#part-2
Karena tahu rasanya pergi, maka saya benar-benar tahu rasanya menghargai kebersamaan itu. Saya yang amat jarang duduk mengobrol bersama bapak, di rumah, mencari cara meluapkan momen itu. Tak peduli jika kami hanya duduk hening. Ditingkahi gambar-gambar bergerak di televisi. Mengomentarinya artisnya. Mencibir para koruptor. Atau mungkin berbicara hal-hal tak penting lainnya, seperti kartu seluler mana yang memberikan bonus nelepon paling banyak?
“Itu kok presiden gak tegas begitu,” komentar bapak saya di depan televisi. “Mbok ya ndak usah takut sama Bu Mega tah,”
Quality time. Orang-orang menyebutnya demikian. Jika ingin membangun hubungan yang baik, maka ciptakanlah waktu bersama. Mengobrol berhadap-hadapan jauh lebih baik ketimbang mengobrol lewat seluler atau akun-akun jejaring sosial di dunia maya sekalipun. Saya belajar merasai kebersamaan yang dulu pernah saya enyahkan itu.
Pernah menonton film I'm Not Stupid too? Film asal Singapura itu mengajarkan pentingnya waktu bersama keluarga. Seorang anak kecil, Jerry, ingin membeli waktu ayahnya. Ia menganggap, ayahnya tak pernah punya waktu untuknya. Ayahnya terlalu disibukkan oleh pekerjaan di kantor. Padahal, meski hanya sejam saja, Jerry ingin ayahnya melihat ia mementaskan drama di sekolahnya. Oleh karena itu, ia berusaha mengumpulkan uang demi bisa membeli waktu ayahnya, sebagaimana kantor membayarnya sebagai konsultan $50 per jam.
Suatu ketika, Jerry kedapatan mencuri. Ia dipukuli ayahnya, yang tak habis pikir, bagaimana anaknya bisa mencuri. Sementara, semua permintaan Jerry selalu dipenuhi. “Aku..hanya ingin membeli waktu ayah satu jam saja untuk menghadiri pentas dramaku. tapi untuk mencapai 500 dolar, aku harus menunggu sampai tahun depan. Dan saat itu pentas dramaku sudah berakhir,” ujar Jerry sambil terisak ketika dipukuli ayahnya.
Betapa waktu bersama keluarga adalah hal berharga. Saya menyadari hal itu, semenjak bapak selalu menelepon sekadar menanyakan kabar. Atau berbincang hal-hal yang sebenarnya sudah jelas baginya. Ia rindu mengobrol dengan anak lelakinya.
“Sekarang aku lebih suka nonton beginian,” ujar bapak sesaat mengganti channel di acara keagamaan Mamah Dedeh. Di layar tivi, Mamah dedeh sedang melayani pertanyaan para penonton.
Wajar, nampaknya bapak sekarang lebih banyak memperbaiki sisi religiusnya. Semenjak paraplegia menggerogotinya, ia tak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu. Berdzikir saban usianya, dan membaca Al-Qur’an sedikit demi sedikit.
“Aku sekarang sudah mulai ngapal Quran juga loh,” timpal bapak, "tapi belum sampai juz satu."
Ia mematut kitab suci itu di tangannya, sembari mengukur-ukur tali karet yang saya temukan dari dalam kamar. Ia hendak membuatkan pembatas bagi kitab yang sudah lecek itu. Warna kertasnya sudah kecokelat-cokelatan. Sampulnya sudah nyaris terlepas.
“Kok tidak pakai Al Quran yang dari Mekah itu saja, Pa'? Yang hadiah dari Paklik Peno” saya teringat dengan pemberian seorang paman yang pernah menginjakkan kaki di tanah suci Mekah. Di dalam kamar, saya juga mendapati kitab itu masih tersimpan amat rapi.
“Tulisannya agak kecil. Lebih enak baca yang ini,” jawabnya seraya mengelus-elus sampulnya yang sudah tak halus lagi, membentuk alur tak beraturan karena dihujani panas dan dingin.
Dulu, kata bapak, kitab itu adalah mahar pernikahannya dengan ibu. Seperangkat alat shalat dibayar tunai. Pun, sajadahnya, masih saya jumpai hingga kini. Ditambah dengan uang sebesar Rp 5ribu (atau Rp 6ribu).
Perihal menikahi seorang gadis, amat berbeda dengan zaman sekarang yang butuh mahar berlipat-lipat. Apalagi di daerah Sulsel yang menerapkan uang panaik. Besarnya panaik tergantung kecantikan, keturunan, hingga pendidikan si gadis. Saya terkadang berpikir, ada “transaksi” jual-beli yang tega dilakoni bapak-ibunya demi merelakan si anak gadis dinikahi orang. Ckckck…
Sudahlah, membahas pernikahan masih belum sampai di kebutuhan hidup saya. Mencari pendamping hidup pun hingga kini masih tersandung kesana-kemari. Luka, luka….#ambil Hansaplast
Melihat bapak begitu antusias mendalami sisi religiusnya, saya jadi tersentil. Di saat anaknya perlahan mulai melubangi shalat lima waktunya, ia justru sregep (rajin) menunaikannya.
Sejujurnya, semakin usia saya bertambah, entah kenapa saya mulai menjauhi Tuhan. Bukan dalam artian yang sebenarnya. Melainkan dalam artian segala ibadah untuk mendekatkan diri padanya mulai berguguran sedikit demi sedikit. Perasaan gelisah saya ketika tidak menjalankannya pun sedikit demi sedikit mulai tercerabut. Terkadang, ada suatu momen, saya tak merasa gelisah jika meninggalkan waktu shalat itu.
Kebiasaan saya bangun pagi, sedikit demi sedikit tergerus hingga terpaksa shalat out of time. Beberapa aktivitas yang merongrong waktu, terkadang tidak memberikan kesempatan untuk menunaikannya. Atau sebenarnya di dalam hati saya tidak menenamkan tekad untuk mencari waktu saja. Alhasil, semakin hal itu berlangsung, semakin perasaan saya menganggapnya hal biasa. Kalau dibiarkan, ke-biasa-an itu akan menjadi kebiasaan.
“Kamu mesti rajin-rajin shalat, nak. Dunga, doa yang banyak,” pesan bapak.
Tentu saja, Pa’. Pasti...
Rumah, selalu menjadi tempat saya menempa ulang kehidupan. Kepulangan saya disana sebagai langkah awal membangun kembali segala hal yang telah saya biarkan tercecer beberapa tahun belakangan. Saya ingin menanamnya kembali. Memupuknya. Merawatnya. Menyiangi ilalang yang sedemikian tingginya. Hingga kelak menyemainya sebagai sesuatu yang membanggakan...
[bersambung]
Karena tahu rasanya pergi, maka saya benar-benar tahu rasanya menghargai kebersamaan itu. Saya yang amat jarang duduk mengobrol bersama bapak, di rumah, mencari cara meluapkan momen itu. Tak peduli jika kami hanya duduk hening. Ditingkahi gambar-gambar bergerak di televisi. Mengomentarinya artisnya. Mencibir para koruptor. Atau mungkin berbicara hal-hal tak penting lainnya, seperti kartu seluler mana yang memberikan bonus nelepon paling banyak?
“Itu kok presiden gak tegas begitu,” komentar bapak saya di depan televisi. “Mbok ya ndak usah takut sama Bu Mega tah,”
Quality time. Orang-orang menyebutnya demikian. Jika ingin membangun hubungan yang baik, maka ciptakanlah waktu bersama. Mengobrol berhadap-hadapan jauh lebih baik ketimbang mengobrol lewat seluler atau akun-akun jejaring sosial di dunia maya sekalipun. Saya belajar merasai kebersamaan yang dulu pernah saya enyahkan itu.
Sumber: writingsoflife.com |
Pernah menonton film I'm Not Stupid too? Film asal Singapura itu mengajarkan pentingnya waktu bersama keluarga. Seorang anak kecil, Jerry, ingin membeli waktu ayahnya. Ia menganggap, ayahnya tak pernah punya waktu untuknya. Ayahnya terlalu disibukkan oleh pekerjaan di kantor. Padahal, meski hanya sejam saja, Jerry ingin ayahnya melihat ia mementaskan drama di sekolahnya. Oleh karena itu, ia berusaha mengumpulkan uang demi bisa membeli waktu ayahnya, sebagaimana kantor membayarnya sebagai konsultan $50 per jam.
Suatu ketika, Jerry kedapatan mencuri. Ia dipukuli ayahnya, yang tak habis pikir, bagaimana anaknya bisa mencuri. Sementara, semua permintaan Jerry selalu dipenuhi. “Aku..hanya ingin membeli waktu ayah satu jam saja untuk menghadiri pentas dramaku. tapi untuk mencapai 500 dolar, aku harus menunggu sampai tahun depan. Dan saat itu pentas dramaku sudah berakhir,” ujar Jerry sambil terisak ketika dipukuli ayahnya.
Betapa waktu bersama keluarga adalah hal berharga. Saya menyadari hal itu, semenjak bapak selalu menelepon sekadar menanyakan kabar. Atau berbincang hal-hal yang sebenarnya sudah jelas baginya. Ia rindu mengobrol dengan anak lelakinya.
“Sekarang aku lebih suka nonton beginian,” ujar bapak sesaat mengganti channel di acara keagamaan Mamah Dedeh. Di layar tivi, Mamah dedeh sedang melayani pertanyaan para penonton.
Wajar, nampaknya bapak sekarang lebih banyak memperbaiki sisi religiusnya. Semenjak paraplegia menggerogotinya, ia tak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu. Berdzikir saban usianya, dan membaca Al-Qur’an sedikit demi sedikit.
“Aku sekarang sudah mulai ngapal Quran juga loh,” timpal bapak, "tapi belum sampai juz satu."
Ia mematut kitab suci itu di tangannya, sembari mengukur-ukur tali karet yang saya temukan dari dalam kamar. Ia hendak membuatkan pembatas bagi kitab yang sudah lecek itu. Warna kertasnya sudah kecokelat-cokelatan. Sampulnya sudah nyaris terlepas.
“Kok tidak pakai Al Quran yang dari Mekah itu saja, Pa'? Yang hadiah dari Paklik Peno” saya teringat dengan pemberian seorang paman yang pernah menginjakkan kaki di tanah suci Mekah. Di dalam kamar, saya juga mendapati kitab itu masih tersimpan amat rapi.
“Tulisannya agak kecil. Lebih enak baca yang ini,” jawabnya seraya mengelus-elus sampulnya yang sudah tak halus lagi, membentuk alur tak beraturan karena dihujani panas dan dingin.
Dulu, kata bapak, kitab itu adalah mahar pernikahannya dengan ibu. Seperangkat alat shalat dibayar tunai. Pun, sajadahnya, masih saya jumpai hingga kini. Ditambah dengan uang sebesar Rp 5ribu (atau Rp 6ribu).
Perihal menikahi seorang gadis, amat berbeda dengan zaman sekarang yang butuh mahar berlipat-lipat. Apalagi di daerah Sulsel yang menerapkan uang panaik. Besarnya panaik tergantung kecantikan, keturunan, hingga pendidikan si gadis. Saya terkadang berpikir, ada “transaksi” jual-beli yang tega dilakoni bapak-ibunya demi merelakan si anak gadis dinikahi orang. Ckckck…
Sudahlah, membahas pernikahan masih belum sampai di kebutuhan hidup saya. Mencari pendamping hidup pun hingga kini masih tersandung kesana-kemari. Luka, luka….#ambil Hansaplast
Melihat bapak begitu antusias mendalami sisi religiusnya, saya jadi tersentil. Di saat anaknya perlahan mulai melubangi shalat lima waktunya, ia justru sregep (rajin) menunaikannya.
Sejujurnya, semakin usia saya bertambah, entah kenapa saya mulai menjauhi Tuhan. Bukan dalam artian yang sebenarnya. Melainkan dalam artian segala ibadah untuk mendekatkan diri padanya mulai berguguran sedikit demi sedikit. Perasaan gelisah saya ketika tidak menjalankannya pun sedikit demi sedikit mulai tercerabut. Terkadang, ada suatu momen, saya tak merasa gelisah jika meninggalkan waktu shalat itu.
Kebiasaan saya bangun pagi, sedikit demi sedikit tergerus hingga terpaksa shalat out of time. Beberapa aktivitas yang merongrong waktu, terkadang tidak memberikan kesempatan untuk menunaikannya. Atau sebenarnya di dalam hati saya tidak menenamkan tekad untuk mencari waktu saja. Alhasil, semakin hal itu berlangsung, semakin perasaan saya menganggapnya hal biasa. Kalau dibiarkan, ke-biasa-an itu akan menjadi kebiasaan.
“Kamu mesti rajin-rajin shalat, nak. Dunga, doa yang banyak,” pesan bapak.
Tentu saja, Pa’. Pasti...
Rumah, selalu menjadi tempat saya menempa ulang kehidupan. Kepulangan saya disana sebagai langkah awal membangun kembali segala hal yang telah saya biarkan tercecer beberapa tahun belakangan. Saya ingin menanamnya kembali. Memupuknya. Merawatnya. Menyiangi ilalang yang sedemikian tingginya. Hingga kelak menyemainya sebagai sesuatu yang membanggakan...
[bersambung]
--Imam Rahmanto--
- April 30, 2015
- 0 Comments