Palasari, Gudang Buku
Maret 22, 2016Baca Juga
Wilujeng enjing, Bandung. Artinya, selamat pagi.
Saya baru punya kesempatan menuangkan perjalanan trip to Bandung pagi ini. Dari Palasari, saya benar-benar diterpa kelelahan. Serius, perjalanan ke Palasari (bagi orang baru) benar-benar menguras tenaga. Jaraknya cukup jauh dari tempat kami menginap, Ciumbuleuit.
Sebenarnya, semuanya bercampur jadi satu. Lelah, senang, deg-degan, cemas, -galau-. Apalagi perjalanan kemarin hanya berbekal tanya dan jalur angkot yang berbeda-beda warna dan modelnya. Modal nekat pula. Berbeda kalau di Makassar. Saya sudah hafal betul jalur angkot (pete-pete)nya.
"Di Makassar, sebutannya pete-pete, Aa'. Tetapi sama-sama angkot juga kok," logat ala Bandung.
Entah (si)apa yang bisa membangunkan saya di pagi hari. Di Makassar, saya punya kebiasaan bangun pagi lepas pukul tujuh. Bagi sebagian orang (termasuk saya), itu sudah tak pagi lagi. Kata seseorang, pagi menjadi waktu paling romantis yang diturunkan Tuhan.
Di kota lain, saya justru punya kebiasaan bangun lebih dini. Tak perlu alarm lagi. Saya teramat merindukannya. Saya bisa bangun cukup tenang dengan banyak basa-basi. Apa ini pertanda saya harus merantau lebih jauh ya? Tentu, kelak ada banyak tempat yang mesti dijelajahi.
Sejak tiba di kota Kembang ini, saya sudah menyusun beberapa daftar di dalam kepala. Sembari bertanya pada seorang teman blogger sekaligus sesama pers kampus, Ai Chintya, saya menelusuri tempat-tempat yang disebutkannya lewat dunia maya. Jaringan internet di kamar hotel cukup bagus.
"Pasar buku loak di Palasari..." Binggo!
Hormon saya langsung merajuk jika berhubungan dengan buku dan bacaan. Selain membaca, saya juga punya keinginan untuk membanjiri kamar saya dengan berbagai bahan buku bacaan. Hendak membangun perpustakaan mini. Moga-moga ini juga bisa jadi modal mas kawin sih. #ehh
Kemarin, saya punya waktu lowong sehari. Seorang kawan dari media tetangga juga sudah tiba dari Makassar. Saya jadi punya rekan perjalanan untuk merasai kota Bandung yang cukup metropolis dan gaul ini.
"Mau kemana? Tentukan dulu," tanyanya jelang tengah hari. Kami hanya menghabiskan waktu pagi hari bersantai di restoran hingga wawancara pelatihtim Sulsel di hotelnya.
"Sudah pasti. Ayo ke Palasari. Disana ada banyak buku, katanya," jawab saya lugas.
"Memangnya tahu cara kesana? Jauh ndak?"
"Beres. Sudah tanya sama OB (office boy) di depan (hotel). Teman disini (Bandung) juga katanya siap nganter kok. Kalaupuntidak, kan bisa nekat sendiri," saya menunjukkan google map di tangan. Prediksi dari peta digital itu, waktu perjalanan ke Palasari tidak butuh waktu sampai satu jam.
Akan tetapi, google map tak selalu benar soal waktu...
Dari pertigaan Ciumbuleuit, kami menumpang angkot Caheum Ciroyom menuju Dipati Ukur. Kata teman, kami seharusnya berhenti di jalur angkot yang akan ke Buah Batu, lalu turun di Palasari. Sayangnya, saya memilih bertanya pada supir angkotnya.
"Oh, turun di perempatan Surapati saja. Disana ada angkot 01 langsung ke Palasari,"
Di atas angkot, saya tak lepas memeriksa arah perjalanan kami di google map. Beberapa jalur diperhatikan seksama agar tak kesasar di jalanan. Seandainya pun kami diculik, saya bisa berteriak pada supir angkotnya, sambil menodongnya dengan kamera DSLR yang ada di balik ransel, "Berhenti, Pak! Berhenti! Atau saya jepret nih!!"hahaha...
Perjalanan sambung-menyambung trayek angkot itu terbilang cukup panjang. Itu karena angkot pertama tidak melalui jalur singkat yang mungkin bisa dilalui kendaraan biasa. Kami seolah memutar sangat jauh dari target yang dipatok google map. Wajar jika perjalanan kami bisa menghabiskan waktu lebih dari sejam.
Oiya, harga angkot di kota Bandung juga tak sama. Itu dihitung berdasarkan jauh-dekatnya jarak perjalanan penumpang. Semakin jauh, semakin mahal. Turun di Palasari, angkot kedua, kami merogoh kocek Rp14 ribu untuk dua orang. Sementara angkot pertama dari Ciumbuleuit, kisaran biayanya sekira Rp8 ribu.
Kalau di Makassar, jauh dekat tetap Rp5 ribu. Seperti halnya dengan: jauh dekat tetap di hati. #ehh
Saya tiba di Palasari jelang adzan Ashar berkumandang. Suasana di pasar buku itu nampaknya tidak seramai bayangan saya. Jejeran buku sudah terbagi-bagi dalam beberapa lapak dan kios. "Mungkin karena sudah sore, beberapa lapak sudah mulai tutup," pikir saya.
Pasar Palasari memang cukup terkenal di kalangan pelajar Bandung. Segala stok buku pelajaran atau kuliah disediakan disana. Saya cenderung melihat, buku-buku pengetahuan itu mendominasi tumpukan yang dipamerkan masing-masing pedagang. Padahal, saya berniat mencari buku-buku non-akademik.
"Ada buku Psikologi Pendidikan, A'," transaksi antara pedagang dan pembeli yang didominasi kalangan mahasiswa dengan daftar belanjaan di tangannya.
Harganya pun beraneka ragam. Disesuaikan dengan kelangkaan atau kepopuleran buku yang dijajakan disana.
Bagi yang mencari buku loak, buku bekas, atau terbitan lama, Palasari bisa menjadi pilihan. Sayangnya, saya agak mewanti-wanti jika ingin mencari buku populer yang juga diterbitkan di toko-toko buku pada umumnya. Kisaran harganya tak jauh beda.
Di beberapa kios yang saya datangi, hampir semuanya hanya memberikan diskon 30-40 persen dari harga aslinya. Semisal buku terbaru Dee, Intelegensi Embun Pagi, masih dipatok dengan harga asli tidak kurang dari Rp100 ribu. Jika didiskon, bisa dibawa dengan banderol harga Rp70-80ribuan. Buku karangan Tasaro GK, tiga seri Muhammad juga tak jauh berbeda.
Bagi pembaca dan kolektor buku seperti saya, lebih baik jika membeli buku-buku populer dari toko resmi. Meski harganya sedikit lebih mahal, kualitasnya jauh lebih baik. Tak ada yang bisa menjamin harga murah disana, mendapatkan buku yang kualitasnya baik, kecuali ala kadarnya saja.
Yah, terlepas dari itu, Palasari bisa menjadi ladang buku bagianak-anak kuliahan. Novel terbitan lama pun bisa dibanderol dengan cukup murah. Karya-karya yang sudah tak terbit di pasaran bisa dicari di Pasar Palasari. Saya mendapatkan beberapa karya Pramoedya Ananta Toer terpajang cukup apik di beberapa kios. Hanya Nyanyian Seorang Bisu yang saya bawa pulang.
Nah, hunting buku di pasar Palasari tetap bisa mengobati mata. Asalkan tak usah berharap muluk-muluk mendapatkan buku berkualitas baik, dengan harga yang sangat murah. Patokannya hanya 30-40 persen saja. Kecuali, beli buku secara borongan atau mahir dalam ilmu tawar menawar.
Saya ingat betul, kami keluar dari Palasari saat angka jam sudah menunjukkan pukul setengah lima. Bergegas mencari angkot di tempat kami tiba sebelumnya. Berdasar pengalaman saya, kami bisa kembali mengambil rute angkot sebelumnya. Tinggal membalik arahnya.
Tanpa disangka, perjalanan kami memang teramat jauh. Angkot masih harus memutar dulu ke arah timur, menuju jalur rel kereta api.
"Ini kita kesasar kayaknya yah?" saya bertanya sembari memperhatikan jalur google map yang melenceng sangat jauh.
Sebenarnya, teman dari Bandung sudah mengingatkan lewat pesan di BBM. Instruksinya cukup lengkap. Alih-alih bertanya pada supir angkot, saya justru memilih diam saja sembari tetap memperhatikan keadaan jalan. Saya juga agak risih bertanya pada supir angkotnya yang terlihat masih muda dan tak berhenti mengobrol dengan tiga orang teman gaulnya di depan.
Beruntung, sesuai dugaan, jalurnya tidak berbeda dengan jalur sebelumnya. Kami tiba di perempatan Surapati dan mencari kembali angkottrayek Caheum Ciroyom. Di pinggir jalan, kami masih sempat merasai Batagor ala Bandung. Sebenarnya di Makassar sudah banyak jenis Batagor. Saya cuma mau mencoba rasa berbeda menyantap di kota asalnya.Tak jauh beda sih.
Tiba di hotel, waktu sudah nyaris menunjukkan angka tujuh.
Saking lelahnya, rencana malam hari ke Punclut pun kami tunda. Mungkin, waktu berikutnya...
Saya baru punya kesempatan menuangkan perjalanan trip to Bandung pagi ini. Dari Palasari, saya benar-benar diterpa kelelahan. Serius, perjalanan ke Palasari (bagi orang baru) benar-benar menguras tenaga. Jaraknya cukup jauh dari tempat kami menginap, Ciumbuleuit.
Sebenarnya, semuanya bercampur jadi satu. Lelah, senang, deg-degan, cemas, -galau-. Apalagi perjalanan kemarin hanya berbekal tanya dan jalur angkot yang berbeda-beda warna dan modelnya. Modal nekat pula. Berbeda kalau di Makassar. Saya sudah hafal betul jalur angkot (pete-pete)nya.
"Di Makassar, sebutannya pete-pete, Aa'. Tetapi sama-sama angkot juga kok," logat ala Bandung.
***
Entah (si)apa yang bisa membangunkan saya di pagi hari. Di Makassar, saya punya kebiasaan bangun pagi lepas pukul tujuh. Bagi sebagian orang (termasuk saya), itu sudah tak pagi lagi. Kata seseorang, pagi menjadi waktu paling romantis yang diturunkan Tuhan.
Di kota lain, saya justru punya kebiasaan bangun lebih dini. Tak perlu alarm lagi. Saya teramat merindukannya. Saya bisa bangun cukup tenang dengan banyak basa-basi. Apa ini pertanda saya harus merantau lebih jauh ya? Tentu, kelak ada banyak tempat yang mesti dijelajahi.
Sejak tiba di kota Kembang ini, saya sudah menyusun beberapa daftar di dalam kepala. Sembari bertanya pada seorang teman blogger sekaligus sesama pers kampus, Ai Chintya, saya menelusuri tempat-tempat yang disebutkannya lewat dunia maya. Jaringan internet di kamar hotel cukup bagus.
"Pasar buku loak di Palasari..." Binggo!
Hormon saya langsung merajuk jika berhubungan dengan buku dan bacaan. Selain membaca, saya juga punya keinginan untuk membanjiri kamar saya dengan berbagai bahan buku bacaan. Hendak membangun perpustakaan mini. Moga-moga ini juga bisa jadi modal mas kawin sih. #ehh
Kemarin, saya punya waktu lowong sehari. Seorang kawan dari media tetangga juga sudah tiba dari Makassar. Saya jadi punya rekan perjalanan untuk merasai kota Bandung yang cukup metropolis dan gaul ini.
Tak usah ngeri dengan wajah sangarnya. Teman saya itu sedang mencari buku Tan Malaka dan Ilmu Sosial lainnya. (Foto: ImamR) |
"Sudah pasti. Ayo ke Palasari. Disana ada banyak buku, katanya," jawab saya lugas.
"Memangnya tahu cara kesana? Jauh ndak?"
"Beres. Sudah tanya sama OB (office boy) di depan (hotel). Teman disini (Bandung) juga katanya siap nganter kok. Kalaupuntidak, kan bisa nekat sendiri," saya menunjukkan google map di tangan. Prediksi dari peta digital itu, waktu perjalanan ke Palasari tidak butuh waktu sampai satu jam.
Akan tetapi, google map tak selalu benar soal waktu...
Dari pertigaan Ciumbuleuit, kami menumpang angkot Caheum Ciroyom menuju Dipati Ukur. Kata teman, kami seharusnya berhenti di jalur angkot yang akan ke Buah Batu, lalu turun di Palasari. Sayangnya, saya memilih bertanya pada supir angkotnya.
"Oh, turun di perempatan Surapati saja. Disana ada angkot 01 langsung ke Palasari,"
Di atas angkot, saya tak lepas memeriksa arah perjalanan kami di google map. Beberapa jalur diperhatikan seksama agar tak kesasar di jalanan. Seandainya pun kami diculik, saya bisa berteriak pada supir angkotnya, sambil menodongnya dengan kamera DSLR yang ada di balik ransel, "Berhenti, Pak! Berhenti! Atau saya jepret nih!!"hahaha...
Perjalanan sambung-menyambung trayek angkot itu terbilang cukup panjang. Itu karena angkot pertama tidak melalui jalur singkat yang mungkin bisa dilalui kendaraan biasa. Kami seolah memutar sangat jauh dari target yang dipatok google map. Wajar jika perjalanan kami bisa menghabiskan waktu lebih dari sejam.
Oiya, harga angkot di kota Bandung juga tak sama. Itu dihitung berdasarkan jauh-dekatnya jarak perjalanan penumpang. Semakin jauh, semakin mahal. Turun di Palasari, angkot kedua, kami merogoh kocek Rp14 ribu untuk dua orang. Sementara angkot pertama dari Ciumbuleuit, kisaran biayanya sekira Rp8 ribu.
Kalau di Makassar, jauh dekat tetap Rp5 ribu. Seperti halnya dengan: jauh dekat tetap di hati. #ehh
Pasar Palasari. (Foto: ImamR) |
Pasar Palasari memang cukup terkenal di kalangan pelajar Bandung. Segala stok buku pelajaran atau kuliah disediakan disana. Saya cenderung melihat, buku-buku pengetahuan itu mendominasi tumpukan yang dipamerkan masing-masing pedagang. Padahal, saya berniat mencari buku-buku non-akademik.
"Ada buku Psikologi Pendidikan, A'," transaksi antara pedagang dan pembeli yang didominasi kalangan mahasiswa dengan daftar belanjaan di tangannya.
Harganya pun beraneka ragam. Disesuaikan dengan kelangkaan atau kepopuleran buku yang dijajakan disana.
Bagi yang mencari buku loak, buku bekas, atau terbitan lama, Palasari bisa menjadi pilihan. Sayangnya, saya agak mewanti-wanti jika ingin mencari buku populer yang juga diterbitkan di toko-toko buku pada umumnya. Kisaran harganya tak jauh beda.
Di beberapa kios yang saya datangi, hampir semuanya hanya memberikan diskon 30-40 persen dari harga aslinya. Semisal buku terbaru Dee, Intelegensi Embun Pagi, masih dipatok dengan harga asli tidak kurang dari Rp100 ribu. Jika didiskon, bisa dibawa dengan banderol harga Rp70-80ribuan. Buku karangan Tasaro GK, tiga seri Muhammad juga tak jauh berbeda.
Bagi pembaca dan kolektor buku seperti saya, lebih baik jika membeli buku-buku populer dari toko resmi. Meski harganya sedikit lebih mahal, kualitasnya jauh lebih baik. Tak ada yang bisa menjamin harga murah disana, mendapatkan buku yang kualitasnya baik, kecuali ala kadarnya saja.
Nah, hunting buku di pasar Palasari tetap bisa mengobati mata. Asalkan tak usah berharap muluk-muluk mendapatkan buku berkualitas baik, dengan harga yang sangat murah. Patokannya hanya 30-40 persen saja. Kecuali, beli buku secara borongan atau mahir dalam ilmu tawar menawar.
Banyak buku di Palasari. (Foto: ImamR) |
***
Saya ingat betul, kami keluar dari Palasari saat angka jam sudah menunjukkan pukul setengah lima. Bergegas mencari angkot di tempat kami tiba sebelumnya. Berdasar pengalaman saya, kami bisa kembali mengambil rute angkot sebelumnya. Tinggal membalik arahnya.
Tanpa disangka, perjalanan kami memang teramat jauh. Angkot masih harus memutar dulu ke arah timur, menuju jalur rel kereta api.
"Ini kita kesasar kayaknya yah?" saya bertanya sembari memperhatikan jalur google map yang melenceng sangat jauh.
Sebenarnya, teman dari Bandung sudah mengingatkan lewat pesan di BBM. Instruksinya cukup lengkap. Alih-alih bertanya pada supir angkot, saya justru memilih diam saja sembari tetap memperhatikan keadaan jalan. Saya juga agak risih bertanya pada supir angkotnya yang terlihat masih muda dan tak berhenti mengobrol dengan tiga orang teman gaulnya di depan.
Beruntung, sesuai dugaan, jalurnya tidak berbeda dengan jalur sebelumnya. Kami tiba di perempatan Surapati dan mencari kembali angkottrayek Caheum Ciroyom. Di pinggir jalan, kami masih sempat merasai Batagor ala Bandung. Sebenarnya di Makassar sudah banyak jenis Batagor. Saya cuma mau mencoba rasa berbeda menyantap di kota asalnya.Tak jauh beda sih.
Tiba di hotel, waktu sudah nyaris menunjukkan angka tujuh.
Saking lelahnya, rencana malam hari ke Punclut pun kami tunda. Mungkin, waktu berikutnya...
Saya hanya membawa pulang buku ini. Sebagian karena penasaran, sisanya karena buku lama. (Foto: ImamR) |
--Imam Rahmanto--
0 comments