Cihampelas

Maret 24, 2016

Baca Juga

Makassar cukup panas pagi ini. Jengah rasanya diterpa debu dan polusi yang menyambut kedatangan di gerbang bandara. Padahal, baru tiga jam lalu, saya masih berkomplot dengan udara dingin. Sepuluh jam di belakangnya, hawanya masih bercampur dengan air-air tawar di sekujur lengan saya. Gerimis begitu romantis, seolah mengucapkan perpisahan dengan pendatang barunya.

***

Menunggui germis yang mereda di depan hotel. (Imam Rahmanto)
Rabu pagi, jadi kesempatan teramat luang bagi saya untuk menikmati kota Bandung. Sehari sebelumnya, saya (kami) baru saja merangkum kemenangan kedua tim sepak bola di Stadion Siliwangi. Di tengah gegap gempita kemenangan itu, tetap saja, pekerjaan sebagai pewarta menyudutkan saya di himpitan deadline.

Tak ada hujan di pagi yang cerah itu. Seperti yang saya ketahui, hari tersebut sekaligus kesempatan terakhir saya menjiwai kota Kembang.

"Besok, pulang jam berapa?" sambar redaktur saya melalui pesan singkatnya, usai naskah berita tiba di tangannya.

"Waduh. Bukan besok, Kak. Bisanya Kamis pagi?" jawab saya, sesuai rencana. Kelanjutannya, penjelasan yang sempat meragukan. Saya harus memilin otak agar segala jawaban itu jadi masuk akal. biar saya juga punya waktu lowong sehari.

Saya dan seorang teman dari media tetangga memulai penjelajahan di lokasi yang tak jauh dari hotel. Cihampelas. Kalau yang populer, namanya Ciwalk.

Lagi-lagi hanya berbekal nekat dan tanya sana-sini. Ternyata, dari pertigaan jalan Ciumbuleuit, pusat pertokoan Cihampelas bisa ditempuh hanya dengan jalan kaki. Kata Polisi lalu lintas, "Deket kok jalan kaki dari sini," tak sedekat dalam penggambaran kami.

Sebenarnya, kaki bakal pegal berjalan sepanjang lintasan. Di sepanjang Jl. Cihampelas itu memang terkenal dengan pertokoan barang-barang fan oleh-olehnya. Belum genap semeter, ada banyak pertokoan yang mengganggu mata dan memaksa untuk dikunjungi. Meski tanpa menawar, sekadar melihat-lihat.

Kata teman, di Cihampelas ada banyak barang-barang yang dijajakan dengan harga miring, khususnya pakaian model-model terbaru. Akan tetapi, saya melihat harga yang dipatok tak jauh beda dengan harga-harga pasaran. Bahkan gelang yang selalu saya buru di setiap kesempatan berbelanja, justru dibanderol dengan harga lebih mahal.

Ada beraneka ragam barang di setelah sepanjang Cihampelas. Ole-ole seperti kaos bertuliskan Bandung juga ramai ditawarkan di pinggir jalan. Mereka berpadu dengan etalase gelang kerajinan yang selalu memikat mata saya. Urusan makanan khas, beberapa toko juga terbuka lebar.

Saya tidak banyak memanjakan hasrat berbelanja disana. Saya berpikir, barang-barang semacam itu masih bisa didapatkan di Makassar. Untuk urusan ole-ole, saya lebih tertarik berburu kuliner atau penganan khas yang bisa dibawa pulang. Lagipula, gaji juga belum cair. #ehh

Seperti halnya pusat perbelanjaan Mall Ciwalk, kami urung mengunjunginya. Bagi saya, mall dimana-mana hampir sama. Apa gunanya mengagumi modernitas yang sudah menjadi makanan orang kota sehari-hari? Saya justru lebih tertarik dengan wisata budaya, sejarah, ataupun jejak kuliner yang bermacam-macam.

Perjalanan menyusur sepanjang jalan Cihampelas berujung di perempatan lampu merah. Saya dan teman berpisah untuk tujuan yang berbeda. Katanya, ia masih harus ke Cikutra untuk mengambil pesanan buku kuliahnya. Ia juga berniat melanjutkan rasa penasarannya berbelanja sepatu ke Cibaduyut. Akh, bagi saya, perjalanan ke Cibaduyut agak jauh. Apalagi masih ada beberapa tempat yang lebih dekat dan belum disambangi.

Ternyata, Cihampelas memang menjadi pusat belanja bagi pendatang di kota Bandung.

"Disana memang untuk para pendatang. Makanya harganya agak mahal gitu. Kalau Gasibu, karena dekat kampus, memang cukup terjangkau karena nyasar buat kalangan mahasiswa," terang salah seorang teman saya.

Untuk ole-ole super cepat, sebenarnya bisa jadi alternatif. Tetapi, saya masih lebih memilih Gasibu untuk variasi barang, kebutuhan, hingga campur budayanya.

***

Suara pramugari dari pengeras suara membuyarkan lamunan saya. Seperti biasa, instruksi agar mengaktifkan alat komunikasi setelah pesawat benar-benar mendarat sempurna. Saya tak menghiraukannya. Mode offline smartphone di saku celana kembali saya lepaskan.

Ada sesuatu yang agak mengganggu dan meracau pikiran belakangan ini. Pesan-pesan singkat. Kabar-kabar tak bertuan. Hujan yang tak lagi menghangat. Bosan yang menjangkit diantara ruang hati itu. Kosong.

Kota ini, Makassar, selalu menjanjikan berjuta cerita yang membuat saya pulang. Karena disinilah saya pulang dan selalu merindu...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments