap mobil offroad. Gunanya memang untuk menarik mobil dari jalur-jalur ekstrem. Kalau pernah menonton film Batman atau superhero lainnya, tali baja itu mirip dengan senjata yang kerap dipasang pada bumper depan kendaraan mereka. Ditembakkan, lalu mengait pada landasan atau tiang target. Sayangnya, khusus mobil offroad di dunia nyata tak punya kekuatan menembakkan semacam itu. Whinch aktif hanya bisa dikaitkan manual ke arah target yang biasanya berupa pohon besar.

Berapa harganya? Sudah saya katakan, olahraga hobi ini memakan total pengeluaran hingga ratusan juta rupiah. Untuk whinch standar saja, para offroader mesti merogoh kocek yang setara dengan harga satu motor ninja.

Mobil yang mendaki seperti itu butuh whinch untuk membantu tarikan. (Foto: Imam Rahmanto)
Di beberapa trek, saya menjumpai para offroader yang terjun langsung menghadapi tantangan lintasannya. Paling menyeramkan, menurut saya, jalur berbentuk huruf abjad "V". Jangan bayangkan lintasannya turun mulus dan kemudian menukik mulus lagi. Permukaannya justru bergelombang dan cenderung tak teratur. Permukaannya itu dipengaruhi akar-akar pepohonan di sekitarnya. Belum lagi dengan sungai kecil yang berada di bawahnya, memisahkan dua ketinggian tersebut. Dibutuhkan bantuan whinch untuk mempertahankan agar mobil tak kebablasan terjun.

Di hari berikutnya, kami pun dibawa ke jalur yang lebih ekstrem. Lokasinya di tengah hutan. Tanah landai dengan batu-batu cadas yang mencuat dari permukaan. Kemiringan pun sampai 80 derajat. Di lokasi lain, kami diperlihatkan usaha mobil yang hendak melintasi sungai yang lebarnya tak sampai 10 meter. Hanya saja, mobil harus menukik beberapa meter untuk bisa masuk ke dalam air. Jika tak beruntung, sisi depan mobil bisa menghantam dasar sungai dan membawa drivernya terbalik sama-sama.

***

Saya benar-benar menikmati damainya pegunungan tanpa beton menjulang. Semak belukar. Rumput. Sungai. Pohon. Tanah lapang. Becek. Lumpur. Seandainya langit tak mendung, ada banyak cahaya bintang yang bisa menemani perjalanan malam hari. Padahal, itu hal utama yang saya harapkan. Kota sedang tak ramah dengan sajian polusi cahayanya.

Kami juga dibawa menerobos belukar hutan dengan kendaraan 4WD. Tak ada jalur lain yang bisa dilalui untuk sampai ke tujuan. Sebagaimana jalanan itu hanya muat untuk kaki-kaki setapak.

Saat menghadapi berbagai macam rintangan pun, saya cukup dibuat kagum dengan para offroader. Mereka masih punya banyak hal untuk ditertawakan. Sekali-kali, teriakan para navigator diantara derasnya sungai mengundang tawa. Pun, di tengah keterbatasan hutan, mereka mampu bekerja sama tanpa ada prasangka satu sama lain.

Sayangnya, yang paling mengesalkan adalah terbatasnya sambungan jaringan data. Saya jadi tak berdaya tanpa GPS yang bisa dioptimalkan menjelajah kemana-mana. Sesuatu yang ingin saya tanyakan ke "mesin pencari" akhirnya menumpuk satu per satu di kepala.

"Kalau ada agenda seperti ini lagi, saya mau ikut lagi," ungkap fotografer saya.

Yah, segala hal yang mendebarkan, ternyata justru bisa menjadi candu yang menguatkan.



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments