Pagi dan Percakapan

April 19, 2015

Baca Juga

Alarm saya menggema pagi-pagi. Sebuah tembang dari Banda Neira, Berjalan Lebih Jauh, mengalun nyaring dari balik saku saya. Saya tersadar, namun tak ingin cepat-cepat mematikannya. Saya suka mendengarkan liriknya.

Bangun, 
sebab pagi terlalu berharga 
tuk kita lewati dengan tertidur
Bangun,
sebab pagi terlalu berharga 
tuk kita lalui dengan bersungut-sungut

Saya mengambil jeda sejenak. Mematikan suara yang mulai membising itu. Tak ingin mengganggu teman-teman yang terbaring di sekitar saya. Beberapa orang baru saja tergeletak kelelahan setelah semalaman menggelar rapat evaluasi triwulan. Saya mengerti bagaimana melelahkannya.

Usai melaksanakan kewajiban, saya mengambil tempat di tepi beranda sebuah rumah. Katanya, rumah ini representasi dari rumah adat Mandar yang sebenarnya. Duduk menanti mentari bersinar. Hari ini agak mendung, sehingga matahari yang baru muncul tak bisa diamati dari balik gunung.

Di ujung beranda, seorang teman perempuan sudah lebih dulu mengambil tempat. Entah sudah berapa lama. Ia hanya diam saja melihat saya bergabung dengannya. Menjawab seperlunya ketika disapa. Sesekali tak urung saya mengamatinya melukis. Bukan pemandangan pagi di seberang sana yang ia lukis. Hanya sebuah ilustrasi, yang akunya, tugas dari jurusannya.

"..."

"Kak, apa yang membuat kita mau masuk disini?" 

Mendadak, ia memecah keheningan pagi dengan pertanyaan yang diajukannya malu-malu. Saya agak terkejut dengan sedikit pertanyaan basa-basi itu. Sebagai anak baru, perempuan kecil ini tergolong orang yang masih labil dalam mempertahankan pilihannya.

Tak ingin mengecewakannya, saya menjawab sekenanya. "Kenapa ya? Emm...saya sendiri bingung dengan pertanyaanmu. Haha...

Saya memandangnya sekilas. Ia kembali buru-buru mengalihkan pandangan ke lukisan yang sementara diwarnainya.

"Karena memang saya suka dengan dunia seperti ini. Saya suka menulis," jawab saya singkat, tak melepas pandangan di depan sana. 

"Trus, apa yang membuat kita bertahan?" lanjutnya lagi. Masih dengan perangainya yang malu-malu dan takut-takut.

"Karena saya suka dengan apa yang saya lakukan,"

"Hm...lebih tepatnya, mungkin karena saya punya keluarga disini. Dan teman-teman yang peduli..."

"..."

Esensi percakapan itu, tanpa sadar, senyatanya mulai menjelma dalam kehidupan nyata. Kini, saya sedang memutuskan aktif di pekerjaan yang lebih profesional. Tentu dengan tantangan yang lebih besar dan kerap menjatuhkan. 

Tentang "alasan" itu, saya meyakini sebagai hal yang sama saja. Sementara tentang "alasan" berikutnya saya bisa bertahan, semoga saya menemukannya pula disana. 

Setiap orang mesti saling mengerti dan saling memahami...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments