Hujan terlalu rutin mengganggu di kota Makassar. Tiada hari tanpa hujan sudah jadi adagium yang tepat. Bolak-balik Sudiang, saya selalu diadang hujan. Deras atau gerimis.
Maaf, saya tak perlu menggerutu.
Suatu pagi dalam perjalanan menuju lokasi peliputan, hujan tetiba turun. Padahal, sejak pagi, langit tampak baik-baik saja. Remang-remang cahaya tak sedang merajuk ingin terus bersembunyi di balik awan. Langit tak cerah, tak juga mendung.
Di seisi jalan protokol, rintik air perlahan menampar wajah para pengendara motor. Memaksa mereka yang tak bermantel menepikan kendaraan. Pohon yang menjorok di pinggir jalan jadi alternatif berteduh. Stasiun pemberhentian BRT juga tak luput diramaikan para pengendara motor yang mencari perlindungan.
Pandangan saya terpaku pada langit. Di ujung sana masih benderang. Hujan nampaknya hanya turun dari separuh jalan. Separuh langit, tak ada awan pekat yang memboikot sinar matahari. Mungkin belum, asalkan laju motor saya bisa lebih pacu.
Selang perjalanan, hujan memang nampak mereda. Mungkin, lebih tepatnya, ia tertinggal di belakang. Ditahan awan pekat yang enggan beranjak lebih cepat.
Saya tersenyum. Memang, saya suka tersenyum sendiri. Biarlah kalau orang menganggap itu hal gila. Sejatinya, sebagian hidup saya memang sudah gila. Saya menyukainya. Duh, kenapa membahas tentang senyum saya?
Langit menyisakan rinai hujan di setengah perjalanan. Di sepanjang Urip Sumoharjo hingga Perintis Kemerdekaan, saya membiarkan muka dibasuh hujan. Pun, saya suka. Paling tidak, inilah cara menyapa hujan. Memeluk hujan. *hujan terlalu manis untuk dipersoalkan?
Seperti hujan setengah jalan itu, hidup berlaku demikian. Kita tak pernah tahu ada cahaya atau remang gerimis di depan sana. Apakah lebih baik berhenti menanti hujan atau menerobos tanpa perlindungan mantel hujan. Namun, Tuhan selalu menyiapkan pertanda untuk berhenti atau tetap melaju. Toh, dancing in the rain mengajarkan kita untuk menikmati hujan. Catatan: asalkan tak mudah sakit.
Sepulang dari GOR Sudiang hari ini, hujan kembali membasuh wajah. Sudah tak deras lagi. Pelan. Cukup untuk membuat badan menggigil dan suhu memuncak. Tetapi, kewajiban di kantor masih menanti. Apalagi berita yang dikirimkan via email juga mesti cross-check ulang.
Hujan memeluk sepanjang perjalanan. Beberapa genangan air memaksa laju kendaraan melambat.
"Hei... Apa kabar?"
Ada senyum manis yang dibawa pulang hujan setiap kali ia turun. Pernah, seiring hangat pelukan seseorang yang tertanam dalam gemetar tangan saya memegang kemudi. Betapa erat pelukannya, selalu menghangat dalam ingatan saya. Mungkin, perempuan itu tak menyadari, degup jantung lelakinya berirama disembunyikan deru motor yang melaju kencang. Hanya Tuhan dan hujan yang tahu.
"Kamu tak apa berhujan-hujanan begini?" tanya lelakinya. Ia sudah teramat jauh dibasuh hujan.
"Tidak apa-apa. Selama kita tetap sama-sama," jawab perempuannya singkat, sembari mengangguk, menahan dingin. Pelukannya kian erat bertumpu pada ujung kemeja lelakinya. Seandainya hujan berbaik hati, ia ingin terus menancapkan pandangannya pada bola mata si perempuan di belakang punggungnya.
Sejatinya, bukan dirinya yang dikhawatirkan tertekan gemuruh hujan. Toh, hujan sudah menjadi sahabatnya semenjak kali pertama doanya dikabulkan Tuhan. Doa untuk bapak, ibu, dan adik kecilnya, sebelas tahun silam. Hanya saja, ia terlalu khawatir kehilangan perempuannya yang baru-baru saja dirundung sakit. Kalau sudah seperti itu dan tak mampu berbuat apa-apa, ia hanya bisa merutuk kesal pada dirinya.
Sesegera mungkin, ia ingin menyelesaikan tugas liputan yang menjebaknya di balik hujan.
Bahagia terasa di satu sisi. Sayangnya, ia sadar, setiap pucuk kebahagiaan biasanya akan tertebas oleh waktu yang melaju terlalu cepat. Di tengah rintik hujan, ada momen yang ingin dibekukan dalam labirin kepalanya.
Langit meredup tanpa senja. Awan hitam masih menggantung begitu angkuh. Nyala lampu kendaraan mulai menyilaukan mata.
Hujan yang menampar wajah juga bisa mengembalikan pada kenyataan. Bahwa ternyata kita hidup di dunia serba sibuk tanpa pucuk libur. Genangan air dari hujan tak bisa disamakan dengan genangan kenangan di kepala. Ia tak pernah menguap. Menyublim untuk kemudian membeku. Meski hangatnya pelukan masih terasa menguapkan.
Maaf, saya tak perlu menggerutu.
Suatu pagi dalam perjalanan menuju lokasi peliputan, hujan tetiba turun. Padahal, sejak pagi, langit tampak baik-baik saja. Remang-remang cahaya tak sedang merajuk ingin terus bersembunyi di balik awan. Langit tak cerah, tak juga mendung.
Di seisi jalan protokol, rintik air perlahan menampar wajah para pengendara motor. Memaksa mereka yang tak bermantel menepikan kendaraan. Pohon yang menjorok di pinggir jalan jadi alternatif berteduh. Stasiun pemberhentian BRT juga tak luput diramaikan para pengendara motor yang mencari perlindungan.
Pandangan saya terpaku pada langit. Di ujung sana masih benderang. Hujan nampaknya hanya turun dari separuh jalan. Separuh langit, tak ada awan pekat yang memboikot sinar matahari. Mungkin belum, asalkan laju motor saya bisa lebih pacu.
Selang perjalanan, hujan memang nampak mereda. Mungkin, lebih tepatnya, ia tertinggal di belakang. Ditahan awan pekat yang enggan beranjak lebih cepat.
Saya tersenyum. Memang, saya suka tersenyum sendiri. Biarlah kalau orang menganggap itu hal gila. Sejatinya, sebagian hidup saya memang sudah gila. Saya menyukainya. Duh, kenapa membahas tentang senyum saya?
Langit menyisakan rinai hujan di setengah perjalanan. Di sepanjang Urip Sumoharjo hingga Perintis Kemerdekaan, saya membiarkan muka dibasuh hujan. Pun, saya suka. Paling tidak, inilah cara menyapa hujan. Memeluk hujan. *hujan terlalu manis untuk dipersoalkan?
Seperti hujan setengah jalan itu, hidup berlaku demikian. Kita tak pernah tahu ada cahaya atau remang gerimis di depan sana. Apakah lebih baik berhenti menanti hujan atau menerobos tanpa perlindungan mantel hujan. Namun, Tuhan selalu menyiapkan pertanda untuk berhenti atau tetap melaju. Toh, dancing in the rain mengajarkan kita untuk menikmati hujan. Catatan: asalkan tak mudah sakit.
***
Sepulang dari GOR Sudiang hari ini, hujan kembali membasuh wajah. Sudah tak deras lagi. Pelan. Cukup untuk membuat badan menggigil dan suhu memuncak. Tetapi, kewajiban di kantor masih menanti. Apalagi berita yang dikirimkan via email juga mesti cross-check ulang.
Hujan memeluk sepanjang perjalanan. Beberapa genangan air memaksa laju kendaraan melambat.
"Hei... Apa kabar?"
Ada senyum manis yang dibawa pulang hujan setiap kali ia turun. Pernah, seiring hangat pelukan seseorang yang tertanam dalam gemetar tangan saya memegang kemudi. Betapa erat pelukannya, selalu menghangat dalam ingatan saya. Mungkin, perempuan itu tak menyadari, degup jantung lelakinya berirama disembunyikan deru motor yang melaju kencang. Hanya Tuhan dan hujan yang tahu.
"Kamu tak apa berhujan-hujanan begini?" tanya lelakinya. Ia sudah teramat jauh dibasuh hujan.
"Tidak apa-apa. Selama kita tetap sama-sama," jawab perempuannya singkat, sembari mengangguk, menahan dingin. Pelukannya kian erat bertumpu pada ujung kemeja lelakinya. Seandainya hujan berbaik hati, ia ingin terus menancapkan pandangannya pada bola mata si perempuan di belakang punggungnya.
Sejatinya, bukan dirinya yang dikhawatirkan tertekan gemuruh hujan. Toh, hujan sudah menjadi sahabatnya semenjak kali pertama doanya dikabulkan Tuhan. Doa untuk bapak, ibu, dan adik kecilnya, sebelas tahun silam. Hanya saja, ia terlalu khawatir kehilangan perempuannya yang baru-baru saja dirundung sakit. Kalau sudah seperti itu dan tak mampu berbuat apa-apa, ia hanya bisa merutuk kesal pada dirinya.
Sesegera mungkin, ia ingin menyelesaikan tugas liputan yang menjebaknya di balik hujan.
Bahagia terasa di satu sisi. Sayangnya, ia sadar, setiap pucuk kebahagiaan biasanya akan tertebas oleh waktu yang melaju terlalu cepat. Di tengah rintik hujan, ada momen yang ingin dibekukan dalam labirin kepalanya.
Langit meredup tanpa senja. Awan hitam masih menggantung begitu angkuh. Nyala lampu kendaraan mulai menyilaukan mata.
Hujan yang menampar wajah juga bisa mengembalikan pada kenyataan. Bahwa ternyata kita hidup di dunia serba sibuk tanpa pucuk libur. Genangan air dari hujan tak bisa disamakan dengan genangan kenangan di kepala. Ia tak pernah menguap. Menyublim untuk kemudian membeku. Meski hangatnya pelukan masih terasa menguapkan.
--Imam Rahmanto--
- Maret 31, 2016
- 0 Comments