Pernah Anak-anak
Maret 01, 2016Baca Juga
Anak-anak saling dorong. Tertawa. Yang didorong hanya bisa menahan topang tubuhnya sambil mengibaskan tangan ke arah belakang. Teman lain di belakangnya pun ikut menimpali. Justru membantu teman di depannya mendorong anak paling depan. Lagi, tertawa malu-malu.
"Hayo, siapa yang bermental juara mau naik kesini bernyanyi? Saya beri hadiah loh," begitulah kata seorang pemandu acara, pagi kemarin. Saya sedang ditugasi liputan pagi.
Lelaki kocak itu sedang berdiri di hadapan ratusan anak SD yang hendak mengikuti ajang sepak bola di Lapangan Gelora Hasanuddin. Untuk itu pula, anak-anak yang telah berjejer rapi saling dorong sembari berteriak, "Dia! Saya! Dia!! Saya", tanpa lupa mendorong-dorong 'korban'nya.
Tentu, anak kecil selalu malu-malu meski sejatinya mau-mau (banget). Kata "saya" pun sebenarnya hanya jadi senjata untuk mengerjai temannya. Padahal mereka ingin mengerjai temannya. Saya, pernah, begitu. Sungguh, pemandangan yang tetiba membawa ingatan saya berselancar puluhan tahun.
Tingkah anak-anak itu tak jauh berbeda di masa kami dahulu. Saling menunjuk dan iseng kepada teman-temannya. Tak jarang, satu sama lain bakal saling menyalahkan. Yang didorong merasa risih dan menjawil kepala temannya. Ujung-ujungnya saling ketawa.
Mengawali pagi itu, mata masih agak berat, ternyata mulut bisa terbuka lebar menyunggingkan senyum. Seriusan, ada kebahagiaan tersendiri mendapati anak-anak bertingkah semacam itu.
Betapa segala hal yang ditemui di kehidupan nyata terkadang tak henti menguras ingatan. Semacam deja vu masa lalu. Seolah-olah pikiran (memang) berkata, "Dulu saya seperti itu."
Di masa kanak-kanak, saya termasuk anak yang tingkat kejahilannya (bukan kejahiliyahan) cukup tinggi. Pun, parahnya, saya gemar mengerjai teman-teman saat sedang shalat. Tangan sengaja dibuka lebar-lebar ketika takbiratul ihram hingga mengenai kawan di sebelah saya. Telapak kaki kiri sengaja dimainkan saat duduk tahiyat akhir hingga menggelitiki paha teman di sebelah.
Tak heran, banyak anak-anak yang enggan bersebelahan dengan saya. Ya Tuhan, ampuni saya....
Di sekolah, saya gemar mencari semut hitam. Bukan semut yang gemar merubungi makanan manis. Melainkan semut besar yang biasa bertebaran di semak-semak atau permukaan tanah lembab. Kalau bahasa Duri (Enrekang), disebutnya lintik pana.
Semut ini menyengat lewat pantatnya. Seperti lebah. Oleh karena itu, saya kerap memotong bagian pantatnya yang masih bersengat. Selanjutnya, menempelkan pada jari telunjuk dan menyengat teman-teman saya. Caranya? Sentuhkan saja jari telunjuk yang ada sengatnya pada lengan teman lain. Dijamin, lengan teman itu bakal membengkak seperti disengat lebah. Wajar ketika di kalangan kami anak-anak kecil dulu muncul mitos bahwa: untuk mengurangi rasa sakit saat disuntik, maka alihkan dengan sengatan semut hitam. Duh
Ada beraneka ragam tingkat keisengan yang pernah saya perbuat. Tapi...sudahlah. Agak memalukan juga menyebutnya satu persatu. _ _"
***
Lapangan sangat berlumpur pagi itu. Hujan yang mengguyur sepanjang hari tak kunjung memberi ruang bagi sinar matahari. Anak-anak terpaksa bertanding dalam keadaan becek, seperti bermain di petak sawah.
"Tidak jauh beda dengan bermain di sawah. Yang membedakan cuma jersey-nya saja," ujar saya pada teman di sebelah.
Di masa kanak-kanak, kami tak pernah mempersoalkan jumlah pemain yang harus sebelas orang. Tak pernah berdebat soal pakaian yang tidak seragam. Enggan menentukan siapa yang memimpin jalannya pertandingan. Tak peduli dimana garis batas adu penaltinya. Tak ada yang mau jadi bek atau pemain belakang, atau bahkan pelatih. Semuanya berlomba-lomba jadi striker dan menyerang lawan.
Satu hal yang kami tahu: menggocek bola sampai ke gawang lawan. Mau lumpur atau tanah kering, tak ada yang mempersoalkan. Asalkan kami bisa tertawa dan menang banyak gol, itu sudah cukup. Nah, betapa membahagiakannya sebuah pertandingan zaman sekarang jika sudah melipir jiwa-jiwa semacam itu. Berbahagia tanpa ribut gengsi.
Saya rindu bermain bebas seperti ini. (Foto: Kompas) |
Meski becek, pertandingan di Lapangan Hasanuddin itu memberikan hiburan tersendiri bagi masyarakat. Saya ikut bersorak tatkala beberapa anak sampai di mulut gawang. Permukaan lapangan yang berlumpur membuat bola sulit bergulir. Ditendang sedikit, bola berhenti sebelum ditangkap langsung oleh kiper lawan. Dua gol dari masing-masing tim yang bertanding bahkan dicetuskan lewat tendangan bebas-yang-lepas-dari-tangan-kiper-karena-bolanya-licin. Penonton tak ketinggalan tertawa dan bersorak saat gol tercipta.
Penonton terhibur. Paling tidak, masing-masing mungkin berpikir, "Kami pernah sepolos itu."
Deja vu...
***
Sayangnya, anak-anak zaman sekarang sudah tak polos lagi. Ditanya lagu kesukaannya, dua diantara mereka yang naik panggung hanya senang mendendangkan lagu Aliando dan Ayu Tingting. Mereka bahkan lebih hafal lirik lagunya ketimbang saya. #tepokjidat
--Imam Rahmanto--
0 comments